Namanya Syarif. Ahmad Syarif Hidayatullah lengkapnya. Lelaki kelahiran Jakarta, 24 Juni 22 tahun yang lalu. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Universitas Jambi sejak tahun 2015. Sesosok laki-laki bekacamata dengan tinggi badan 164 cm, berat badan 55 kg. Bercita-cita sebagai dosen dan hobi berenang. Yang terpenting, dia calon imamku. Dulu, dia gamers sejati. Tapi, sejak saat itu, kurasa frekuensi waktu bermain gamenya sangat amat berkurang.
Syarif. Seonggok daging bernyawa yang sok cuek dan sok jaim saat pertama kali kenal. Tapi bermetamorfosa menjadi orang gila yang kabur dari ruang perawatannya saat sudah akrab. Anak pertama dari empat bersaudara. Anak lelaki satu-satunya. Yang paling ganteng dari saudara-saudaranya tentunya.
Tak banyak yang ku tahu tentangnya. Hanya berkisar pada sifat, ciri fisik, serta perasaan cinta yang begitu besar, tak tergambarkan, yang berusaha ia beri untuk keluarganya. Hanya tahu mengenai usaha keras dan perjuangannya agar aku bisa di terima oleh keluarganya. Hanya mengerti tentang tingkat kesabaran ekstra, dan secuil rasa sayang hingga ia mampu bertahan sampai sejauh ini. Dan akhirnya, sampailah kami ke titik yang selalu di semogakan, di aminkan, dan di segerakan.Tak perlu menjalin hubungan dalam waktu yang lama, cukup singkat, namun nyata. Ia berikan kepastian layaknya seorang perjaka tangguh. Membawa keluarga kecilnya menemui orangtua sang wanita. Sungguh sosok yang selama ini ditunggu keseriusannya oleh kaum hawa.
Syarif. Berharap wisuda di bulan Juni 2019. Tapi sampai saat ini masih menyandang status kemahasiswaan nya. Oh, sayang. Jikalau kau lupa. Orang tua telah menentukan tanggalnya. Jadi bergegaslah. 4 tahun meratau, jauh dari orang tua, membuatmu semandiri dan sekuat ini. Membuatmu mampu membaca karakter dan sifat seseorang dengan jelas, hingga kau tak mudah di permainkan. Andai kau tahu, seberapa kuat aku mencoba meluluhkan tembok yang mengurung hatimu.
Syarif, terimakasih. Terimakasih telah menemaniku selama 13 bulan belakang ini, dan menemaniku untuk banyak bulan, bahkan tahun kedepannya. Terimakasih telah menguatkan dan membantuku untuk bisa menjadi sebaik ini. Terimakasih telah mewujudkan harapan yang kita rajut bersama asa selama ini. Anā uhibbuka.
Palembang, 25 Agustus 2019
With Love,
Isna***
Getar handphone memaksaku keluar dari keadaan ternyaman. Tanganku mulai meraba-raba kasur tempatku tergeletak bak mayat, mencoba mencari sebuah benda pipih yang berani mengusik tidur nyenyakku. Getarnya tak berhenti walau benda itu telah berada di tangan kiriku. Ku lirik sekilas, dan akhirnya ku tahu, sebab getar tak henti yang cukup menggangu itu.Sebuah panggilan masuk dari Syarif, tepat pada pukul 04.30 WIB. Dengan berat hati aku mencoba menormalkan suara serak khas orang yang baru bangun dari tidurnya,
"Assalamu'alaikum Be. Wake up darl" seru suara dari seberang.
"Wa'alaikumussalam. Bentar lagi ya, setengah jam lagi, please" aku menyahutinya malas-malasan.
"Bangun sekarang. Sebentar lagi Shubuh. Jangan kebiasaan telat sholat. Buruan,"
"Please, aku bakalan bangun jam 5. Aku janji"
"Nggak! Buruan bangun, aku bentar lagi harus adzan."
"Hah! Oke aku bangun, dan bersiaplah untuk melaksanakan tugasmu!"
"Oke. Good girl. See you."
Klik!
Telpon dimatikan sepihak. Dengan kesal, ku lempar ponselku ke sisi kiri, dan kembali ku tarik selimut dan memeluk guling. Terserah apa yang akan di lakukannya nanti. Aku cukup kesal dengan tingkahnya yang satu ini. Dan tanpa ku sadari, aku kembali hanyut ke dunia lain, merajut mimpi baru, karena yang sebelumnya telah hancur oleh getar handphone yang tak berprikemanusiaan dan prikeadilan.
Aku membuka mataku perlahan. Lampu kamar yang semula padam, kini menyala tanpa dosa. Menyilaukan. Aku meraih handphone yang tadi kulempar dengan teganya dan seketika pupil mataku melebar tanpa harus diperintah. Godness. Jam 05.45. Tamat riwayatku. Aku segera menuruni tempat tidur dengan asal, meraih handuk dan kimono lalu berjalan tergesa menuju kamar mandi. Kurang dari 10 menit, aku telah keluar dengan kimono ungu yang membalut tubuh, dan handuk yang bertengger manis di atas kepala.
"Astaga. Anak gadis jam segini baru bangun. Bukannya langsung sholat. Malah mandi."
Sindiran maut yang keluar dari mulut ibuku sudah biasa ku dengar. Aku memilih diam dan melanjutkan langkah ke kamar. Berusaha bersiap secepat mungkin agar tak terlambat. Jika saja sindiran tadi ku gubris, mungkin saat ini aku akan duduk di meja hijau versi rumahku dan menerima sanksi-sanksi atas apa yang telah ku lakukan pagi ini.
Getar handphone memecah fokusku yang tengah berperang dengan segala macam make up demi mendukung penampilanku. Ya, hanya make up sederhana, bedak, lipstick, dan blush on. Agar aku tak telihat pucat dan tetap oke berada di kampus seharian. Ku lirik sejenak benda pipih itu. Sebuah popup muncul menunjukkan belasan pesan dari Syarif. Tamat riwayat sesi kedua. Sekilas ku lihat pesan itu berisi amarah karena ia tahu aku kembali tidur setelah telepon darinya mati. Dan pastinya dia tau, bahwa aku kembali meninggalkan kewajibanku sebagai muslimah. Tentu saja, kenyataan nomor dua yang membuatnya murka. Aku harus bersiap menerima ceramah agama darinya pagi ini. Tapi biarlah, yang penting aku harus bergegas sekarang. Biar ceramah agamanya ku dengar saat aku telah sampai di kampus tercinta.
***
Jam telah menunjukkan waktu makan siang. Mood ku hancur setelah membaca pesan yang teramat panjang berisi ceramah agama dari Syarif. Ceramah agama yang tak jauh dari hal - hal mengenai kewajiban sebagai seorang muslim. Memang benar, apa yang ia katakan benar. Hanya saja dia sangat payah dalam memilih diksi yang pas untuk menasihatin orang. Sungguh amat menyakitkan mendengar ataupun membaca kata-kata bermakna nasihat yang ia rangkai."Oi, makan tak?" sebuah sapaan mendarat manis di telingaku. Rahma. Ya, yang menyapaku Rahma. Junior yang selalu menjadi korban penculikanku saat kekurangan teman untuk job menari. Aku menggeleng pelan. Bukannya meninggalkanku, ia malah duduk didepanku dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.
"Apaan, oi. Sana dah jauh-jauh" aku sedikit risih di pandang seperti itu.
"Ngapo awak? Galau? Bebalah samo cayip?" (Kenapa kamu? Galau? Berantem sama Syarif?).
"Sok tau bet dah. Sanolah oi." (Sok tau banget deh, sana lah oi).
"Phd apo?" (Phd apa?)
"Dak" (Nggak).
"Mie ayam?"
"Dak"
"Bakso?"
"Otw!"
Aku meninggalkan Rahma sendiri, yang tak lama kemudian telah mampu menyamai langkah kakiku diiringi dengan dengusan kecil. Entah mengapa, tiap kali mendengar nama makanan yang satu itu mood ku akan membaik dengan cepat. Makanan sederhana yang sangat ampuh membuatku cukup bahagia. Sunguh kebahagiaan yang sederhana.
***
Cuma mau menceritakan kisahku, setelah ku dapati pendamping untuk masa depanku.
Cuma berniat berbagi apa yang aku rasa 🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
I FOUND YOU AT SIMBA VI
Non-FictionSIMBA (Silaturahmi Mahasiswa Bahasa Arab) se-Sumatera yang ke-6. Pertama kali ku lihat kau datang bersama teman-temanmu, menempuh perjalanan 8 jam lamanya. Dengan raut lelah, kau dan teman-temanmu mendengarkan ku memangil dan menyebutkan nomor kamar...