“Kak Noor, aku istirahat bentar, mungkin sekitar tengah malem, delegasi dari Imam Bonjol sampe. Ntar temenin aku jemput ya, ngarahin kesini,” sahut Naufal, salah satu juniorku yang bertugas sebagai pendamping untuk mahasiswa UIN Imam Bonjol bersama 3 rekan lainnya.
“Apa, Fal?” aku bertanya hendak memastikan pendengaranku.
“Aku istirahat bentar, Kak. Nanti aku bangun tengah malem, kalo delegasi aku dah sampe Palembang. Kakak temenin aku jemput mereka. Capek tau bolak – balik bawa mobil. Pegel,”
Tak perlu waktu lama untuk membuat mahasiswa berbadan besar itu terlelap dalam tidurnya. Aku melirik jam tangan yang melingkar di tanganku. Allahu Akbar. Udah hampir tengah malam. Bisa di pastikan, kalau aku memilih istirahat juga, tak akan ada yang menjemput delegasi dari UIN Imam Bonjol itu. Aku memaksakan mataku untuk tetap terjaga, menyibukkan diri memainkan handphone. Duduk beralas tikar, bersandar pada dinding. Menoleh ke kanan, melihat Naufal yang telah lelap. Menoleh ke kiri, terdapat 3 personil Naqish Band, band kebanggaan jurusan Bahasa dan Satra Arab, UIN Raden Fatah Palembang. Diego, Adhit dan Meldi tengah bermain Mobile Legend. Mataku mulai berat, tapi aku memaksanya untuk tetap bertahan.
Dering handphone Naufal membangunkannya. Tak sampai lima menit, ia kembali meletakkan handphone nya.
“Kak, barusan delegasi aku nelpon. Katanya mereka mungkin shubuh baru sampe. Sekitar jam 4 lah. Mending kakak tidur dulu deh. Tuh mata udah keliatan banget capeknya.”
“Kamar penuh, Fal.” Sahutku memelas.
“Yaudah ke kursi aja, Kak. Di lantai dingin. Walaupun pake tikar, tetep aja dingin. Biasa kan tidur di kelas, dengan kepala di meja, badan di kursi?”
“Gak usah di perjelas. Paham aku,”
Aku beranjak menuju kursi yang tersedia. Melipat tangan dan menyembunyikan kepala disana. Hampir saja. Hampir saja aku terlelah sebelum Diego memanggil lirih namaku.
“Kak?” Diego memanggil lirih.
“Ya, Go?”
“Aku kedepan bentar, sama Adhit. Kakak ada mau nitip?”
“Nggak, Go. Hati – hati. Jangan kejauhan jalan,”
“Oke, Kak. Selamat beristirahat,”
“Hemm,”Diego meninggalkan gedung Asrama Haji bersama Adhit. Sedang ku lihat Meldi mulai memejamkan matanya di sebelah Naufal. Aku bersandar di punggung kursi, melipat tangan dan memejamkan mata. Berharap kali ini aku bisa tidur, setengah jam saja.
Namun harapanku sirna saat itu juga. Tak sampai 10 menit, dering telpon menaikkan tensi darahku. Nama Diego terpampang nyata di layar handphoneku. Astaga.
“Hallo. Kenapa?” aku segera bertanya kala telepon tersambung.
“Kak, sorry ganggu. Tapi delegasiku udah hampir sampe,” Diego berujar penuh hati-hati. Mungkin ia tahu aku mulai emosi karena lelah.
“What?! Are you try to kidding me, Go?”
“Sorry, Kak. Tapi aku serius. Mungkin 5 menit lagi sampe. Tolong, Kak,”
“Hah! Oke. Langsung arahkan kesini. Kakak bangunin Shindi sama Mbak Ana.”
“Oke, Kak. Thanks.”
Aku segera mematikan sambungan telepon. Dengan berat hati aku berjalan menuju 2 kamar yang berlainan arah. Membangunkan Ana, teman kelasku yang mengkoordinir peserta, dan Shindi, teman kelas Diego yang bertugas menjadi pendamping delegasi dari Universitas Jambi bersama Diego. Tak lupa ku bangunkan Naufal dan Meldi yang tidur layaknya gembel di emperan toko. Meminta mereka berjaga untuk sebentar saja. Shindi dan Ana telah berdiri memasang wajah manis, menutupi muka bantal mereka yang di bagunkan dengan paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I FOUND YOU AT SIMBA VI
Non-FictionSIMBA (Silaturahmi Mahasiswa Bahasa Arab) se-Sumatera yang ke-6. Pertama kali ku lihat kau datang bersama teman-temanmu, menempuh perjalanan 8 jam lamanya. Dengan raut lelah, kau dan teman-temanmu mendengarkan ku memangil dan menyebutkan nomor kamar...