"Siapkan selembar kertas, hari ini kalian ulangan Matematika."
Aku berdiri, membagikan lembar soal kepada para siswa berseragam putih abu-abu yang duduk di deretan bangku masing-masing. "Kerjakan," titahku. Namun belum satu menit, suara bising para siswa langsung merangsek masuk ke telingaku. Apa lagi kalau bukan saling berbisik, memanggil teman, mencari dan bertukar contekan. Itu sudah biasa.
"Anak-anak, tolong jangan berisik dan kerjakan soalnya dengan baik."
Aku menghela napas berat. Ditegur pun juga tidak mempan. Percuma. Akhirnya kubiarkan saja.
Satu jam berlalu. Setumpuk kertas lembar jawaban ulangan sudah bertumpuk di meja. Aku mengucap salam, pergi meninggalkan kelas menuju ruang guru. Duduk sebentar, meletakkan setumpuk kertas jawaban di meja. Beberapa saat kemudian, bel pulang berbunyi nyaring, menciptakan dengung gaduh dari para siswa yang menyeruak keluar kelas. Bergegas pulang.
Melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, pukul satu siang. Aku merapikan meja kerja, menenteng tas, lantas meninggalkan ruangan guru, bergegas menuju gerbang bangunan sekolah. Langkah demi langkah terus kupacu di sepanjang garis trotoar.
Cuaca yang panas, seperti biasa. Sinar matahari yang terpantul oleh tingginya gedung-gedung pencakar langit membuat silap mata. Menyeberang jalan, melewati zebra cross, terus memacu langkah mengabaikan suara bising klakson kendaraan yang terjejer padat memenuhi jalan. Macet, seperti biasa.
Haus, aku memutuskan untuk singgah sebentar di salah satu warung tenda di pinggiran jalan dan segera memesan menu. Duduk berpangku tangan, menyeka peluh di dahi, sejenak aku memperhatikan jalanan. Lamat-lamat, aku mendengar suara bising. Aku menoleh, mendapati sekawanan remaja berseragam SMP yang duduk di meja pojok paling belakang. Mereka saling bergurau, berkata kasar. Serapahan absen nama-nama binatang pun juga turut ditangkap oleh indra pendengaranku.
"Minumnya, Neng." Segelas es jeruk tiba dan tersaji di meja. Aku mengangguk berterimakasih dan meneguk es dengan segera. Tetes demi tetes air jeruk mengalir melewati kerongkongan. Segar dan sejuk.
Gelas kosong, aku beranjak, menyerahkan lembar rupiah kepada ibu-ibu pemilik warung tenda dan berterimakasih. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Langkah demi langkah terus kupacu menyusuri sepanjang garis trotoar. Akan tetapi saat melewati jalan depan gedung walikota, aku berhenti. Kualihkan atensi pada sekumpulan massa yang memadati halaman gedung. Mereka berteriak, mengepalkan tangan ke udara seraya mengangkat tinggi-tinggi spanduk bertuliskan kalimat protesan terhadap para tikus berdasi. Jelas sekali mereka sedang melakukan aksi unjuk rasa. Tak hanya itu, beberapa wartawan pun juga turut memadati halaman, bahkan sampai ada yang mendesak masuk demi melakukan wawancara berita dengan para pejabat di dalam sana. Aku memutar bola mata malas, kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti.
Melewati jalanan depan salah satu bangunan ibadah, lagi-lagi aku kembali menghentikan langkah. Aku membulatkan mata, terkejut melihat segerombol pemuda yang memadati jalan raya, melakukan aksi tawuran, menciptakan keributan, membuat macet kendaraan yang hendak lalang. Mereka saling memaki, berkata kotor, melempar batu, bahkan sampai ada yang membawa senjata api dan juga senjata tajam. Keributan terjadi di hadapanku. Refleks aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan, terkejut melihat beberapa orang jatuh terkapar di aspal dengan tubuh penuh lebam, memar, bahkan sampai ada yang berdarah. Saking terkejutnya hingga mampu membuatku mematung di tempat. Namun tba-tiba saja, seseorang mencekal erat lenganku, sangat erat dan menarikku pergi menjauh dari kerumunan tersebut.
"Mbak jangan di sana. Bahaya!" Seseorang itu menegur ketika aku masih sibuk mengusapi lenganku dan mengaduh kesakitan. Aku yang penasaran akhirnya bertanya, "Memangnya apa yang barusan mereka lakukan?"
"Mereka sedang tawuran!"
"Tawuran atas?"
"Atas aksi rasisme yang telah mereka lakukan! Jadi saya sarankan lebih baik Mbak menjauh dari tempat ini, secepatnya!" Aku bergidik ketakutan, mengangguk dan segera berlari menjauh dari tempat itu secepat mungkin. Kuputuskan untuk mengambil jalan pintas, beberapa saat kemudian aku tiba di rumah dan segera menutup pintu. Aku memegangi dadaku. Sakit. Napasku juga tersengal. Kubiarkan tubuhku menggelosor lemas ke bawah, duduk bersandarkan pintu dan beralaskan lantai. Aku menghela napas panjang dan berat, menyeka peluh di dahi, menatap lesu langit-langit ruangan. Tiba-tiba teringat beberapa deretan kejadian hari ini.
Para siswa yang tidak jujur dalam mengerjakan soal ulangan.
Sekawanan pelajar yang tidak santun dan tidak beretika dalam bertutur kata.
Sekumpulan massa yang melakukan aksi demonstrasi terhadap para pejabat yang melakukan tindak korupsi, di gedung walikota.
Segerombolan pemuda yang melakukan aksi tawuran di jalan raya atas aksi rasisme yang telah mereka perbuat sebelumnya.
Aku memejamkan mata rapat, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Sekarang tahun 2030. Delapan puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka sejak tahun 1945 lalu. Belum genap satu abad pula negara ini merdeka, tapi mengapa? Mengapa Indonesia kini berubah? Mengapa?
Indonesia yang dulu adalah Indonesia yang rakyatnya berpegang teguh pada Pancasila, serta menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika.
Indonesia yang dulu adalah Indonesia yang para pemimpin bangsanya jujur, adil dan makmur.
Indonesia yang dulu adalah Indonesia yang pemuda-pemudinya beretika dan mulia.
Tapi sekarang? Mengapa Indonesia sudah berubah sedemikian rupa?
Indonesiaku yang berubah, atau karakter anak bangsanya yang mulai punah?
Apakah ini Indonesia?
Kurasa tidak. Indonesia tidak akan seperti ini. Indonesia mungkin juga tidak akan pernah seperti ini.
Indonesiaku tidak seperti ini. Bukan!
Kalau begitu, lalu...
Mana Indonesiaku yang dulu?
TAMAT
Cerpen ini dibuat untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke-74 tahun.
Hanya cerita fiksi yang ditulis berdasarkan pandangan dari penulis atas mirisnya perubahan yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Ingat, hanya fiksi, tidak perlu dimasukkan di hati.
Dirgahayu Indonesia ku yang ke-74!
Mutiara Sajak
KAMU SEDANG MEMBACA
Mana Indonesiaku yang Dulu?
Short StoryIndonesia yang dulu kukenal bukanlah Indonesia yang sekarang. Indonesia yang dulu adalah Indonesia yang rakyatnya berpegang teguh pada Pancasila, serta menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia yang dulu adalah I...