Standing In The Dark

63 7 0
                                    


"Dulu, kamu adalah malaikatku..."

Mario termenung, diam-diam memandangi seorang wanita di seberang jalan. Wanita itu tengah berbincang-bincang dengan seorang pria. Senyuman manis terlukis di bibir wanita itu, sesekali ia tertawa lepas bersamaan dengan pria yang sedang berbicara dengannya.

Mario memandangi wanita itu lekat-lekat, tak lepas dari pandangannya sedikitpun. Ia menaikkan tudung hoddie-nya menutupi kepala, berjalan perlahan setengah mengendap-endap mengikuti wanita dan pria itu. Mario menjaga jarak sekitar 5 meter dari pasangan itu. Ya, Mario terlihat seperti stalker, tapi ia tidak merasa demikian. Orang-orang di sekitarnya tak jarang melihatnya dengan tatapan aneh, namun ia tidak merasa terganggu.

Hatinya sesak melihat wanita itu bersama pria lain, wanita itu berpegangan tangan bahkan berpelukan dengan pasangannya, wanita itu terlihat bahagia, muncul pertanyaan dibenak Mario, apakah ia pantas mendapatkannya? Mario masih setengah sadar, pikirannya terbayang-bayang akan semua kenangannya saat itu-saat wanita itu masih di sisinya.

Langkah Mario terhenti, ia kehilangan jejak dua orang itu tepat di perempatan jalan. Mario mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, jalanan tampak penuh kerumunan orang-orang yang mengejar waktu. Bunyi klakson mobil yang menandakan pengemudinya tidak sabar untuk segera menancapkan gasnya membuatnya tersadar. Mario menghela napas, menundukkan wajahnya lalu membuka tudung hoddie-nya. Terlihat senyuman pahit dari bibirnya. Ia berbalik arah, menuju ke arah kafe yang menjadi langganannya semenjak wanita itu meninggalkannya.

***

Mario hanya memesan secangkir kopi panas. Pikirannya terlalu penuh dengan wanita itu, ia tidak bisa mengeluarkan wanita itu dari pikirannya sejak beberapa bulan terakhir. Ia masih mengharapkan wanita itu untuk datang kembali kepadanya atau setidaknya meninggalkan senyuman manis kepadanya, untuk terakhir kalinya.

Ia menyeruput sedikit kopinya, menghela napas lalu melihat keluar jendela. Rintikan hujan perlahan turun membasahi jalan. Mario menggumam, melipat tangannya di dada lalu merenung, mengarahkan pandangannya ke luar jendela, pikirannya masih penuh dengan wanita itu. Mario kemudian mengeluarkan ponselnya, sekedar melihat jam. Tampak gambar wanita itu terpajang menjadi wallpaper Mario, ia belum merubahnya, bahkan tidak berpikir untuk mengubahnya. Ia menatap sejenak wallpaper ponselnya, lalu merenung lagi.

"Aku harap, kamu tidak keberatan dengan keputusanku ini..."

Tepat 5 bulan yang lalu, wanita itu memutuskan untuk meninggalkan Mario. Pada saat hari jadi mereka yang ke 3 tahun. Entah apa alasan pastinya, namun wanita itu berkata bahwa Mario bukanlah orang yang tepat untuk wanita itu.

Masih terlintas dengan sangat jelas dalam benak Mario, saat wanita itu mengatakan bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya. Semua janji-janji manis yang wanita itu pernah katakan, Mario ingat dengan jelas tanpa melupakan satupun kata yang pernah terucap dari mulut wanita itu. 

Janji. Seharusnya kalau jadinya akan seperti ini lebih baik tidak usah berjanji. Janji yang akhirnya tidak ditepati pada akhirnya hanya akan menjadi penyakit. Harapan yang telah jauh dikubur, kemudian dipupuk dengan janji-janji manis akan tumbuh besar malah akhirnya akan layu dan mati karena hanya diberi janji-janji manis nan kosong. 

Entah apa yang Mario harapkan dari wanita itu. Tidak hanya satu atau dua kali wanita itu tidak menepati janjinya, namun Mario entah karena termakan cinta atau karena memang bodoh selalu saja menerima wanita itu kembali. 

Dan akhirnya? Saat Mario ditinggalkan ia hanya bisa termenung dan terbingung-bingung.

Mario masih sangat mengharapkan wanita itu, yang dulunya selalu ia banggakan, pujaan hatinya. Namun, wanita itu sekarang telah bersama orang lain-yang mungkin lebih baik dari Mario.

Fany, ia adalah wanita yang membuat Mario patah hati, tenggelam dalam bayangan hitam hidupnya, meninggalkan jejak kepedihan yang membekas setiap kali ia berjalan.

Setiap ia menutup mata, ia berharap Fany akan ada di sampingnya seperti hari-hari indah yang telah mereka lalui dulu. Bahkan, ia masih sering mengingat hal-hal indah saat itu. Mario terkadang sering berpikir, dalam kesendiriannya setiap kali bayangan-bayangan indah itu menghampirinya, apakah ini jalan yang terbaik? Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apa yang selanjutnya akan aku lakukan? Apa aku akan berhasil melupakannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang hingga sekarang belum bisa ia jawab.

***

Fany belum juga keluar dari apartemennya sejak pagi tadi. Mario heran, biasanya Fany akan keluar tepat pada pukul tujuh pagi dengan sapaan pagi kepada tukang sapu di depan apartemennya. Namun, pagi ini sedikit berbeda, bahkan tukang sapu yang biasanya ia sapa juga belum datang.

Tepat setengah jam sudah ia menunggu dan saat itu pula akhirnya tukang sapu itu tiba, Mario segera menghampirinya—untuk sekedar bertanya. "Permisi, apakah anda tahu wanita yang bernama Fany? Ia belum juga keluar dari apartemennya, padahal kami punya janji untuk bertemu di sekitar sini." Mario membuat alasan yang cukup logis untuk menanyakan keberadaan Fany, kekhawatiran terlihat dari wajahnya.

Tukang sapu itu melihatnya heran, "Apakah anda tidak diberitahu? Ia akan saling mengikat janji dengan tunangannya." ujar tukang sapu itu. Bagai tersambar petir di pagi hari, ia setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatan tukang sapu itu. Ia diam sejenak, kepalanya sungguh pening saat ini. "Hmm.. Mungkin ia lupa memberitahukannya kepada saya..." Mario berterima kasih kepada tukang sapu itu, tak lupa ia sunggingkan sedikit senyumannya dan kemudian berjalan menjauh. Badannya sedikit lemas, kepalanya pening setelah mendengar kabar itu.

Menangis? Percuma. Ia tidak bisa melakukan apapun selain harus mengikhlaskan Fany. "Apa yang kamu pikirkan, Rio?" ia menggumam, tersenyum pahit. "Ia sudah bukan milikmu lagi..." air matanya keluar, membasahi pipi kirinya. Tangannya mengusap air matanya, "Untuk apa menangis, huh?" ia tertawa kecil, meremehkan dirinya. Untuk kesekian kalinya, ia tersadar. Ia benar-benar harus bangun dari tidurnya. Bayangan-bayangan itu benar-benar harus ia lepaskan. Walaupun itu memang sulit, tak ada salahnya untuk mencoba. Mario menarik napas, ia mencoba mengumpulkan keyakinannya untuk melepaskan wanita itu. Ia kemudian menghembuskan napasnya dengan keras, lalu ia mencoba tersenyum walaupun air matanya masih menetes.

***

Pria itu menatap lekat mata wanitanya. Mata mereka saling memandang satu sama lain seolah mengatakan bahwa mereka benar-benar saling mencintai dan memiliki. Senyum keduanya terlihat tidak akan pernah pudar dimakan waktu. 

Mario? Ia tetap nekat untuk datang, walaupun ia tidak diundang oleh siapapun. Dengan keberanian yang tak sedikit, ia datang dengan senyum yang ia usahakan untuk lepas saat melihat wanita itu yang dulu ia sebut pujaan hatinya mengikat janjinya dengan orang lain.

Walaupun ia tahu, dirinya akan sangat hancur melihat wanita itu dengan orang lain, namun ia sadar—terbangun dari mimpinya sekian lama—bahwa sekarang wanita itu bukan miliknya lagi dan ia benar-benar harus pergi.

Ia berdiri di dalam bayangan, dengan senyumannya yang lepas. Ia memandangi kedua merpati putih dari kejauhan yang telah siap untuk saling mengikat janji suci. 

"Aku benar-benar harus pergi. Selamat tinggal." Mario tersenyum, tidak jelas apa arti dari senyuman itu. Namun, dari matanya terlihat kepedihan. Ia berjalan menjauh, tangan kanannya memegang dada, ia lalu menggeleng dan tertawa pahit. 

Fin.

***

Standing In The DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang