Lelaki Tua, Engkaukah Itu?
Pertengahan Juli 2018, ombak yang bergulung lembut sore ini benar-benar menunjukkan pesonanya. Perahu dengan layar warna-warni menghias diorama nyata alam terbuka. Kilau rona kemuning bias sinar matahari sore. Sementara itu, wajah murung wanita muda berpaling bahwa pesona keindahan alam tak mau berpihak pada kisah hidupnya, mengingat ayahnya dan pemuda yang telah memberinya janji-janji kosong. Dia merenung, ternyata keimanannya dikalahkan hanya dengan ujian cinta yang penuh dengan kebahagian semu. Rasanya tinggal kekecewaan yang ingin dilempar ke kaki langit supaya tenggelam, tetapi mana mungkin?
Sebenarnya tak lazim, dia yang bergenre perempuan apalagi seorang santri keluar surub-surub begitu, tetapi apa boleh buat, lukakanya terlanjur menganga begitu lebar. Ia yang gelap mata menarik diri dari rumah dan bersembunyi pada keindahan diorama pantai sore ini. Ah perihal hati, mungkin ia sedang mengikuti mata buta mengikuti hati mati.
Kumandan azan maghrib tak memberhentikan air matanya, tangsinya justru semakin menjadi-jadi, ia terus mengutuk takdir Tuhan yang begitu kejam. 27 hari menuju hari pernikahannya, ia harus kehilangan satu-satunya ayah yang ia punya dan yang lebih miris sepuluh hari setelah itu, laki-laki pilihannya menghilang dengan meninggalkan pesan singkat, “Maaf, kita harus berakhir, karena aku bukan laki-laki terbaik untukmu.” Ah, alasan klise yang sudah jadul.
Kalimat perpisahan itu terus terngiang di benakknya, bahkan sampai waktu surub di pantai ini, “hiks, dia bilang bukan terbaik untukku, ya, bukan terbaik untukku, tetapi untuk perempuan lain. Ah atau dia yang terlalu baik dan aku yang terlalu buruk. Tuhan kenapa Engkau menghilangkan dua laki-laki yang begitu berharga dalam hidupku dalam satu waktu, kenapa Engka tidak memberikan masa transisi agar hatiku kuat untuk menahan kehilangan” Kalimat-kalimat pesimis itu keluar begitu memilukan. Sungguh hatinya yang tengah terporak-porandakan tidak lagi punya penompang.
Suasana pantai yang awalnya riuh rendah kini mulai menyisakakn sepi. Banyak para pengunjung yang sudah puas menikmati kilau matahari terbenam memutuskan pulang. Tinggal ia seorang diri yang tidak lagi peduli pada sepi sebab di wasesa jiwanya kesepian sudah mematri.
Ketika berada di rumah ia bisa saja terus menahan air matanya jatuh ke perut, tetapi waktu ini ia benar-benar ingin menumpahkan semuanya pada alam, lebih tepatnya pada pemilik alam. Ia ingin memprotes nikmat Tuhan yang ia anggap tidak sebanding dengan nikmat yang orang lain dapat. Ia harus mati-matian memperjuangkan ayahnya sedari ia kecil, ia harus menangis di pojokan kamar karena sering mendapat ejekan “gadis tanpa ayah”, dan saat ia berhasil mendapatkan ayahnya kembili, satu tahun setelahnya ia justru harus kehilanggannya. Lalu untuk laki-laki pilihannya, ia mengutuki diri sendiri yang buruk rupa, padahal kalau diamati dengan saksama ia tidak jelek, tidak juga cantik. Gadis biasa yang selalu menembar senyum kepada siapa saja. Namun lantaran, lima hari setelah kekasihnya memutuskan pergi, ia baru tahu bahwa kekasihnya kini tengah merajut asmara dengan perempuan yang ayunya berkali-kali lipat dibanding dirinya. Ia akhirnya mengutuki diri sendiri, “hari ini tidak ada laki-laki yang tidak jatuh hati pada perempuan cantik, barangkali cinta sejati hanya untuk perempuan cantik. Bukankah ayahku hilang dari masa kecilku karena perempuan lain?” Mungkin setangkai cinta tak tumbuh hingga layu terbawa angina.
Dering gawai tak mengidanahkan gereutunya pada Tuhan. Ia masih menangis sesenggukan. Ia dengar tapi pura-pura tak mendengar.
Gawainya terus berdering, mungkin puluhan kali. Ia tidak enak hati, barang kali kepergiannya yang tiba-tiba membingungkan keluarganya. Akhirnya ia menggambil gawai di tas kecil abu-abunya.
Benar ada 17 panggilan tak terjawab dan banyak pesan wa. Ia hanya membaca pesan dari perempuan yang selama ini telah membersarkannya. Dan langsung membalas dengan balasan bohong karena takut ibunya akan khawatir.
“Maafkan Haida Ibu, Haida tadi buru-buru ke rumah Yara, Jadi Haida tidak pamit,”
Oh ia, Haida sekalian izin menginap di rumah Yara nggeh”
Tanpa menunggu Ibunya membalas ia, langsung memasukkan gawai ke tasnya.Kilau mega merah telah berubah menjadi petang, tetapi ia masih betah membiarkan angin pantai medinginkan dirinya yang tanpa menggunkan jaket. “Biralah bukan saja hatiku yang membeku, tubuhku pun tak apa membeku”
Ia berjalan mendekati ombak yang gulungunya semakin tinggi, ia membentangkan tangannya, merasakan angin mememluknya mesra dan air pantai sudah membasahi dirinya hingga setengah badan. Dingin sekali, tetapi ia tetap membiarkan.
Tiba-tiba ada dentuman air galak mengguyur dirinya. Semuanya berubah mencekam. Ia bisa mendengar suara ombak, tetapi ia sudah tidak tahu lagi dari mana arah ombak itu datang. Tubuhnya terseret, dibanting air berkali-berkali. Apalagi ia tidak bisa berenang. Tangannya terus mencari pegangan, namun seperti menimba air dengan keranjang, tangannya tak menemukan apa-apa.
Ia mengingat Tuhan dengan banyak penyesalan. Mengingat cerita Nabi Yunus yang meninggalkan kaumnya karena tidak mau mendengar dan mengikuti dakwahnya. Sampai akhirnya beliau berhenti di tepi pantai dan melihat sebuah kapal yang akan menyebrangi laut. Beliaupun menumpang kapal tersebut. Namun, ketika kapal itu sedang berlayar tiba-tiba terjadilah bahaya yang sangat hebat. Kapal berguncang, dan para penumpang sepakat untuk mengurangi beban dengan membuang salah satu di antara mereka ke laut. Undian pertama jatuh pada Nabi Yunus, hingga undian diulang tiga kali, tetap saja nama Nabi Yunus yang keluar. Beliau tersadar bahwa itu adalah kehendak Allah, akhirnya Nabi Yunus menjatuhkan diri ke pantai. Di dalam pantai, seekor paus besar menelan Nabi Yunus. Lalu Nabi Yunus yang masih utuh di perut ikan tersebut lantas bertobat meminta ampunan kepada Allah dan terus bertasibh selama 40 hari, lalu Allah mengampuninya dan menyuruh ikan paus tesebut mendamparkan Nabi Yunus di tepi pantai.
Ia menangis, matanya semakin pedih karena air mata dan air pantai juga menghatam matanya. Ia sedih bukan main, ia tersadar ia bukan Nabi Yunus yang akhirnya mendapatkan ampunan. Bagaiana jika justru hidupnya hari ini berakhr seperti Fir’aun, yang ketika bertaubat, namun sudah terlambat. Bukankah dia baru saja menghina dan mengutuki Tuhan seperti yang dilakukan Fir’aun? Hatinya semakin kacau. Ia memejamkan mata dan memohon ampun.
“Ya Allah, di sela-sela air mata yang tak lagi mengalir, ampunila dosa hamba-Mu
Engkau yang terus memberi nikmat tetapi aku terus tersesat
Akulah orang yang salah
Akulah orang yang menentangmu dengan nyata
Akulah yang berbuat jahat pada diriku sendiri
Hari ini akulah orang yang tidak punya malu, yang terus memohon ampunamu pada-Mu”
Dalam hatinya ia terus beristigfar dan bersalawat. Ia sudah pasrah jika ini adalah takdir yang harus ia terima. Semga bukan kematian yang su’ul khotimah. Semoga tobatnya diterima oleh Allah.
***
Matahari belum menyembul di ufuk timur. Suasana pantai lengan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya nyanyian ombak bergulung yang memeluk pasir.
***
Ia membuka matanya, kepalanya pusing, bajunya juga masih bahas. Kepala dan kakinya lecet-lecet. Samar-samar, ia melihat kakek tua memakai jubbah dan berpesan
“Gunakanlah jiwa baikmu dan ingatlah selalu lain syakartum laazidannakum wa laing kafartum inna ‘azabi lasyadid”
Ia mengerlingkan mata, agar dapat melihat kakek itu dengan jelas. Namun saat ia kembali membuka mata, kakek itu telah menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Tua, Engkaukah itu?
ContoHaida yang patah hati menemukan petunjuk setelah terbawa gelombang ombak