i. wilting

1.8K 128 9
                                    

i. Wilting

Kemarin hujan. Pertama kali sejak musim panas datang menjemput. Aku yang memang sudah tak berharap keajaiban apapun dalam hidup hanya terluntang luntung berharap tas kerjaku tak basah sampai ke dalamnya. Walaupun aku tahu jika otakku bekerja dengan baik, maka pasti aku tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang mustahil, mengingat kini aku yang menerobos hujan dari halte terdekat sampai ke kamar sewa tempatku tinggal. Berjalan menaiki permukaan curam yang naik dan berharap bisa terbang walau hanya sekali ini saja.

Sayangnya, saat aku mencapai pintu depan dan membuka kamar sewaku – kita, aku berharap untuk tetap berhujan-hujanan di luar sana. Meleburkan diri bersama rintik yang mengguyur beserta hatiku yang retak berserakan.

Ini memang sudah seminggu sejak kau pergi. Terhitung dari truk pengangkut barang yang meninggalkan puncak suram jalan ke bangunan tua murah ini serta meja kerjamu yang bersih dari apapun. Membuatku sadar betul bahwa kau memang takkan kembali, ataupun sekedar muncul di hidupku dengan sebuah notifikasi dan tambahan angka dalam gelembung aplikasi percakapanku.

Langit memang mendung sejak pertama kali kau seolah menghilang. Bersama dengan perkataan bahwa aku berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik. Akan tetapi hujan yang turun hari ini menyadarkanku bahwa, napasku pergi sebelum aku tepat mengisi seluruh bagian dari paru-paruku.

Pun begitu pula diriku. Yang kini hanya menatap kosong pada ruang kosong yang kau tinggalkan. Tak ada lagi keyboard usang bodohmu di samping gitar kesayanganku. Tak ada lagi sebuah speaker besar di sebelah komputer model lama milikku. Tak ada lagi pakaian-pakaian dan sepatu dengan ukuran yang lebih kecil dari punyaku. Semuanya kosong. Seperti segala sentuhan yang selalu kita bagi setiap malamnya. Seperti seluruh perasaan kembali ke rumah yang selalu aku idamkan ada di antara kita.

Hari ini aku merasa iri. Aku merasa iri pada angin yang bisa membelaimu dimanapun kau berada. Aku merasa iri dengan sinar matahari yang bisa menyentuhmu kala kau keluar hanya dengan celana pendek dan kaos hitam buluk bergambar raja musik pop barat sana. Aku merasa iri dengan air yang mengguyur dan menguburmu dalam kesegaran. Aku merasa iri dengan pria yang selama ini kau kejar dan kau beri segala cintamu,

meski ia tak pernah sadar dan berpaling padamu.

Dari seluruh perjalanan kebersamaan kita, kau sebenarnya mungkin paham. Bagaimana aku yang menyukaimu sejak pertama kali kita berjumpa. Sejak ciuman dan sentuhan yang saling kita tukar. Pun kau juga awas pada dirimu sendiri yang kala itu tengah begitu jatuh karena yang kau puja memuja sosok lain dengan segala pesonannya. Lalu kita semua sadar, bahwa yang terpuja oleh pujaanmu, berusaha merengkuhku sekuat tenaga. Sehingga apapun yang kita lakukan akhirnya hanya akan menaruh luka pada satu sama lain. Ditambah kepala batu kita yang seolah tak peduli akan disiram asam lambung sekalipun. Kita semua menderita karena kebatuan kita sendiri. Jatuh cinta dan layu sebabnya.

Hari ketika kau menunjukkan pria yang kau agungkan, aku menyadari bahwa aku bukan apa-apa. Ia sempurna. Hidung dan garis wajahnya seolah terpahat apik oleh Tuhan layaknya gambaran dewa-dewi yunani yang ada. Pun badannya yang begitu terbentuk dengan sempurna seolah tak ada yang bisa mematahkan bahwa ia diberikan segalanya saat proses pembuatan manusia dilakukan. Belum lagi segala kecerdasan yang diberikanNya, mengukuhkan bahwa ia sangat pantas untuk bersanding dengan kau yang begitu menakjubkan.

Berbeda denganku, yang bahkan untuk keluar denganmu harus memilih lama pakaian yang pantas dan setidaknya tidak menjatuhkanmu yang begitu memesona meski hanya dengan celana belel dan kaos oblong jadulmu. Meski berapa lamapun aku berusaha, aku selalu tak merasa bisa menandingi priamu.

Lalu tepat satu bulan sejak hari basah di musim panas itu, kau menelponku. Berkata kau merindukan. Mengoceh betapa berbedanya tempat tinggalmu sekarang dengan apa yang kita punya dulu. Tapi kala aku menatap pintu begitu lama, tak ada satupun ketukan yang aku dapatkan.

Kemudian beberapa hari setelahnya kau kembali menelponku. Suaramu parau. Pun hujan terdengar jelas di ujung sana. Kau berkata, Aku membutuhkanmu. Tapi aku masih tak menangkap eksistensimu yang hadir kembali di hidupku.

Sebab satu yang aku tahu, aku ini setangkai bunga yang layu, bukan seluruh hidup dan napasmu yang benar kau butuhkan, seperti aku membutuhkanmu.

Pun kini aku berdiri begitu saja. Hidupku bak sebuah sebuah karya seni berbasis intelejensi yang telah diatur sedemikian rupa sehingga memiliki keteraturan yang menyedihkan. Terbangun. Merasakan kosong di ruang pada ranjang sebelah kanan. Menyiram diri dengan dingin air yang mengalir. Membuat sebuah gigitan besar pada roti lapis serta seruputan pada kopi panas. Menghabiskan waktu sebagai pekerja dengan segudang kertas yang bertumpuk di meja. Kemudian mengakhiri hari dengan kembali merasakan sunyi yang menyelimuti.

Aku hilang arah. Aku kembali bukan seorang pria keturunan Korea yang berkebangsaan Kanada yang bisa mampir sejenak di sebuah kafe di ujung jalan sebab ajakan darimu di jam makan siang kerja. Aku juga kembali bukan seorang yang akan tak segan mampir ke toko roti terdekat untuk mencium bau kayu manis di pagi hari karena seretan tanganmu. Aku juga kembali bukan pria yang menyempatkan diri mengagumi lintang kala malam sebab rengekanmu untuk ke atap sepulang kerja. Aku kembali ke bukan diriku setelah mengenalmu.

Hari demi hari berganti dan kemudian aku sadar bahwa mungkin sebenarnya, semua yang aku rindukan tentangmu adalah hal semu semata yang berkamuflase sebagai sebuah oasis dalam reka yang dibuat oleh kepalaku sendiri. Pun nyatanya aku bisa hidup belasan tahun tanpa kehadiranmu sebelumnya.

Semua orang pergi seperti semuanya tak pernah kembali.

Semua orang datang seolah mereka tak pernah meninggalkan.

Aku kadang selalu bertanya mengapa demikian, namun tak pernah ada satu jawabanpun yang memuaskan. Pun kemudian aku berpikir, apa responku jika kau kembali, benar-benar kembali, dan bertanya apakah kita bisa menjadi kawan, sosok yang dekat satu sama lain tanpa sebuah kejelasan namun saling memangut memakan wajah satu sama lain begitu mesra?

rise
said the moon
and the new day came
the show must go on said the sun
life does not stop for anybody
it drags you by the legs
whether you want to move forward or not
that is the gift
life will force you to forget how you long for them
your skin will shed till there is not
a single part of you left they’ve touched
your eyes finally just your eyes
not the eyes which held them
you will make it to the end
of what is only the beginning
go on
open the door to the rest of it
- time

The Sun and His Flower [MarkHyuck] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang