"Sebagai Terbaik Pertama"

33 5 0
                                    

Matahari masih bersinar dengan teriknya ketika Nadia berjalan menyusuri gang sempit di perumahan kumuh tak jauh dari sekolahnya. Langkahnya agak terseok dan seluruh badannya terasa ngilu saat digerakkan. Penampilannya pun tidak kalah menyedihkan. Ada luka lebam yang tidak lagi berusaha ia sembunyikan di keningnya yang mengkilap akibat peluh juga air busuk milik comberan di samping sekolah. Disudut bibirnya yang tipis terdapat luka robek yang cukup membuatnya terus meringis ketika tersenyum pada orang orang yang menyapa dan menanyakan keadaannya.

Perjalanannya masih sangat jauh meski kakinya tak lagi sanggup untuk melangkah. Beberapa orang yang berpas-pasan dengannya mencoba menawarkan bantuan dan pertolongan, namun yang ada di kepala Nadia saat ini adalah ia harus segera sampai ke rumah itu. Tidak nanti atau selamanya. Sekarang. Mulutnya terus bergumam lirih. Meminta maaf pada seseorang yang saat ini dia harap masih berada di rumah itu.

“Mau kemana, dik?” sapa pemilik gerobak ketoprak yang baru saja dilewatinya. Nadia hanya menggeleng lemah mencoba tersenyum dan terus melangkah. Tangannya menggenggam sesuatu dengan sangat erat seolah takut barang itu akan hilang secara tiba tiba. Walaupun kesadarannya kian menipis, suara seorang perempuan berseragam usang yang sedang tertawa geli ketika pagi itu menikmati canda tawa ditengah amukan waria komplek semakin menggema di kepalanya. Air matanya kian menggenang namun terasa berat untuk meluncur. Digigitnya bibirnya kuat-kuat. Sambil menggeleng lemah, ia terus berucap maaf. Berharap agar semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir ketika ia membuka mata.

“ Mendingan kamu pergi aja deh. Kita gak usah temenan lagi. Aku bosan dikatain parasit!”

“ Aku gak peduli, Lif. Kita teman. Aku gak pernah ngerasa buruk karena temenan sama kamu.”

“ Tapi aku yang gak suka! Risih tau gak sih? Setiap kita main bareng, semua orang berpikir aku cuma manfaatin kamu atau nunggu saat yang tepat buat mengambil harta kamu. Aku emang miskin, kerjaanku keras dan kelakuanku gak baik, tapi aku masih tau caranya berteman.!”

Pertengkaran Nadia dan sahabatnya, Alif sore itu adalah yang terbesar. Nadia tahu bahwa yang menjadi momok paling menakutkan bagi mereka berdua ialah anggapan miring tentang persahabatan mereka. Tapi Nadia juga tahu bahwa itu tidak pernah cukup untuk membuat mereka saling membenci.

Siang itu Nadia mengumpulkan tekadnya. Mencoba untuk mencicipi kerasnya dunia Alif tanpa sepengetahuan sang sahabat. Dia ingin menunjukkan dengan bangga bahwa dunianya tidak sebaik itu untuk membuat mereka harus berhenti berteman. Berbekal sepatu olahraga yang diikat kencang dan jaket kebesarannya, Nadia meluncur ke pasar tradisional tempat biasa Alif bersama kawan kawan nakalnya nongkrong.

Target sudah ditentukan. Seorang ibu rumah tangga yang sibuk melakukan tawar menawar terlihat tepat untuk mendukung adegan penguji adrenalinnya kali ini. Napasnya semakin terengah engah bahkan sebelum ia memulai aksinya. Tangannya bergerak gemetar, beberapa kali ia menggeleng kemudian mengangguk lemah. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak akan mundur sekarang. Dengan sekali hentakan ia mendorong targetnya hingga terjungkang ke depan kemudian lari secepat mungkin. Dengan gesit ia menghindari kejaran orang orang yang berada di pasar.

Ia tersenyum puas saat berhasil lari dari kejaran warga, namun naas. Nafasnya tercekat tiba tiba ketika melihat Alif memergokinya. Matanya menyalang tajam penuh penghakiman.

" Kamu ngapain, Nad?" Tanyanya dingin. Nadia tidak sanggup berkata. Ia pasrah begitu saja saat Alif merampas tas yang tersembunyi dibalik jaketnya dan pergi begitu saja tanpa berkata apapun ataupun menoleh ke arahnya.

Nadia kembali tersadar dari keterkejutannya ketika suara warga yang memaki terdengar dekat dengannya. Sesuatu yang sangat buruk sedang menanti untuk dilihatnya. Teriakkannya menggema ke seluruh komplek dagangan harian ketika melihat Alif meringkik kesakitan di tanah sedangkan manusia manusia yang mengaku berotak itu sibuk menghakimi sepihak. Alif tidak melawan. Ia hanya berusaha melindungi tas yang berada dalam dekapannya.

" ITU TAS SAYA!! HENTIKAAAAAN! TOLONG HENTIKAAAAN!! BERHENTIIIIIII! BAPAK TOLONG BERHENTI! ITU TAS SAYA!!!" jeritnya sekuat tenaga, berusaha menerobos dan melindungi Alif yang sudah tidak sadarkan diri. Mereka berdua menjadi bulan bulanan warga yang gerah dengan aksi pencopetan yang memang sering terjadi di pasar tersebut.

Setelah tertidur selama 3 hari ketika pertama kali membuka matanya, Nadia langsung meronta ingin bertemu dengan sahabatnya. Namun tidak ada seorangpun yang mau menolongnya. Dia tidak diizinkan untuk pergi kemanapun. Di hari ke lima setelah insiden itu, Nadia menerima pesan. Sebuah foto gantungan kunci dari ukiran kayu yang sangat ia kenali. Pesannya berisikan undangan untuk mengambil barang tersebut jika memang barang itu berharga baginya.

Nadia segera mengiyakan dan tanpa pikir panjang mengajak bertemu sesegera mungkin sepulang sekolah karena hari itu ia mulai kembali bersekolah. Setelah menunggu cukup lama, Nadia hendak mengirim pesan kepada orang tersebut agar tidak mempermainkannya. Waktu terasa lambat baginya. Merasa dipermainkan, Nadia hendak pergi. Memutuskan untuk mencari Alif terlebih dahulu. Dan saat itulah tanpa diduga duga pandangannya mulai kabur. Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dibelakangnya terdapat 5 orang remaja seusianya yang menatapnya penuh benci. Mereka tidak memberikan jeda untuk Nadia karena ketika Nadia berbalik, mereka langsung menghujami Nadia dengan pukulan dan tendangan. Ditengah tengah penghakiman itu ia mendengar bahwa mereka menyalahkan Nadia atas apa yang terjadi kepada Alif saat ini. Gadis itu terbaring tak sadarkan diri di rumahnya karena tidak memiliki cukup biaya untuk berobat. Bahkan setelah hari itu Alif belum membuka matanya. Dengan perawatan seadanya, mereka secara bergantian merawat Alif yang sejak SMP ditelantarkan orang tuanya.

Seketika tubuh Nadia menjadi mati rasa. Ada sesuatu yang lebih sakit dari sekedar hantaman kebencian para perempuan itu. Sakit yang membuatnya kehilangan akal dan terdiam membatu. Untungnya, diujung kesadarannya, seorang remaja datang berlari menghampiri mereka dan berteriak. Meminta agar mereka berhenti memukuli Nadia karena baru saja ia mendengar bahwa Alif telah meninggal dunia.

Semuanya berhenti. Ayunan kaki dan tangan yang siap menghantam tubuh Nadia berhenti. Waktu seolah berhenti dan detak di jantungnya ikut terhenti. Mereka semua berlari meninggalkan Nadia yang mengumpulkan sisa kekuatannya untuk berdiri. Tangannya bergetar hebat tak kalah dengan kakinya yang terasa mengambang. Wajahnya yang sudah tidak karuan mengeras. Menahan segala kegilaan yang memuncak di kepalanya. Matanya yang lebam menangkap siluet gantungan kunci pemberian Alif. Nafasnya kian memburu dan terputus.

Inginnya hanya satu saat ini. Ia ingin tersadar dari mimpinya. Mimpi terburuk dari segala mimpi buruk yang mungkin menghampirinya. Kehilangan satu satunya orang yang menganggapnya ada diantara orang orang yang menjadikannya kantong emas atau pajangan belaka.

DzakiyyatunNisa
29 Agustus 2019
AnugrahLalaAldino

3 Terbaik Tugas Penulis Pemula Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang