part3

117 10 0
                                    

Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yg dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di ubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada ranjang tidur beralaskan tiker.

Sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.

Di dalam kamar, Sarada pun bertanya, maksud ucapannya kepada pak Azis, karena sepanjang perjalanan, bila dirasakan oleh Sarada sendiri, itu lebih dari satu jam, chocho membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, sumire memilih tidak ikut berdeba.

Sumire, memilih untuk diam
"Gini apa kamu dengar apa tidak, di jalan tadi, ada suara orang menaikan gemelang"
"Ya, palingan ada warga yang mengadakan hajatan".

Berbeda dengan chocho, sumire, menatap Sarada dengan ngeri.

Sembari berbicara lirih, sumire yg seharusnya paling ceria di antara mereka berkata "tidak mungkin ada desa lain disini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk".

Mendengar itu, chocho tersulut dan langsung menuding sumire sudah ngomong yg tidak-tidak.

"Sum, jangan ngomong sembarangan, kamu bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong hal yg gak masuk akal begini".

Chocho pergi, meninggalkan Sarada dengan sumire.

Saat itu, sumire mengatakannya, "sar, aku juga dengar suara gamelan itu" katanya.
"Masalahnya, aku juga lihat ada yg menari di jalan tadi".(sumirenya indigo)
"Astaghfirullah"kata Sarada tidak percaya

Sumire menatap nanar Sarada, air matanya seperti memaksa keluar, Sarada hanya memeluk dan mencoba menenangkan nya.
Benar kata ibunya tempo hari

"Air selalu mengarah ke timur" yg memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yg buruk dan yg paling buruk, dan kini, Sarada harus tinggal di hutan paling timur.

Cerita tentang sumire dan Sarada tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat kopi sampai di rasa yg paling manis, belum sampai di rasa yg paling pahit.

Sarada memang percaya pada hal-hal yg gaib, namun baru kali ini merasakan langsung pengalaman itu, meski sekedar suara, berbeda dengan sumire, temanya, ia mengaku melihat yg tidak seharusnya ia lihat.

Mungkin sumire lebih sensitif.

Memang, sejak awal, sumire yg paling berbeda di antara yg lain, hanya dia seorang yg bisa melihat yg aneh-aneh, sumire yg paling religius, karena setahu Sarada sendiri, sumire jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".

Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah terlupakan oleh semua rombongan ini.

"Sum" kata Sarada masih menenangkan "sum, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman, kan jadi gak enak , kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita ini disini itu sebagi tamu insyaallah, semua akan baik-baik saja, ya.

Sumire mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Sarada, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.

Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul,  sesuai janji pak Azis, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yg sudah di ajukan oleh chocho tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk proker individu yg harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.

"Ngene Iki, walaupun saya tinggal Nang kene, aku Yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi"kata pak Azis, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Mendengar itu, boruto menimpali "itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya desa, tidak lupa kuliah" boruto melanjutkan "bapak ambil apa dulu, perhutanan ya"

"Bukan" kata beliau santai "pertanian"
"Lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak"
"Ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah"

Jawaban pak Azis sontak membuat tawa pecah, Sarada melirik sumire, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.

Sampailah, mereka di pemberhentian pertama, sebuah pemakaman desa
Aneh.

Itu pertama kali di pikiran Sarada, atau mungopoookin serombongan orang, di setiap nisan, di tutup oleh kain hitam.

Pemakamannya sendiri, di kelilingi pohon beringin , dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, Disana, ada lengkap, sesajen di depannya.

Sumire yg tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam, ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. Pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Sarada .

"Mohon maaf pak, ini kenapa ya kok-" belum selesai Sarada bicara, pak Azis memotongnya.

"Saya tahu apa yg adik mau katakan, pasti mau tanya, kok nisan nya, di tutupi pakai kain, gitu to.

Sarada mengangguk, rombongan menatap serius pak Azis, terkecuali boruto dan shikadai, terdengar mereka sayup tertawa kecil.

"Ini itu namanya, sangkarso. Kepercayaan orang sini. Jadi biar tahu, kalau ini loh, pemakaman" terang pak Azis, yg jawabannya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai boruto dan shikadai walaupun pelan sengaja menyindir. Namun pak Azis bisa mendengar nya.

"Orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak" pak Azis, awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.

"Semoga saja kalian tahu yg di omongkan ya"
Kalimat pak Azis seperti penekanan yg mengancam, setidaknya itu yg Sarada rasakan, sontak, Mitsuki merespon dengan meminta maaf, namun boruto dan shikadai memilih diam setelah mendengar respon pak Azis.

"Monggo, pak bisa di lanjutkan ke tempat selanjutnya"

Tempat berikutnya adalah shinden (kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Azis mengatakan bahwa shinden ini bisa dijadikan proker paling menjanjikan, tidak jauh dari sana ada sungai, inginya pak Azis, shinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semacam jalan air.

Tanpa, terasa hari sudah siang.

Chocho dan Sarada sudah memetakan semua yg pak Azis tunjukan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yg paling di utamakan sampai yg paling akhir di kerjakan.

Namun, tetap saja. Selama perjalanan, Sarada banyak menemukan keganjilan.
Keganjilan yg paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yg diletakan di atas Tempeh, lengkap Dengan bunga dan makanan yg di letakan di sana, di tambah bau kemenyan, membuat Sarada tenang.

Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yg bagus.

Sumire, setelah di shinden, ia ijin kembali kerumah, karena badannya tidak enak, dengan sukarela Mitsuki yg mengantarkanya, jadi, observasi di lakukan oleh 4 orang saja.

KKN Di Desa Penari Versi SaradaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang