Rumah Lama

220 28 3
                                    

"Ingat, hyung. Tidak perlu menggali terlalu jauh data klien, jangan biarkan ada saksi mata, jangan juga kau biarkan ada jejak pada TKP dan-"

"Tetap hidup." Seungwoo memotong kalimat yang keluar dari mulut sang kawan itu. Kuasanya masih sibuk bersihkan senapan miliknya dengan sebuah kain tipis dalam genggaman. "aku sudah tahu, Jinhyuk. Kalimatmu itu sudah berhasil aku hafal di luar pikiranku."

Jinhyuk mendengus, "Ya, ya, semoga saja kau tidak mati kali ini, Bung."

Seungwoo hanya merespon dengan delikan tajam, membuat Jinhyuk lantas tertawa akan tingkahnya. Jinhyuk meraih gulungan kertas yang menjadi hasil dari usahanya selama semingguan ini, sebuah peta daerah Itaewon diikuti dengan beberapa titik merah diatasnya.

Cagaknya bergerak untuk hampiri yang lebih tua, memberikan sebuah tas berisi perlengkapan Seungwoo yang cukup berat itu. Lalu diikuti dengan gulungan kertas dalam genggaman tangan kirinya.

Seungwoo yang memperhatikan gerak-geriknya itu mulai memposisikan dirinya untuk berdiri di sebelah si Lee. Menyimpan senapan yang sudah ia bersihkan ke dalam tas miliknya. Tangannya pun mulai sibuk cek beberapa perlengkapan sebab takut ada yang tertinggal dan membuat susah dirinya sendiri nantinya.

"CCTV di Itaewon cukup banyak. Kau harus menghindari daerah yang sudah kuberikan titik merahnya. Kemungkinan besar, kau harus melewati terowongan kereta bawah tanah yang sudah tidak beroperasi, jika kau ingin beristirahat sejenak. Kurang lebih tiga ratus kilo meter dari tangga menuju terowongan, ada sebuah ruangan yang sudah lama tak dijamah."

Jinhyuk merogoh saku jaketnya, mengambil pulpen lalu mulai menggerakkan tangannya untuk membuat jalur yang ia rasa bisa dilalui Seungwoo. Seungwoo yang mendengar itupun hanya mengangguk, mulai berkonsentrasi penuh dengan rentetan kalimat yang Jinhyuk jelaskan padanya itu.

Yang lebih muda mulai mengetuk dagunya sendiri, kemudian kembali memberi arahan pada Seungwoo kala sebuah ide melintas di pikiran. "Ada juga jalur lain yang mungkin bisa kau lalui juga. Tapi, yang pasti, kau tidak melewati supermarket karena dekat dengan kantor polisi. Kalau kau ingin menyuplai makanan, kabari aku. Aku akan datang."

Seungwoo merangkul Jinhyuk, sesekali mengusak wajahnya di perpotongan leher Jinhyuk bermaksud jahil. Hal itu lantas ditanggapi dengan pukulan keras di punggung belakang Seungwoo, membuat yang lebih tua meringis.

"Dengarkan penjelasanku dengan benar, keparat. Kalau kau mati, aku juga yang repot."

Seungwoo terkekeh, kemudian melepas rangkulannya pada Jinhyuk yang terlihat kesal padanya. Ia mulai memposisikan untuk menatap hasil kerja Jinhyuk dengan seksama, berusaha agar otaknya dapat bekerja baik kali ini.

"Kau butuh identitas baru? Aku akan menghubungi Seungyoun untuk membantu kita jika kau belum punya."

Seungwoo berpikir sebentar kemudian mengangguk. Membuat Jinhyuk yang sedaritadi menunggu jawabannya itu ikut menganggukkan kepalanya mafhum. Tangan Jinhyuk mulai sibuk meraih gawai, mengirimkan sebuah pesan pada Seungyoun untuk mulai mempersiapkan berkas-berkas perihal identitas Seungwoo yang baru.

"Oh iya, hyung! Aku lupa memberi tahumu perihal rekan kerja kita yang baru. Dia masih muda. Dua tahun lebih muda dariku, lebih tepatnya."

Seungwoo yang tengah fokus dengan jalur buatan Jinhyuk pada peta pun mulai memprosesnya untuk dijadikan ingatan dalam benak lantas berdeham sebagai respon. Tak berniat alihkan atensi sebab jika keseriusannya diusik, bisa saja berpengaruh besar pada konsentrasinya pada strategi lapangan.

"Song Yuvin, bagian pencari informasi korban akan membantumu dalam operasi kali ini. Kudengar dia cukup handal dalam mencari jaringan yang dapat diakses untuk penyamaranmu nanti. Dia punya banyak relasi dan itu dapat menguntungkanmu."

Seungwoo mengangguk paham, mulai berjalan kearah sofa untuk merebahkan dirinya. Ia mulai merasa kepalanya mulai pusing, sesekali ia pijat pangkal hidungnya pelan. Sedaritadi ia hanya membiarkan Jinhyuk berceloteh banyak, sebab entah kenapa rasanya enggan betul keluarkan suara.

"Kau sudah tahu target operasimu kali ini, hyung?"

Seungwoo mematung, namun beberapa detik kemudian ia tersenyum tipis. "Sudah, sedikit. Tenang saja, Jinhyuk. Aku hanya perlu meminta informasi mengenai target dan alasan kuat mengapa target harus dijadikan objek bidikanku kali ini. Sisanya bisa aku bereskan secepatnya."

Ia mengambil bantal sofa untuk menutupi wajahnya, membuat Jinhyuk menggeleng terheran-heran. Jinhyuk mulai melangkahkan kakinya untuk mendekat kepada yang lebih tua. Menempatkan dirinya di tempat kosong sebelah Seungwoo dan menepuk bahu milik pemuda dengan rajah pada tulang selangka itu pelan.

"Hubungilah Byungchan kalau kau merasa butuh semangat. Karena aku rasa, ia adalah salah satunya obat yang ampuh untuk meredakan pusing pada kepalamu."

Seungwoo menggeleng pelan, menerbitkan sebuah senyuman yang terkesan dipaksakan. "Tidak perlu, aku bisa meredakan ini. Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya."

Penolakan Seungwoo atas ide Jinhyuk semata-mata karena kekhawatirannya yang berlebih. Ia takut, ia malah akan semakin rindu dengan sang kekasih jika ia terus berusaha untuk menghubungi pemuda dengan cacat pipi itu.

"Ya sudah. Kalau begitu, aku akan pulang dulu. Jaga staminamu dan berhati-hati. Besok kau harus survei tempat untuk menganalisa kondisi yang ada dan mencari titik yang tepat untuk operasimu kali ini."

Jinhyuk beranjak dari posisi duduknya, mulai membuka jaket yang ia pakai dan menggantinya dengan sebuah sweater yang ia gantung beberapa jam lalu. Dikenakanlah pula topi hitam untuk menutupi rambutnya. Ia berusaha acuh kala Seungwoo mulai meracau untuk memperingatinya perihal pakaian sebab di luar sangatlah dingin.

"Dah, hyung! Sampai jumpa lusa!"

Seungwoo hanya mengangguk, memutuskan untuk memejamkan matanya sebab merasa penat. Ia tidak pernah merasa begitu berat dalam melaksanakan pekerjaan juga selalu bersikap profesional dalam menyelesaikan semuanya.

Sebuah kertas yang sudah berbentuk acak itu kembali ia buka, menampilkan sebuah foto dan tulisan dengan bahasa asing di bawahya. Lagi-lagi berhasil membuat Seungwoo kembali meremat ujung kertas dan berdecak. Sampai kemudian kertas itu ia buang ke sudut ruangan seakan tak peduli akan isi.

Kali ini, ia akan kembali bersua dengan tempat dimana ia pernah berteduh. Luka yang telah ia obati itu perlahan terbuka, menyisakan rintihan penuh pilu pun bibirnya yang terasa kelu.

Kacau dan hancur seakan dirinya habis tersungkur, jua menyisakan kulit pucatnya yang mulai berkelukur. Penggambaran suatu kesakitan itu mulai terasa kala dadanya terasa sesak layaknya dihantam tombak.

Seungwoo menepuk dadanya kencang, merasa frustasi akan keadaan. Sebab diri tak siap akan opsi yang harus dipilih sebagai pilihan. Ia raih gawai miliknya dengan tangan yang bergetar, berusaha untuk menghubungi seseorang.

"A-Aku menemukannya. Aku menemukan kembali rumah lamaku."

to be continued.

Writer's note:

Rumah lamanya apa, nih? Hehehe. Kalau kalian baca chapter satu dengan baik, pasti sadar, deh! Soalnya aku kasih kode juga disitu.

Ngengggg selamat datang konflik! 😀

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sinner | seungchan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang