Seorang pemuda memancarkan aura suram, terlihat sepucuk Surat yang telah kusut digenggaman pemuda tersebut. Matanya yang memancarkan kesedihan yang amat mendalam, sekali lagi sang pemuda membaca Surat tersebut.
"Kenapa? Kenapa kamu yang meminta maaf, seharusnya itu aku. Aku yang harus meminta maaf padamu." Isak sang pemuda, air mata yang semula kering kembali mengalir menulusuri pipi pucat sang pemuda.
Dear Sahabat ku.
Hai Bro! Semoga kamu selalu sehat.
Saat kamu membaca surat ini, berarti aku sudah tidak dapat menemanimu lagi. Surat Maaf, seperti yang tertera di amplop. Surat ini berisikan permintaan maaf ku padamu.
Maaf karena aku sudah tidak dapat di samping mu.
Maaf karena diriku yang lemah, diriku yang tidak mampu menjauhkan mu dari gadis tersebut.
Maaf karena aku tidak dapat menghibur mu, ketika kau terpuruk akan kenyataan bahwa kau telah dikhianati.
Sang pemuda semakin terisak, begitu mengingat perlakuan kasarnya pada sang sahabat. Yang sudah berusaha keras untuk mengingatkan nya, bahwa gadis nya. Ah! Bukan! Mantan gadisnya lebih tepatnya, telah mengkhianati nya.
Seharusnya ia lebih mendengarkan apa yang sahabat nya katakan.
Maaf karena tidak dapat bersamamu untuk menciptakan kejahilan lagi.
Maaf karena tidak dapat tertawa bersama mu lagi.
Maaf karena aku tidak dapat menahan mu, untuk menemani ku sejenak.
Dan maaf karena aku tidak mengatakan keadaan ku yang sebenarnya.
Maaf kan keegoisan ku ini.
Salam
Dari sahabat mu.