Repost.
***
Akan selalu ada perpisahan di setiap perjumpaan. Akan ada yang namanya akhir dari sebuah cerita, terlepas apakah itu adalah akhir yang bahagia, sedih atau akhir yang menggantung. Aku sendiri kini tidak mengerti dengan apa yang kurasakan, aku seolah tidak mengenal rasa, tidak dapat membedakan antara rasa sedih atau bahagia atas akhir dari pertemuanku dengan dia.Dia, Afiatul Karimah, teman tidurku (ehm, room mate maksudku). Awal perjumpaanku dengan dia biasa saja, karena dulu aku berbeda kamar dengannya walaupun kami masih satu kosan. Aku sibuk dengan urusanku dan dia juga memiliki kesibukannya sendiri, jadi waktu perjumpaan kita tidak terlalu banyak. Ketika kami memiliki waktu libur yang sama, kami justru memilih untuk melakukan aktivitas di kamar masing-masing. Mungkin, hal ini karena kami sama-sama pendiam dan tidak tahu harus memulai percakapan seperti apa.
Hingga pada pertengahan bulan Desember, ada suatu kejadian yang memaksa kami harus pindah dari kos-kosan. Kosan kami (kos dengan harga paling terjangkau karena letaknya yang dekat dengan sungai) saat itu terendam banjir hingga setinggi pusar orang dewasa dan membuatku kehilangan beberapa buku kuliahku karena hanyut dan beberapa lainnya basah terendam banjir.
Aku bingung harus mengungsikan barang-barangku ke mana dalam waktu dekat ini, hingga di puncak kegelisahan dan kebingunganku, teman terbaikku sepanjang masa, Mubtadiatul Mumayyizah, tiba-tiba meneleponku.
"Assalamualaikum, Nisa!" suara Ayiz dari seberang sana.
"Walaykum salam Ayiz. Ada apa?" jawabku berusaha setenang mungkin.
"Kamu masih bisa bertanya ada apa? Iiiih... kenapa kamu tidak menelfon aku? Aku pasti akan membantumu. Ah! Kamu ini selalu menyimpan masalah sendiri seperti tidak punya teman saja!" Omelan Ayiz terdengar nyaring sekali di telingaku.
"Aku tidak ingin merepotkan kamu Ayiz!" jawabku jujur.
"Aku gak repot!" tegas Ayiz cepat."Sudah, sekarang kamu siapin barang-barang yang akan kamu bawa nanti aku jemput kamu di pinggir jalan Panjaitan ya.... Assalamualaikum." Ayiz menutup telepon sebelum aku menjawab salamnya.
Aku terharu dan ingin menangis dengan sikap Ayiz, tetapi sekarang aku tidak memilki waktu untuk itu. Dengan cepat aku memasukkan baju-baju yang basah ke dalam plastik besar, memasukkan buku-bukuku yang kering ke dalam tas dan buku-buku yang basah ke dalam plastik lainnya.
Saat keluar, kosan sudah sepi karena anak-anak sudah mengungsi semua. Aku berjalan sambil menggendong barang-barangku yang ternyata banyak, lalu aku melihat kamar Karim yang lampunya masih menyala. Aku langsung membuka pintunya.
"Karim..." Aku lihat dia sudah mengemasi barang-barangnya tapi dia malah menangis di sudut kamar yang tergenang air.
"Kamu kenapa?" tanyaku refleks karena melihat dia menangis. Karim terlihat kaget, ia langsung mengusap air matanya. Selama beberapa lama, dia hanya terdiam dan membuatku merasa tidak sopan karena telah membuka pintunya dengan sembarangan.
"Maaf Karim," ucapku.
"Ayahku tidak punya uang, jadi aku tidak tahu harus mengungsi ke mana. Saat ini aku benar-benar tidak punya uang-sepertinya uangku ikut hanyut. Aku bingung Nisa," kata Karim cemas.
Aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa, saat itu aku benar-benar ingin segera pergi dari kosanku karena sudah tidak tahan dengan air yang menggenang.
Drettt...
HP milikku bergetar, ada panggilan dari Ayiz.
"Halo... Nisa, kamu di mana? Apa kamu masih di kosan?" tanya Ayiz tanpa salam.
"I... iya, sebentar," jawabku. "Yiz... aku boleh membawa teman? Temanku tidak tahu harus mengungsi kemana." tanya ku.
"Terserah kamu, soalnya hanya ada satu kamar tersisa, kalau kamu mau berbagi kamar ya silahkan," jawab Ayiz.