Jum'at sore menjelang Magrib hujan gerimis turun, menyirami bunga layu yang baru saja kutanam, mungkin besok pagi akan segar, tapi tidak dengan hatiku yang layu, hatiku butuh waktu yang cukup lama agar bisa kembali segar.
Bagaimana hati ini tidak layu ketika kedua mataku melihat sosok yang kaku dan tidak bergerak sedikitpun, tubuhnya putih pucat dengan senyum terkembang, lengkap dengan kelopak matanya yang tertutup rapat.
Ya Tuhan, kenapa?
Padahal, baru saja aku tersenyum bangga bisa membuat ibu tersenyum lebar sebab aku memberinya kado bunga mawar yang aku tanam di depan rumah. Kenapa Engkau ambil ibu secepat ini? Kenapa tidak Engkau biarkan kami bersama untuk beberpa lama. Mungkin sampai aku bisa membelikan ibu mukena baru untuk sholat atau baju bagus seperti milik Bude Rum.
Aku terisak menahan nafas, ibu bersandar di pundakku. Ingin aku menjerit, tapi kerongkongan ku seperti tercekik.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku. Mata ku basah. Lampu damar yang menempel di dinding anyaman bambu mulai meredup karena minyaknya mulai habis. Gerimis menjadi hujan, sore mulai gelap. Aku meringis menahan pilu yang menusuk.
Aku tidak boleh sedih, itu janjiku beberapa menit yang lalu. Ibu memintaku untuk tetap tegar dan ikhlas dengan semua ketentuan Allah.
Hatiku perih!
Aku masih tidak mengerti apa maksud Tuhan merebut manusia yang paling berarti dalam hidupku. Selama lima belas tahun waktuku hanya kuhabiskan dengan ibu. Aku tak pernah melihat bapak karena Ia meninggal ketika aku berusia tiga bulan. Aku hanya hidup berdua dengannya di gubuk kecil tanpa listrik ini.
Dengan perlahan kubaringkan ibu ke dipan, sambil menangis terisak aku berlari menerobos hujan, meninggalkan jasad Ibu. Aku berlari tak peduli dengan diriku yang basah kuyup, aku menuju rumah Pakde Najib dan Bude Rum. Ku ketuk pintunya tiga kali baru kudengar tanggapan dari rumah pakde yang berada tidak jauh dari rumah.
"Pak de..." aku tidak sanggup untuk bilang bahwa ibu telah meninggal.
"Iya, Tari, kenapa?" pakde bingung mendapatiku yang seperti kucing habis masuk sungai.
"Ibu pergi pakde!" aku menangis sesenggukan.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un" sepertinya pakde sudah punya firasat dengan hal ini, kemudian pakde langsung bergegas menuju rumah ku dan ibu, aku berjalan mengikuti langkah pakde.
Sebelum berangkat tadi, pak de sempat meminta bude Rum untuk mempersiapkan ruang tamu sebab jenazah ibu akan dibawa dan diurus di rumah pakde Najib.
Usai sholat Magrib kepergian ibu disiarkan di speaker musholah. Aku tidak mengerti, semua berjalan begitu cepat, aku turut memandikan ibu, turut mengkafani beliau, pun tidak tertinggal untuk ikut menyolatkan jenazah ibu.
Semua ini berjalan terlalu cepat, aku merasa baru kemarin ibu pergi, tapi sekarang sudah satu tahun berlalu. Aku masih hidup, padahal dulu aku kira aku akan ikut mati jika ibu pergi.
Ya, aku masih hidup, masih bisa makan dan sekolah, aku masih normal seperti gadis remaja yang lain, sebab sejak saat itu aku tinggal bersama Pakde Najib. Semua ada, tempat tinggal yang lebih nyaman, makanan enak meskipun tidak mewah tapi aku tidak pernah lagi merasa kelaparan, buku-buku lengkap meskipun bukan buku baru, sebab anak-anak pakde Najib sudah kuliah semua dan buku-bukunya masih bisa untuk aku pelajari.
Mungkin ini yang diinginkan ibu, ibu ingin aku terus belajar, ingin aku meraih cita-citaku. Mungkin ini yang diinginkan Allah, dan sepertinya memang ini yang terbaik untuk ku. Meskipun aku merasa berbeda. Iya, beda sekali kehidupan ku bersama pakde. Semua mimpiku terasa lebih dekat dan terasa lebih mudah didapat.
Pakde sangat peduli padaku, tapi aku tidak merasakan cinta yang sama sepertiyang diberikan pakde pada anak-anaknya, aku tidak merasakan cinta yang sama seperti yang diberikan ibu kepadaku dulu.
-=*=-
Ibu. Ibu meninggal tepat di hari lahirnya.
Jika ada orang yang bertanya, aku sudah ikhlas atau belum atas kepergian ibu, pasti akan aku jawab dengan mantap, ikhlas! Ya, meskipun sebenarnya aku masih belajar untuk mengikhlaskannya, aku hanya yakin inilah yang terbaik untuk ku juga untuk ibu.
Namun, aku selalu merasa ada yang mengganjal di hatiku, aku punya hutang pada ibu. Selama ini aku tidak pernah memberinya apapun bahkan hingga kepergiannya, padahal Ibu telah memberikan banyak hal kepadaku. Aku berfikir kado apa yang masih bisa aku berikan meskipun ibu sudah tiada?
-=*=-
Minggu pagi usai sholat subuh, pakde memintaku untuk membersihkan lemari buku di ruang tamu. Ketika aku sedang membersihkan buku-buku itu, aku menemukan buku 'Faidah Membaca Surah Yasin', di buku itu tertulis jika surah yasin dibacakan pada mayat di dalam kubur maka akan diringankan siksanya.
Berawal sejak pagi itu aku berusaha menghafalkan surah yasin dan kini setiap hari aku selalu membaca surah ini, surah yang kujadikan sebagai kado teristimewa untuk ibuku. Semoga Allah memberikan tempat yang indah di sisi-Nya, amin.
***
Hadiah untuk Ibu, mungkin moment nya lebih tepat ketika disampaikan pada tanggal 22 Desember, namun siapa yang bisa menahan rasa cinta untuk ibu? Kami persembahkan kado ini untuk teman-teman, tak perlu menunggu hari esok atau hari ibu, katakan saja kita mencintai ibu, dulu, hari ini dan selamanya. Jangan ditunda.
Salam sayang, patuh dan hormat untuk para ibu dimanapun berada.
2 Desember 2018