1. Childhood Friends (Part 1)

182 11 5
                                    

Maria mengangkat wajah, menaruh tangan di sisi kening untuk melindungi mata dari cahaya matahari siang. Ia menatap ke arah pohon, tahu bahwa orang yang ia cari pasti ada di dahan tertinggi, bersembunyi di sana untuk menghindar dari tugas-tugas yang diberi keluarganya.

"Jose!" Maria berseru, tangannya terjulur ke depan, berusaha menggoyang-goyangkan pohon Tilia dengan oercuma. Jangankan batang, bahkan dahannya pun tidak bergerak. "Jose, turun!" serunya lagi.

Terdengar suara gesekan daun dari atas, tapi tidak ada gerakan lebih lanjut. Suasana masih hening. Hanya sesekali terdengar suara desau angin.

"Jose, ini aku! Turun!" Kali ini Maria mengangkat rok panjangnya sampai betis, menendang pohon di depannya dengan sebal.

"Itu bukan sikap tuan putri yang baik!" sebuah suara terdengar geli dari atas pohon.

"Kau juga tidak bersikap seperti tuan muda yang baik!" sergah Maria, berusaha mencari di mana kawannya bergelantungan, tapi pandangannya tertutup dedaunan. "Aku bertemu pamanmu tadi! Dia mencarimu!"

Ada suara gemerisik lagi dari atas, kemudian sesuatu ambruk jatuh di sisi Maria, membuat gadis itu berjengit kesal. Ia tidak kaget. Sesuatu yang jatuh itu—yang adalah pemuda seumuran dengannya—sudah sering meloncat ke sampingnya dengan cara barusan.

"Maksudmu Paman Marco?" Jose mengangkat tubuh, menatapnya dengan senyuman jenaka, "Kau tidak memberitahunya aku ada di sini, kan?"

Maria menahan tawa. "Sebenarnya sih, ingin."

Jose menjatuhkan tubuh ke atas rumput teki yang merapat di bawah mereka. Buku yang dibawanya ia jatuhkan ke sisi tubuh. Maria mengikuti contoh Jose, ikut berbaring di samping lelaki itu. Berbaring di bawah pohon memang enak. Ini adalah tempat favorit mereka sejak kecil karena sejuk dan dekat dengan danau. Tujuh meter dari mereka, sebuah danau jernih kebiruan membentang luas.

Kalau ibunya atau pengasuhnya tahu apa yang ia perbuat—tidur-tiduran di samping lelaki muda, ia pasti akan dimarahi dan dihukum tidak boleh keluar rumah satu bulan. Seperti itulah tipe keluarganya. Kolot.

Maria sendiri bukannya sembarangan membaringkan diri. Kalau yang di sisinya cuma pemuda tanggung biasa, ia bahkan tidak akan mau mendekat. Ia tumbuh besar dalam didikan keluarga yang ketat, yang membuatnya secara reflek menjauhkan diri dari segala hal yang tanpa tata krama. Tapi yang di sampingnya sekarang adalah Jose. Kawannya sejak kecil. Bahkan berpegangan tangan dengannya pun tidak memberi efek atau getar apa-apa, dan Jose sepertinya juga merasakan hal yang sama. Mereka sudah seperti keluarga saja. Masing-masing terbiasa pada kehadiran satu sama lain secara natural.

"Kudengar mereka memilihkan banyak perempuan untukmu." Maria memejamkan mata, menyikut sedikit lengan Jose agar lelaki itu bergeser dan memberi tempat teduh untuknya.

"Ya, anak-anak perempuan yang bahkan belum tahu caranya berdansa.""Tidak masalah. Kau saja yang mengajari. Mendidik sendiri calon pengantinnya kan impian para lelaki? Seperti dalam My Fair Lady."

Jose tertawa. "Aku saja terlalu malas untuk mendidik diri sendiri."

"Yah, itu benar." Maria makin keras menyikut karena lelaki itu tidak mau minggir. "Tukar tempat! Di sini panas."

"Kau harusnya pakai jaket dan celana panjang, bukannya gaun seperti itu." Jose menggerutu, tapi akhirnya bangun dan bertukar tempat dengan gadis di sampingnya.

"Tidak mau, aku suka gaun ini. Bahannya enak," celoteh Maria. "Bagaimana rupa gadis-gadismu? Cantik? Pilihan Paman Marco pasti cantik-cantik."

"Mereka bukan gadis-gadisku," sahut Jose. "Biasa saja. Rambutnya merah semua. Aku yakin lebih lama lagi melihat rambut-rambut merah itu, aku akan buta warna."

"Ah, masa!" Maria tergelak, "Tapi rambut merah kan cocok denganmu. Aturannya seperti itu. Rambut merah sebaiknya menikah dengan rambut hitam."

"Omong kosong. Masa menikah karena warna rambut." Jose melirik kepala berambut cokelat madu di sampingnya. "Kau sendiri? Kudengar keluargamu menerima banyak pinangan."

"Ya, ada tiga yang datang. Tapi, oh ya, aku datang untuk membahas ini denganmu!" Maria bangkit. Matanya berbinar, "Aku mendapat undangan ke rumah Sir William!"

"Kurasa lebih baik kau diskusikan ini dengan teman perempuanmu. Masalah pesta dansa dan sebagainya bukan keahlianku."

"Ah, diam saja. Aku kan tidak minta pendapatmu. Aku cuma mau cerita. Lagi pula para perempuan terlalu cerewet. Aku akan berdiskusi dengan mereka soal gosip di arisan, siapa yang sedang sakit minggu ini, atau bagaimana trend fashion sekarang, tapi Sir William? Tidak, aku tidak mau membicarakan ini dengan mereka. Nanti mereka tahu aku menyukainya."

"Memang itu tujuannya, kan?"

"Aku tidak mau mereka tahu, Jose! Nanti mereka akan mulai bergosip. Aku selalu merahasiakan soal siapa yang kusukai! Sudah cukup mereka menggosipkan soal kita di belakang. Kalau ditambah dengan soal Sir William, Ayah dan Ibu pasti mengira aku perempuan murahan. Dan aku jadi tidak enak kalau Sir William tahu, dasar bodoh!"

"Omong-omong soal gosip, kalian tahu kabar terbaru tentang misteri Bjork?"

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang