Laki-laki yang Melarutkan Kekalahan dalam Gelas Whiskey

251 7 0
                                    

Ini malam ketigaku menjalani shift berturut-turut, dan lelaki itu datang lagi. Seperti dua malam sebelumnya, dia duduk di kursi bar alias dekat tempatku bekerja.

"Dry whiskey," aku sudah nyaris hapal pesanannya selama tiga malam terakhir. Tanpa berkata apa-apa, aku menyiapkan pesanannya sementara dia sibuk dengan ponsel di tangan.

Dia bukan wajah baru di bar ini. Selama hampir setahun aku bekerja, aku sering melihatnya mampir. Namun, biasanya dia tidak pernah sendiri.

Aku paling sering melihatnya bersama tiga kawannya yang lain. Biasanya mereka menempati meja di pojok bar, tempat mereka menikmati beberapa botol bir sambil mengobrol dan menertawakan entah apa.

Yah, tidak ada bedanya dengan mayoritas pengunjung lain di bar ini. Kadang, kalau tidak full team, mereka datang berdua atau bertiga.

Bar ini bahkan pernah jadi lokasi lelaki di depanku ini dengan salah satu temannya... ah sudahlah. Saat insiden itu terjadi, aku sedang tak bekerja, jadi aku tak punya informasi memadai soal cerita itu.

Mungkin lain kali akan kuceritakan ke kalian kalau aku sudah dapat kisah lengkapnya.

Dia menyorongkan gelas whiskey-nya yang sudah kosong. "Lagi dong..." dia menyipitkan mata menatap name tag-ku. "Leo."

"Oke," gumamku dan menuang lagi. "Sendiri?" aku iseng bertanya. Dia tersenyum sedikit. "Lagi nunggu temen. Katanya udah di parkiran,"

"I see,"

"Kenapa?" tanyanya. "Bosen ya liat gue tiga hari ini?"

Aku menggeleng. "Santai aja, Mas," hanya itu jawaban yang bisa kuberikan.

Sebelum jadi bartender, aku kerap mendengar ungkapan bahwa seseorang meneguk minuman keras karena dua alasan: untuk melupakan, atau justru untuk mengingat.

Mungkin orang ini pun demikian.

Hanya saja aku tak tahu, apakah dia minum bergelas-gelas minuman keras untuk melupakan atau mengingat.

Dia hanya satu dari sekian banyak wajah yang mencari minuman racikanku di bar ini. Orang-orang yang relasinya denganku dihubungkan oleh gelas-gelas alkohol.

Aku tak biasa mengobrol akrab dengan pelangganku, kecuali berbasa-basi seperti barusan.

Cuma sesekali kadang aku mengamati, lalu bertanya-tanya, bagaimana mereka bangun besok pagi usai datang dari tempat ini.

Seorang laki-laki lain menghampiri dan menepuk pundaknya. Aku mengenalnya sebagai salah satu teman laki-laki yang tadi kuceritakan. Hanya saja, aku sudah jarang melihat si laki-laki yang baru datang ini.

Mereka saling menyapa dan bersalaman. "Sori lama," kata si laki-laki yang baru datang, sebelum beralih kepadaku dan memesan sebotol bir dingin.

"Santai. Istri juga nggak masalah kan? Tadi gue minta izin langsung lho ke dia,"

"Udah, udah di rumah katanya. Ngantukan mulu dia sejak hamil," laki-laki kedua tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Tipikal laki-laki yang baru mau jadi bapak mungkin.

Aku tak lagi memperhatikan obrolan mereka karena sibuk menyiapkan beberapa pesanan lain. Hanya sepotong-sepotong percakapan mereka yang tak sengaja kucuri dengar di luar kehendakku.

"Bentar. Jadi mereka sekarang pacaran?" laki-laki kedua urung meneguk birnya.

"Kalo yang dia bilang sih gitu," jawab si laki-laki pertama. Aku bisa melihat laki-laki kedua bergidik sejenak sebelum akhirnya menyesap birnya.

Paths and UniversesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang