Corny Corner

42 0 0
                                    

Itu sebutan untuk sesi akustik yang diadakan impromptu saat malam menjelang di ruangan kantor Jakarta Chronicles.

Tidak jelas siapa yang pertama kali menciptakannya, tetapi sebutan Corny Corner bertahan hingga sekarang.

Sesuai namanya, acara main gitar dan bersenandung itu sarat lagu yang sering dibilang lagu galau dan—katanya—kacangan; walau sulit dibantah lagu-lagu demikianlah yang biasanya lebih familiar dan memancing semua orang ikut bernyanyi.

Malam ini, Corny Corner kembali. Entah atas alasan apa.

"Astaga kumat lagi nih orang-orang," Mas Sakti, pemimpin redaksi Jakarta Chronicles, menggelengkan kepala saat dia berhenti dalam langkahnya menuju pintu keluar.

"Hehe, mumpung sepi, Mas," Navi, si desainer grafis, menjawab sambil mencoba mengulik chord gitar.

"Ya udah. Jangan malem-malem lo semua baliknya ya. Duluan," pamit si bos.

Lalu ada Jefri yang memperhatikan segalanya dan mendengarkan semua lagu yang disenandungkan koleganya.

"Eh, AJV ikutan nggak?" Mika, editor edukasi dan kebudayaan, menjawil bahunya sambil menyebut byline yang ia gunakan di koran. "Dikit lagi," Jefri menjawab seadanya.

Jefri beberapa kali mengisi sesi Corny Corner sebelumnya. Semua orang bilang suaranya bagus, jadi tidak pernah ada yang protes kalau dia menyumbang suara.

Mungkin permintaan koleganya juga salah satu validasi bahwa mereka rindu suaranya.

Dia melirik layar ponsel yang menampilkan pesan singkat. Dari perempuan yang dia tunggu-tunggu pesannya dari tadi, dan jadi alasannya bertahan lebih lama.

Seperti beberapa kali sebelumnya, perempuan itu urung memenuhi janji bertemu. Ada urusan, entah apa, yang tidak bisa dia tinggal.

Jefri menghela napas. Bersama perempuan itu rasanya selalu seperti bermain kejar-kejaran di terowongan gelap yang tidak ada ujung pangkalnya.

Perempuan itu punya senter di tangannya, Jefri tidak. Yang bisa dilakukannya hanya berlari mengikuti petunjuk samar dari senter si perempuan, meski rasanya jarak di antara mereka rasanya makin jauh tiap hari.

Namun Jefri sudah sejauh ini. Dia sudah jatuh sedalam ini. Tidak mungkin mundur atau menyerah, kecuali kalau dia sudah diberitahu bahwa dia kalah.

"Jiwaku berbisik lirih, ku harus milikimu..."

Jefri menghela napas. Dia sudah bertahan sampai malam, tetapi kekecewaan membuatnya enggan beranjak pulang.

"Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku..."

Dia bergabung dengan Corny Corner dan Navi yang sedang bermain gitar mengisyaratkannya untuk langsung ikut.

Laki-laki itu menyambar tanpa keraguan.

"Beri sedikit waktu biar cinta datang kar'na telah terbiasa..."

Paths and UniversesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang