Bagian 1

30 2 0
                                    

Yeni Pov

Melihat dan menghirup bau dari bunga mawar itu bagaikan menenggak air di tengah gurun pasir yang gersang. Terkesan lebay memang, tapi inilah aku. Oke, itu tidak penting sekarang. Yang paling penting sekarang adalah siapa yang memberikan bunga mawar secantik ini padaku?

"Dapet mawar lagi, Yen?" aku mengangguk pelan saat teman-teman kelasku menghampiri dan mengerubungiku layaknya semut yang mengerubungi gula.

"Kira-kira siapa ya? Apa kalian pernah liat orang lain selain kita yang masuk ke kelas abis pulang sekolah?" mereka menggeleng pelan. Aku menghembuskan napas kasar, sudah seminggu ini aku selalu menemukan mawar di laci mejaku setiap pagi. Tapi, tidak ada satupun teman-temanku yang pernah melihat pengirim bunga-bunga ini.

Aku sebenarnya juga tidak masalah jika ada yang mengirimkan bunga-bunga seperti ini, bahkan aku merasa sangat senang dan berterima kasih. Tapi, aku juga penasaran dengan pengirim bunga ini. Cukup lama aku terdiam mengira-ngira siapa yang mengirim bunga ini untukku, Wulan malah menyadarkanku untuk segera baris di lapangan.

Karena tidak ada yang mau berada di barisan paling depan, seperti biasa aku maju paling pertama. Kalau tidak, guru kesiswaan akan menghukum kami karena terlalu lambat dalam berbaris.

Upacara sudah dimulai, pengibaran bendera pun sudah dilaksanakan. Cukup lama pembina upacara menyampaikan amanatnya yang bahkan sudah pernah diberitahukan oleh pembina sebelumnya saat upacara minggu lalu.

Hampir setengah jam pembina ini berbicara, sepertinya dia tidak lelah ataupun haus setelah berbicara selama itu. Aku tidak mengerti, kenapa amanat dan nasihat yang sama harus diulang-ulang terus setiap minggunya? Aku rasa siswa-siswi di sekolah kami cukup pintar untuk mengerti dan mengingat itu semua.

Oke lah dia memang tidak lelah berbicara berjam-jam di depan sana, tapi tidak tahukah anda? Kami di sini mulai pusing mendengarkannya!

Ingin sekali ku berteriak seperti itu, sayangnya aku hanya berani menjeritkannya di dalam hati. Panas matahari yang semakin menyengat, membuat kepalaku perlahan tertunduk. Rasanya pusing sekali untuk membuka mata.. Aku sedikit tersentak karena teman di sampingku menarikku ke belakang. Pandanganku semakin kabur..

Aroma minyak angin menyadarkanku, aku berusaha menyesuaikan mataku dengan cahaya yang masuk ke dalam mataku. Wulan yang merupakan teman sebangku sekaligus sahabatku di kelas, melihatku dengan khawatir dan menyodorkan segelas teh hangat untukku. "Kamu sih gak sarapan dan malah melamun memikirkan pengirim bunga sialan itu!" omelnya sedikit kasar.

Aku berusaha bangun dan menerima teh yang ia sodorkan. "Berhentilah untuk memaki pengirim bunga itu, Lan. Ini kesalahanku bukan kesalahannya," ucapku pelan sambil sesekali menyeruput teh. Dia terdiam dan tidak lagi melontarkan sumpah serapahnya untuk pengirim bunga itu.

Wulan berbalik dan menatapku tajam, "kamu bahkan tidak kenal dengannya, Yen. Tapi kenapa kamu membelanya? Sinting kamu!" omelnya sedikit berteriak, aku mengisyaratkannya untuk sadar di mana sekarang kami berada, tapi sepertinya dia tidak mengerti dan terus saja mengomel tidak jelas.

'Srek' aku menoleh saat tirai di sampingku ini terbuka. "Ada apa ini Wulan? Kenapa berisik sekali?" tanya kak Rishab yang merupakan ketua PMR di sekolahku sekaligus juga kakak kandung dari sahabatku ini. Wulan memejamkan matanya sejenak, mungkin untuk menurunkan emosinya.

"Yeni tidak sarapan pagi ini, makanya dia pingsan. Dari tadi dia selalu melamun memikirkan seseorang yang akhir-akhir ini selalu mengirimkan bunga padanya. Ingin sekali aku meremukkan tulang orang yang mengirimkan bunga itu, gara-gara dia Yeni sampai pingsan." Ujar Wulan menggebu-gebu, tapi tiba-tiba kak Rishab melirik ke arah tirai di depanku sejenak, lalu menghembuskan napasnya kasar.

Kebohongan Manis ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang