TROTOAR (jalan Ku dan Ia)

3 0 0
                                    


Jalan waktu ini tidak menghentikan langkah sama sekali. Trotoar yang sering aku lewati dua puluh lima tahun lalupun masih sama, tidak ada yang bergeming, mungkin hanya cat saja yang berubah dari hitam mengkilap jadi coklat pudar. matahari dan atmosfir pandai berseni juga ternyata. Sekarang apa lagi yang dipersembahkannya? Oh hujan. Hujan turun tersendak mendadak saja. Padahal langit sangat indah namun tampa bintang. Mungkin dia juga ingin berpartisipasi menganti warna trotoar ini. sepanjang tepian ada tokoh-tokoh yang dulunya berdiri megah. Sekarangpun masih megah. Cuma ditambah dengan dekorasi lampu terjun-terjun dan dengan warna cat berbeda-beda ala papan catur. Teknologi memang semakin canggih. Lampu saja bisa mewakili hujan yang turun. Tapi tetap saja, matahari dan atmosfer akan bertindak lebih, dalam mendesign bentuk kota-kota ini.

Langkahku yang jauh ditemani hujan-hujan kecil bagaikan perasan anggur yang baru dipetik, manis namun dingin. Tapi tidak tandingan jaketku yang tebal ini sama sekali. Buah tangan kekasihku dulu yang sudah dua puluh lima tahun tiada jumpa dan sapa. Sembari duduk di tepian trotoar menunggu janji yang di berikan dua puluh lima tahun silam. Sambil menatap pemandangan-pemandangan luar biasa yang ada di sekitaran trotoar ini. Anak-anak muda ada yang berkumpul sambil bersorak-sorai hiruk-pikuk menjulang ke atas atmosfer. Ada yang naik motornya secara bertigaan. Apaan itu? Cabe-cabean. Kata-kata yang baru saja booming di tanah ini. Bahkan sudah ada lagunya. Namun, sayang sekali. dalam kamusku kata ini belum terbaku sama sekali.

Seseorang datang kepadaku dari kejauhan. Gadis dengan wajah kukenal, namun sudah berubah menjadi Wanita. Mungkinkah dia "Dia" kekasihku? Yang berjalan berjingkat jungkit dengan senangnya. Bahkan bulan sabitpun tercoreng di pipinya yang memerah bak delima. Indah sekali karyaNya. Mungkin kah juga ini karya matahari dan atmosfer yang merubah trotoar-trotoar ini. mataku tak henti-hentinya melepas padangan ke arahnya sampai dia berdiri tegap di depanku.

"Sudah mau berangkat?" tanya kepadaku.

"Ya, masih menunggumu." Jawabku lantang.

"Kekasih setia!" balasnya sembari memelukku.

Tiba-tiba pikiranku kacau lagi. Pelukannya memutarkan sebuah tragedi lama yang pernah terjadi. De Javu? Namun, aku tidak melanjutkannya. Langkahku dan Dia bergerak serentak meninggalkan bangku tepian trotoar itu ditemani hujan kecil-kecil yang manis. Dia tidak berhenti merangkul tanganku dan tetap senyum bahagia. Akupun begitu, hanya memeluknya. Merasakan tulang-tulangnya yang lembut mungkin rapuh. Sesuai perlambangkan atas kaum mereka yang harus kamu kami lindungi.

"Tidak salah adam selalu Setia kepada Hawa." Pikirku.

Tiba-tiba wajahnya melirik ke arahku.

" Kamu masih ingat, dulu kita sering lewati tempat ini?" tanyanya padaku.

Aku menjawab dengan anggukan sambil bibir melengkung tipis.

Ingatakan-ku kembali mengarah kepada trotoar jalan. Mereka yang sering duduk beralaskan tikar membentang di sana. semua yang jualan di pinggiran trotoar. Kembali menghantui pikiran ini, setiap langkahku di sini seakan menggandung kisah tersendiri.

"Orang-orang berjualan disini ,kan?" jawabku.

Remang-remang pemandangan dulu muncul kembali. Masih tradisional sekali. sebelum mereka dipindahkan ke pasar-pasar depan simpang empat sana. sekarangpun kabarnya sudah bersain dengan Super Market. Sayangnya sudah dua puluh lima tahun pula aku tidak melihat tempat ini. Terpisah jauh dari kampung halaman dan menetap bersama para korban tindak jahannam. Tiba-tiba pikiranku kelut kembali mengingat kenangan itu.

"Kamu masih marah,perihal dua puluh lima tahun yang lalu?" Dia yang menatapku dengan wajah seribu tanda tanya.

Aku hanya bisa menghela nafas sementara dan terbungkam. Mimik wajah ku yang kaku, aku coba longgarkan kembali.

MASSA dan IA YANG BERNAMA 'AKU'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang