KOIN TIGA DETIK YANG LALU

2 0 0
                                    


Cerita ini diawali dengan tiupan lembut angin yang menghantarkan sehelai kelopak bunga flamboyant ke rambut pemuda itu. Tampaknya mendung sedang melanda ia yang duduk di kursi merah pada trotoar jalan. Dengan lampu taman menyinari tubuhnya yang berselimutkan baju tebal. Sesekali daun pun ikut jatuh ke tubuhnya yang Menggantikan hujan yang tak jadi turun saat malam penantian di musim gugur. Dia melempar koin ditangannya itu ke atas dengan Kegundahan yang masih menyelimutinya tiada henti. Tangannya mulai nakal, memeluk tubuhnya sendiri dan kepala yang dihajarnya sesuka hati. Hendak menghajar otak-otaknya yang berpolemik tiada henti.

Seseorang mendekatinya. Sambil melihat dengan tatapan anak kecil polos yang haus tanda tanya. Yang kemudian duduk di sebelahnya.

"Mau menelpon?" tanyanya.

"Tidak."

"Kenapa?"

Mulutnya pun bungkam sementara. Sampai kemudian rangkaian kata-kata keluar dan menjadi awal sebuah cerita.

***

Ini bermula saat koin ini berjalan. Tujuh tahun lalu, ketika saku celananya masih mengandung koin-koin kehidupan dan perutnya masih tertutup sutra. Dia bertemu dengan seorang wanita berpakaian standar yang satu level dengannya pada saat itu. Di kursi merah itu mereka duduk bersama. Sebuah koin menggelinding ke arah kaki wanita itu dan menjadi awal pembicaraan mereka. Sampai ikatan mulai terasa dan peri kasih sayang pun membuang panahnya pada saat itu. Hingga cengrama mereka terhenti di jarum pendek mengarah ke pukul 11.00.

Dua malam kemudian mereka bertemu lagi. Wanita itu masih duduk disana dengan mengeluarkan sebuah koin. Mendekatlah dia.

"Koin kemarin?" tanyanya.

Wanita itu hanya tersenyum malu sembari dia menundukkan topi bundarnya untuk menyembunyikan pipinya yang memerah. Dilemparnya lagi sebuah koin namun menggelinding jauh dari kaki wanita tersebut. Mereka melihat ke objek yang sama yaitu koin yang menjauh itu. Sampai akhirnya sebuah taksi melintas, mementalkan koin itu jauh dan jauh lagi dari mereka. Tawa pun menghampiri.

"Apakah kau yakin koin itu akan kembali?" tanya gadis itu lirih.

Dia menjawabnya dengan santai, memberikan kesan cool sebagaimananya seorang pria.

"Mungkin."

Malam pun berlalu. Langkah kaki mereka serentak satu ketukan yang saling menjauh.

***

Malam berikutnya, jalan itu masih menjadi rute cerita. Mereka bertemu kembali. Dia duduk di kursi sambil mengeluarkan koinnya. Setiap jarinya bekerja mementalkan koin itu. Angin lembut membawa rasa manis yang mengudara, terhirup oleh paru-paru dan disumbangkan ke jantung. Tubuhnya gemetar mengikuti arah datangnya angin tersebut.

"Masih menunggu?"

"Masih menunggu!"

Mereka duduk bersama kembali, sampai lupa akan sebuah perkenalan. Mereka saling berbagi pembicaraan. Lontaran kata demi kata semakin mengokohkan rasa antara mereka. Kini, gadis itu membawa sesuatu, sebuah kotak bundar berlapiskan kain merah. Dibuka isinya, ternyata coklat koin. Dia tertawa tidak percaya. Koin menjadi awal dari mereka. Malam pun semakin larut, mereka pun mulai berpisah.

Malam-malam berikutnya mereka lalui bersama. Tiap malam sampai bintang-bintang yang mulanya kesepian dihampiri oleh sang bulan. Kotak dengan kain merah selalu menjadi buah tangan mereka. Sesekali dia juga membawa makanan. Kali ini, dua gelas kopi panas untuk menemani malam dingin mereka.

"Masih menunggu?"

"Masih menunggu!"

Keesokan malamnya, seperti biasa, canda mengampiri mereka. Koin demi koin menjadi awal pembicaraan mereka. Makanan, sampai kali ini ada sebuah cincin yang diciptakannya dari koin. Luar biasa energi kasih sayang sebuah koin pikirnya. Mereka sudah mulai menjalin hubungan lebih jauh hingga tampa adanya sebuah perkenalan hingga malam kembali memisahkan mereka. Saat langkah mereka sudah berjarak lima belas jengkal dari tempat duduk merah, sang wanita menoleh ke belakang dan berkata.

"Hei, besok, masih menunggu?"

"Ya, masih menunggu!"

Bulan sabit mulai bersinar di bibir mereka. Menyampaikan ungkapan perpisahan walau Serasa tidak ingin berpisah meskipun masih tampa perkenalan. Mungkin dipikiran mereka apalah arti sebuah nama jika ada yang lebih besar dari hal itu.

Tampaknya alam tidak menberi mereka waktu untuk hal itu. karena sebelum malam menjelang, sebuah goncangan tanah sebesar 8,9 SR membuat seluruh kota menari ria bahkan sampai ada yang tumbang. Lepas itu tidak ada yang kenal akan saudara masing-masing, rumah masing-masing dan bahkan kaum jalanan yang biasa berlantaikan beton, beratapkan lampu jalan pun tidak menemukan posisi tidur mereka lagi. Termasuk kursi tempat penantian koin yang hilang tersebut.

***

Sekarang dia masih menunggu, dibawah batang lampu bercabang tiga tersebut. Namun, kali ini sudah berbeda, kursinya tidak lagi seperti dulu, ditambah dengan boks telepon satu setengah meter di sampingnya. Koin itu masih dilentingkan ke atas, berputar-putar seperti bumi. Namun sayang, waktu tidak bisa berputar kembali seperti koin dilentingkan itu.

Setiap hari dia selalu datang kesana untuk melentingkan koin itu. sampai suatu waktu koin itu lepas dari tangannya dan mengelinding ke jalan. Dia mencoba mengambilnya. Namun, sepasang kaki dengan sepatu merah mengkilat menghentikannya. Tampaknya kaki itu menarik perhatiannya, dilihatnya sosok pemilik kaki indah dengan sepatu merah yang terpasang. Sesosok wajah yang tidak asing lagi baginya. Atau lebih tepatnya yang ditunggunya. Wanita itu mengambil koin itu dan mengantarkannya ke tangannya yang masih terpanah.

"Masih menunggu?" tanyanya.

Senyuman muncul di bibir pemuda itu. Matanya berkaca-kaca. Kata-kata yang sudah lama hilang kembali pulang ke telinganya. Namun, tidak itu tidaklah lama. Saat ada seorang ber-jas abu-abu dengan sepatu kulit yang mengkilat melangkah mendekati wanita itu bersamanya ada tangan mungil yang sedang mengantung dan menyapanya dengan sebutan mama. Senyum tadi hilang ditelannya. Wanita itu menatap lagi kepadanya dan berkata:

"Jadi kamu masih menunggu?"

"Masih menunggu pada tiga detik yang lalu!" kemudian ia bangun dan melempar koin itu ke jalan sampai sebuah taksi kembali menghantam dan membuat koin itu terpental jauh. Tapi dia tidak peduli dan terus melangkahkan jauh kakinya. Karena dia telah menunggu sampai berhenti di tiga detik yang lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MASSA dan IA YANG BERNAMA 'AKU'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang