Pagi harinya di Pelita Harapan.
Sekolah yang sudah menurun tingkat kepopulerannya karena tingkah polah siswanya. Sekolah yang pernah diberi kepercayaan dari dinas pendidikan dengan sebutan Standar Nasional, namun embel-embel itu dicabut karena salah seorang siswanya pernah mendekam di penjara akibat tawuran dan menyebabkan murid sekolah lain koma selama beberapa hari.
Di jam pertama ini, sebagai murid tingkat sepuluh di Pelita Harapan, Reagan mengikuti pelajaran sosiologi dengan khidmat. Dia mengeluarkan buku dan penanya lalu mencatat hal penting yang ditulis Bu Yayah di papan tulis. Reagan adalah orang kesekian yang nampak biasa saja dengan pelajaran sosial.
Dia melirik arloginya yang menunjukkan pukul setengah delapan bertepatan dengan Arka yang berdiri di depan kelas sambil mengiba pada Bu Yayah. Cowok itu telat lagi.
Saat jam istirahat, Reagan memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Ia bergumul dengan novel Lapangan Golf Maut karya Agatha Christie.
Di sekolah, Reagan memang tercatat sebagai anak nakal yang alim. Sembari membuka halaman selanjutnya dari novel bacaannya, dia mengerutkan dahinya menebak-nebak siapa pembunuh dari cowok malang yang dibuang di lapangan golf itu.
Reagan menghela nafas lalu menutup buku bacaannya saat mendapati seorang cewek menaruh notes kecil di mejanya. Lu dipanggil Kepsek, tulisnya.
Jika dirunut dari perjalanannya saat masuk Pelita Harapan hingga sekarang, ia belum pernah melakukan hal-hal yang melanggar ketentuan sekolah meski selalu langganan masuk BK. Beberapa pasang mata menatapnya aneh. Entah karena seragam yang berantakan karena berpolah di perpustakaan karena rutukannya pada Mbak Agatha, atau karena buku bacaannya yang bisa dibilang agak rumit di usianya.
Ia pergi ke toilet untuk merapikan seragam dan segalanya lalu berjalan lagi menuju ruang kepala sekolah.
Reagan menghela nafas lalu membuka pintu dengan hati-hati. "Selamat Pagi, Pak. Benar Pak Morgan memanggil saya?"
Ada pemisah antara ruang tamu kepala sekolah dan ruangan kepala sekolah. Dari ruangan putih sana, keluarlah Dimi, Cessa, dan Arka. Reagan menggertakan giginya sambil menerka mengapa ia menjadi salah satu murid yang dipanggil bersama Dimi CS.
"Haduh, kamu lagi, kemarin berantem sama senior gara-gara cewek, berurusan terus sama Andre dan semalem ngapain balap liar?" ungkap Morgan. "polisi nyamperin ke sekolah, kamu tau?!"
Reagan menghela nafas lagi. Pagi ini di jam sembilan lebih sepuluh, dia menjadi salah satu yang dipanggil karena ulahnya semalam. Reagan menatap Reagan menatap tajam pada Dimi, Cessa dan Arka yang terdiam.
"Sebelumnya saya terlibat perkelahian dengan Cessa karena membantu murid Arcadia yang diserang Cessa CS hingga tercipta lebam-lebam di tangan. Ada masalah lain yang tidak bisa secara gamblang dijelaskan di sini dan karena itu saya memutuskan pergi ke arena balap di jam malam, sebetulnya karena penasaran dengan ucapan orang-orang mengenai Dimi, saya pergi ke Lyon Bridge, ya itu nama tempat terkenal dekat perumahan saya.
Saya melihat Arka dibentak segala macam oleh Dimi di tempat itu. Ada main tangan juga. Singkatnya, saya membela Arka sejelas-jelasnya sesuai apa yang saya lihat dan Dimi malah mengajak saya balapan, setelahnya." jelas Reagan sedetail mungkin.
Arka menunduk terus. Cessa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan tak nyaman. Dimi terus saja menatap Reagan seolah ia adalah satu-satunya spesies yang harus dimusnahkan di Pelita Harapan.
"Gak usah seformal itu kamu!" tegas Morgan. "biasa ngomong gua-lu aja segala dikaku-kakuin. Jangan cari masalah dan patuhi aturan. Kamu itu anak baru. Jangan cari masalah."
Reagan menyahut dengan dehaman.
Morgan berpaling pada Dimi usai memikirkan ucapan Reagan barusan. Pagi-pagi sekali dia telah direpotkan untuk menjemput Dimi CS di kantor polisi dan menjamin ketiganya tidak berbuat ulah. Malah sekarang ia mendengar hal lain dari mulut Reagan.
"Jelas aja sih, Pak, kalo Reagan belain murid Arcadia karena cewek kesayangannya sekolah di sana. Makanya dia berantem sama Cessa. Malamnya dia ke Lyon Bridge buat balas dendam lebih lanjut ke saya, tapi alasannya bela Arka. Betul gitu gak, Ka?" Dimi menyikut lengan Arka.
Arka mengangguk pelan.
"Malam itu saya pertama kali ke Lyon Bridge sama Arka. Kami cuma ngobrol, tiba-tiba Reagan datang ngajakin balapan. Setelah balapan, Reagan ngilang," ucap Dimi. "saya rasa setelah dia menangin pertandingan, dia langsung pulang. Siapa sih pak yang gak mau uang menang tanding?"
Saliva meluncur serat di kerongkongan Reagan. Ia berulang kali mengerutkan dahinya. Ia menatap penuh benci pada Dimi. Pandai sekali cowok berandal itu mengucapkan alibinya.
"Ngilang lo bilang?" Reagan menatap Dimi lalu beralih pada Morgan. "Pak, gak ada yang saya lebihkan maupun kurangkan. Semua yang Dimi bicarain itu cuma rangkaian kebohongan aja. Saya gak ada niat bawa saksi kesini, gak perlu dan saya gak benar-benar ingin membawanya kesini sebagai saksi atas kejujuran saya tadi."
"Satu lagi pak, bapak harus buka ekskul baru. Ekskul teater. Biar orang-orang kayak Dimi bisa tumbuh dan berkembang, Permisi."
Reagan menatap tajam Dimi di kata terakhirnya namun hal itu membuat Dimi tersenyum penuh kemenangan.
"Hei, Reagan?! Saya belum selesai bicara!"
∞
Dengan seragam kebanggaan Pelita Harapan, Reagan siap ke sekolah dengan seutas senyum pahit. Seharusnya Reagan dengar peringatan dari Gema kala itu ketimbang menerka-nerka apa yang akan Dimi perbuat padanya. Tapi, segalanya sudah terlanjur. Dia sudah kelewat batas memasuki teritori Dimi dan kawanannya.
"Kenapa, Gan? Suntuk banget." tanya Cici. Sahabatnya.
"Auk. Udah beberapa kali masuk BK, kemarin udah naik tingkat ke kantor Kepsek. Lo gak di skors 'kan, Gan?" tambah Gio sahabatnya juga.
"Gak mungkin gua di skors, akademik gua masih tergolong bagus. Liat aja nanti tuh si Dimi, gua akan buat perhitungan."
Benar. Saat jam istirahat, Reagan menemui Dimi yang duduk di kerajaan Packer. Ada dayang-dayang kecintaan Dimi pula di sana.
Cessa menyenggol lengan Dimi. "Dim, ada Reagan."
Dimi yang bersandar di tembok sambil terpejam mulai membuka matanya. "Hei," ucapnya seramah mungkin. "seneng gue lo mau duduk di sini sama Packer. Tuh Packer yang lain, mau gabung sama mereka gak? Jangan di perpus atau main futsal mulu."
Reagan menatap beberapa bungkus makanan, dua kaleng nescafe, sebotol coca-cola, dua mangkuk mi ayam di meja depannya. Ia melirik Arka yang asik memakan mi ayam campur kerupuk lalu beralih pada Cessa yang sedang asik dengan ponselnya.
"Makasih buat tawarannya dan gua gak minat," tegas Reagan. "gua tau siapa yang ngeroyok temen gua waktu itu dan dalangnya lo 'kan? Mau lo apa sih, Dim? Berhenti deh dan jangan ganggu temen-temen gua lagi!"
"Aduh ampun bos, gue ketauan," Dimi tersenyum sampai-sampai lesung pipinya terlihat di kanan lalu meneguk colanya. "sikap polos lo kemarin itu gak ada gunanya Tampan, jadi gak usah jujur-jujur banget jadi orang. Kadang kebohongan itu diperluin di kehidupan ini. Semakin lo berurusan sama Packer, semua orang akan ngecap lo yang enggak-enggak. Lo taulah Packer kayak apa di bawah pimpinan gue. Kalau mau jadi kuat, terusin aja rasa penasaran lo sama gue, gue akan bersedia menjawab. Lagian, surat peringatan dari Kepsek gak cukup untuk menghentikan rasa penasaran lo ke gue 'kan?"
∞
Gimana part duanya gaisssss?
Aku minta saran dan kritiknya yaa. Komen juga yang banyak hehehe.Mau next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenade
FanfictionDendam dan sakit hati pada keluarga yang dilampiaskan ke orang terdekat. Emosi Dimitri Stefantian mulai menguasai kepala dan menganggu psikisnya. Sementara Reagan Argatama, cowok berandalan yang cuek, merasa terganggu karena Dimi mulai merusuhi ling...