SATU KESALAHAN FATAL

27 4 0
                                    

"Life is worth living
Life is worth living, so live another day
The meaning of forgiveness
People make mistakes, doesn't mean you have to give in
Life is worth living again" Justin Bieber – Life is worth living


PLAK

Satu tamparan keras mengenai pipi seorang gadis muda. Gadis itu, hanya bisa menatap sang ayah dengan pandangan tak percaya.

"Mas Bima!" suara yang terdengar kaget melihat kejadian, yang baru saja terlewatkan. Kejadian yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Kamu jangan ikut campur, Bulan. Kamu hanya seorang istri yang harus tunduk kepadaku!" perintah sang kepala keluarga dengan nada tegas.

"Mas, yang salah. Kita sudah sepakat 20 tahun yang lalu tentang komitmen." sang istri mencoba mengingatkan sang suami tentang perjanjian yang mereka sepakati.

"Mas Bima, harus janji jangan pernah mengunakan kekerasan fisik kepada anak kita nanti."

"Mas, janji sayang" Raga memegang kedua pipi istri tercintanya Bulan Brawijaya. "Kamu harus mengingat kata-kataku, seorang Raga Wirawan tidak pernah mengingkari janjinya. Kamu pegang janjiku itu." Dia mengecup kening Bulan dengan sangat lembut.

"Mas lupa dengan janji itu." tangisnya sambil menatap sang suami tercinta.

Nara hanya bisa menghembuskan nafas berat dan menatap ke arah depan yang memperlihatkan pertengkaran antara kedua orangtuanya. Kali pertama untuknya melihat pertengkaran seperti saat ini. Pertengkaran yang berakhir dengan airmata sang bunda dan untuk pertama kalinya kekerasan fisik dilakukan oleh sang kepala keluarga kepada kakaknya, Nuha Putri Wirawan. Kejadian yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Nara.

Miris.

Satu kata yang mengambarkan keadaan seorang Nuha Putri Wirawan saat ini. Bukan dia yang menginginkan kehidupan seperti ini. Ini hanya suratan takdir Sang Pencipta kepada keluarganya yang paling dia sayangi, keluarga yang selalu terlihat sempurna di luar. Tidak pernah terdengar celaan, gosip miring atau hal buruk yang menimpa keluarganya. Sepertinya sang pencipta sangat menyayangi keluarga mereka. Apa sang Pencipta sedang memberikan keluarganya cobaan ? atau ini hukuman dari masa lalu keluarganya?

"Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, bidadari surgaku"

Nara dan kakaknya-Nuha- tersenyum malu melihat kemersaan kedua orang tua mereka. Hari ini, tepat 19 tahun perayaan pernikahan mereka. Di mana kenangan indah 19 tahun lalu dirayakan setiap tanggal 1 April.

Nara berdehem keras. Menyadar kedua orang tua mereka, sepertinya sedang asik dengan dunia keduanya. "Kita dicuekin nih kak, serasa dua milik berdua aja." ledek Nara.

Keduanya menoleh, dan tersenyum kearah dua putri mereka. "Makannya kalian punya pacar dong, biar gak iri lihat Ayah sama Bunda," canda sang Ayah.

"Nggak yah mas, mereka masih sekolah. Harus fokus dulu," peringatan sang Bunda kepada Nuha dan Nara.

Nuha dan Nara hanya bisa menggelengkan kepala, melihat tingkah laku orang tua mereka. "Iya kita ngerti, Bunda. Tapi sekarang waktunya kita makan, lapar nih dari tadi belum makan" rajuk Nuha kepada kedua orangtua dengan menunjukan wajah imutnya.

"Aduh... anak Ayah kasian sekali. Ayo kita makan"

Setelah hampir seminggu Nuha dan Nara menyiapkan perayaan ini, akhirnya terbayar sudah dengan kebahagian mereka. Malam itu, dihabiskan dengan canda tawa yang membuat semakin akrab.

Mungkin perayaan tahun lalu, Apakah menjadi perayaan pernikahan terakhir mereka? Kebahagian mereka? Tawa mereka?

Tidak!

Itu tidak boleh terjadi, mereka tidak boleh seperti ini. Nara tidak ingin keluarga berantakan seperti di drama yang sering ia nonton. Tidak Jangan pernah!

Tapi dengan keadaan saat ini, apa mungkin keluarganya bisa seperti dulu lagi?

"NUHA HAMIL!" teriak sang kepala keluarga. "Bagaimana? aku sebagai seorang ayah, tidak murka. Melihat anak perempuan...," Raga menahan ucapanya sambil menunju kearah Nuha. "HAMIL DI LUAR NIKAH!"

"Mas cukup!" isak sang Bunda semakin menjadi ketika Ayahnya, tidak bisa mengontrol kemarahannya terhadap sang Kakak.

"Aku gagal sebagai seorang ayah, Bulan." ucap Raga dengan penuh rasa kecewa pada diri sendiri. Tidak bisa menjaga putri kebanggaannya dengan baik. Dia merasa gagal menjadi seorang ayah bagi keluarganya.

"Nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa menjadi nasi lagi. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah mencari jalan keluar yang paling terbaik, Mas" saran Bulan terhadap suaminya yang terlihat masih mencoba melawan rasa emosi.

"Jalan terbaik seperti apa, Bulan?" tanya Raga dengan rasa frustasi meliputi dirinya.

Rasa tak percaya kepada sang Kakak, masih bergejolak dihatinya. Kakak yang selalu Nara banggakan, melalukan hal yang sama sekali tidak terlintas di benaknya. Nuha yang selalu membuat keluarganya bangga terhadap prestasi yang selalu dia dapat. Nuha yang selalu terlihat hebat di depan semua orang. Dan Nuha yang selalu terdepan dibandingan dirinya. Seribu langkah di depan Nara.

Satu kesalah yang menghancurkan semuanya.

Yah... kesalahan yang tak pernah tertuga. Kenapa sang Kakak tega menghancurkan kepercayaan Ayah, Bunda dan dirinya?

"Maaf Ayah."

Akhirnya dua kata terucap dari bibir Nuha yang dari tadi hanya terdiam. Nuha yang bisa menangis tersenguk-senguk, untuk menutupi kesalahannya.

"Nuha tahu kata maaf pun tak cukup...," Nuha menjeda ucapnya sambil berlutut di hadapan kedua orang tuanya. "Nuha minta maaf telah merusak, kepercayaan kalian."

"Sayang... kamu hanya perlu menjawab, siapa yang telah menghamilimu?" tanya sang Bunda dengan nada yang sangat lembut.

"JAWAB PERTANYAAN BUNDAMU NUHA!" perintah sang Ayah dengan mimik muka yang sangat menyeramkan.

Nuha hanya menggelengkan kepalanya yang bertanda dia tidak akan menjawab pertanyaan sang Bunda. "Maaf Ayah."

Nuha berlari ke kamar dan menguncinya, agar tak ada yang menganggu. Keadaan ini, cukup membuatnya sangat tertekan. Kenapa Sang Pencipta seperti menghukum dirinya? Kenapa harus dia? Kenapa bukan orang lain?.

Sebenar siapa yang salah kali ini?

dirinya?

orang yang menghamilinya?

atau kedua orang tuanya? Tidak ! Ayah dan Bundanya tidak pernah mengajarkan hal buruk.

Gedoran pintu semakin keras. Membuat Nuha semakin meringkuk merapatkan dirinya ke tembok.

"NUHA BUKA PINTUNYA ! JANGAN MEMBUAT AYAH SEMAKIN MARAH ! KELUAR KAMU MURAHAN!" bentak Raga.

Apa murahan?

Satu kata yang membuat Nuha terkejut. Ini pertama kalinya Ayahnya berbicara tidak pantas. Tapi... Bukankah dirinya sekarang lebih pantas disebut murahan? atau dirinya sama saja dengan wanita yang menjajahkan tubuhnya di luar sana?

Apa dia pantas hidup? Apa anak yang dalam kandunganya pantas hidup?

Apakah mati adalah jalan kelua yang terbaik?


-TAMAT-

One Shoot : FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang