Rokok, Sampah dan Kebakaran Hutan di Pulau Seberang

252 50 37
                                    


°°°

[I]

"Matikan rokokmu, pak! Bajumu saja sudah tidak bisa menyerap sisa-sisa rokokmu, apalagi paru-parumu." Lagi-lagi Sri menasihati suaminya.

Sri bukannya tidak tau bahwa memberi nasihat pada perokok akut untuk berhenti merokok sama dengan menyuruh manusia untuk tidak buang air besar. Mungkin bisa tahan sebentar, dan pada akhirnya akan sia-sia. Kalau kata orang, doakan saja.

Tetapi Sri istri yang sabar. Telaten benar ia menasihati Sang Suami setiap ada kesempatan. Dan suaminya... tetap saja dengan tenang menghiraukannya.

"Sri... yang merokok mati, yang tidak merokok juga mati. Sama saja." Jawaban yang sama setiap saat.

"Kalau aku yang mati karena rokokmu itu?" desak Sri. Berharap Agam, suaminya, mau mematikannya.

"Aku yang merokok kenapa kamu yang mati karena rokok ini?" ujar Agam kemudian mengesap dalam batang rokok keduanya sore ini.

Agam bukan tidak tau istilah perokok pasif. Ia hanya tidak mau tau, karena jika ia berlagak atau menunjukkan kepahamannya di depan wanitanya, ia akan kehilangan kesempatan merokok.

Agam tidak suka resiko itu.

"Aku jemurin dulu, Pak. Habis putung yang itu, jangan nambah lagi!" ujar Sri akhirnya, kemudian berlalu.

[II]

"Bakar sampah lagi, Sri?" tanya Agam yang baru saja keluar dari pintu belakang rumah tuanya lalu duduk di dipan belakang rumah.

Sri sedang pelan-pelan memasukkan sampah pada kobaran api yang sebenarnya masih kecil. Tak apa, sampahnya sampah kering, jadi akan menyalakan apinya lebih besar.

"Lha kalo bukan lagi bakar sampah, aku lagi ngapain tho Pak?" tanya Sri sarkas.

Agam basa-basi. Sri tau itu. Tapi, Sri sedang lelah dan di depan kobaran api. Suasananya semakin panas baginya.

"Mbok yo ikut iuran RT aja buat diambil sampahnya, dari pada dibakar," kata Agam.

"Sayang Pak kalo bayar. Duitnya bisa buat tambahan lauk," Agam mengangguk. Tidak paham pemikiran istrinya, tetapi tetap memutuskan untuk mengangguk.

Menurut Agam, apa salahnya membayar tukang angkut sampah yang setiap bulannya tidak sampai lima puluh ribu. Istrinya pelit atau irit?

"Tapi sangit semua, Sri. Kamu juga. Kasian kamu kalo tiap hari harus mainan api. Lagipula, api bahaya, Sri. Kalo lengah bisa jadi senjata alam." Sri menghela napas panjang. Ia juga tidak suka badannya berbau sangit, tetapi ia lebih tidak suka harus menyisihkan uang dapurnya.

"Pak... Rokok juga dari api. Bahaya. Apa Bapak mau buat penawaran? Uang rokok bapak jadi uang bayar iuran tukang angkut sampah?" Agam mendecak sebal lalu mengeluarkan bungkus rokok kreteknya.

Tidak. Agam tidak akan setuju. Rokok sudah mendarah daging dalam hidupnya.

Mana mau ia menukar rokok dengan sampah?

[III]

"Hujan kok nggak turun-turun ya, Sri?" tanya Agam sepulang dari sawah. Keringat berhasil membasahi sebagian pakaiannya. Topi capingnya ia gunakan untuk mengipas-ngipas tubuhnya yang gerah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mengapit batang rokok di antara dua jarinya. Lagi.

"Iya lho Pak. Sawah kering gini juga nggak bisa nyari belut," keluh balik Sri.

"Kita ini nggak bersyukur ya, Sri? Begini aja ngeluh. Padahal hujan emang siklus alam. Berjadwal dari Gusti Pangeran." Agam menghela napas kasar.

[1/1] Rokok, Sampah dan Kebakaran Hutan di Pulau SeberangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang