1. Dimana Dia?

38 4 2
                                    

Kopi yang ku teguk di penghujung sore itu sudah cangkir keempat, tapi orang yang ingin ku temui tak kunjung tiba.

Bahkan aku menuntaskan semua tugas-tugas akhirku, hanya untuk segera pulang ke kota ini.  Untuk apa? Hanya sekadar melihatnya atau jika aku punya keberanian akan ku tanyakan tentang hari-hari yang dijalaninya selama 6 tahun terakhir ini. Tanpaku. 

Tapi, siapa pula aku. Keberadaanku ini entah dianggapnya ada atau tidak ada sama sekali. Memang sesekali dia pernah tersenyum padaku, tapi senyumnya itu sama dengan senyumnya untuk pelanggan lain.

Pelanggan datang silih berganti, berdua, bertiga atau bahkan serombongan dengan tujuan yang berbeda-beda. Sementara aku, datang sendiri, tanpa tujuan. Duduk di pojokan, membuka laptop. Jangan dikira aku sedang mengerjakan tugas, memang tugas apa yang ingin ku selesaikan. Sejak menyelesaikan studi doktoralku, tugas-tugas sudah ku anggap selesai. 

Beruntungnya Bayu menghubungiku kemarin, dia meminta bantuan untuk mengoreksi disertasinya. Aku berjanji untuk membacanya, dan akan berdiskusi dua hari kemudian. Hari ini aku mencoba membaca draft disertasi Bayu, tapi aku tidak fokus. Mataku boleh di laptop, membaca draft itu, tapi pikiranku justru kemana-mana.

Hingga jam menunjukkan pukul 9 malam, tak ada tanda-tanda dia akan datang.

Waktu terus berjalan, draft disertasi Bayu tak selesai, dia pun tak kunjung tiba.

Apakah dia tak datang karena sudah tak kerja di sini lagi? Tidak mungkin, ini kedai kopi milik ayahnya. Atau mungkinkah dia sedang bersama suami dan anaknya? Aku tak pernah memikirkan kemungkinan yang satu ini. Tapi, mungkin saja dia sudah menikah, aku saja selisih 8 tahun dengannya. Usianya sudah matang untuk menjadi seorang istri saat aku meninggalkan kota ini. 

Pertanyaan-pertanyaan silih berganti muncul di benakku, berkecamuk tak tentu arah.

Apapun itu, sekarang, dimana dia?

Aku tutup laptop, sebaiknya aku pulang. TIDUR.

Izinkan Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang