Bertahun lamanya nama itu ku sematkan di hatiku.
Pernah ku berniat untuk menggantinya dengan nama lain. Aku sudah berusaha untuk melupakannya. Mencoba membersamai seorang gadis manis bermata jenaka, dengan lesung pipi.
Cukup lama aku mencoba menata hatiku, mencoba menjalani dengannya. Sampai pada suatu hari, gadis bermata jenaka itu bertanya.
"Kira-kira hubungan ini mau dibawa kemana?" tanyanya di siang hari bolong yang panasnya sungguh menyengat. Aku dan gadis itu singgah sebentar di sevel, sekadar berteduh sambil meminum kopi kemasan dingin.
"Hubungan apa?" Aku balik bertanya.
"Kamu tidak mengerti juga?" Mata jenakanya menatapku tajam.
"Tentang apa?" Lagi-lagi aku bertanya. Sesungguhnya aku grogi ditanyain begini oleh seorang gadis. Mungkin kalau yang nanya orang yang ku harapkan, reaksiku bisa berbeda.
"Kamu sungguh tidak mengerti." Tanyanya lagi, kemudian meneguk kopi kemasannya yang tinggal setengah. Aku melempar pandangan keluar, dan gadis itu aku tahu sedang menunggu jawaban. Hingga saat ini, aku tidak pernah menjawab pertanyaannya. Menggantung.
Tapi, setelahnya gadis itu nampak selalu menghindar. Tak ada lagi kiriman makanannya yang super enak di Minggu siang atau minuman dingin setiap aku baru sampai di kampus. Tak ada lagi gadis yang mau menggelayut manja di lenganku atau sekadar berkeluh kesah tentang ayahnya yang sibuk. Tak ada lagi tumpangan payung di tengah teriknya matahari dari ruang kuliah menunggu halte kampus.
Apakah aku merasa hampa? Apalagi gadis itu dekat dengan seorang senior. Nyatanya tidak ada kehampaan. Aku hanya merasa kalau ada yang sedikit hilang. Tapi, tak seberapa dibanding aku harus melupakan nama itu.
Sebelum menyelesaikan pendidikan masterku, si gadis bermata jenaka itu menikah dengan sang senior. Aku diundang. Dan, tentunya aku datang untuk menghormati undangan kedua orangtuanya, yang memang aku kenal.
Tidak ada drama seperti di video-video yang viral, karena ditinggalkan oleh kekasih. Kekasih? Aku tak pernah menganggap hubungan kami sebagai sepasang kekasih. Mungkin aku menganggapnya seperti adik, karena dia manja. Dari dia aku merasakan bagaimana rasanya punya adik, punya saudara perempuan. Yaa, aku anak tunggal.
Aku ikut bahagia dia mendapatkan pasangan yang baik, sholeh dan sudah mapan secara finansial. Dia nampak bahagia dan sudah tidak canggung lagi bertemu denganku, seperti awal-awal kami memutuskan untuk tak berhubungan lagi.
Bagiku itu sudah cukup. Biarkan dia bahagia. Sementara aku, masih tersiksa oleh satu nama itu.
Lova.
Seorang gadis, yang berselisih usia 8 tahun denganku. Putri pemilik kedai kopi di kotaku.
Aku melihatnya pertama kali saat kuliah S1. Danar, sahabatku yang mengajakku ke kedai kopi tanpa nama itu.
Jika senggang aku sering ke kedai kopi milik ayahnya. Sekadar diskusi dengan teman-teman atau numpang wifi. Saat itu sangat jarang kedai kopi yang menyediakan layanan wifi gratis. Beda dengan zaman sekarang. Mungkin itu salah satu kedai kopinya selalu ramai.
Padahal aku ke kedai kopi itu ingin melihat gadis yang sudah mencuri hatiku. Dia gadis yang teliti, telaten, tekun dan baik hati.
Danar tahu betul kalau aku menyukai gadis itu. Dia sering meledekku, membuat wajahku bersemu merah, beruntungnya kulitku tak putih, jadi tidak ketahuan kalau sedang diledek oleh Danar.
Danar itu gantengnya semena-mena, tak heran banyak gadis yang menyukainya. Termasuk gadis pujaanku. Tapi, suka dalam artian senang mendengarkan cerita Danar. Maklum saja, selain gantengnya yang semena-mena, Danar juga punya stok cerita yang tak terhitung. Entah dimana dia mendapatkan cerita-cerita itu.
Lewat Danar aku tahu kalo dia itu ternyata lebih tua dariku. Aku bahkan tahu hari ulang tahunnya, rumahnya, jumlah saudaranya dan informasi-informasi remeh lainnya. Tapi, aku tidak pernah tahu berapa no ponselnya. Danar tidak mau memberitahukannya. Jawabannya selalu "Cari tahu aja sendiri, masa semua informasi aku yang gali. Usaha dong, Mas Bro."
Aku tak pernah berani bertanya padanya. Dia mendekati mejaku, kalau Danar juga ada. Itupun karena Danar yang mengajaknya. Jika hanya aku yang datang, dia hanya tersenyum manis. Senyum manis yang sama diberikan untuk pelanggan lainnya.
Sudah hampir lewat tengah malam, tapi mataku masih belum bisa bersahabat. Masih terang benderang. Aku memutuskan untuk bangun dan membaca draft disertasi Bayu. Harus aku selesaikan hari ini, karena pasti besok Bayu akan meminta hasil koreksianku.
Aku membiarkan nama itu terus melekat di kepalaku, karena ku tak sanggup mengabaikanmu, Lova.
____________
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Mencintaimu
General FictionSetia menunggu seseorang, menantikannya bertahun lamanya. Berharap dapat hidup bersama. Bisakah? Meski yg dicintai itu, tak pernah tahu jika ada orang yang selalu menitip rindu pada langit dan memujanya bak seorang kekasih. Masihkah akan menunggu...