PROLOG

2.8K 104 10
                                    


Hanin membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati, jangan sampai uang yang ada di dalamnya tersobek sedikit saja. Ia sudah menguras banyak keringat dan tenaga untuk mendapatkan uang ini. 

Hanin menghela nafasnya. Ketika jumlahnya tak sesuai dengan yang ia harapkan. Dasar pelit. Hanin kembali memasukkan gajinya yang tak seberapa itu kembali ke dalam amplop coklat dan meletakkan ke dalam tas tangannya yang berwarna merah muda. 

Hanin sangat ingin mencerca nyonya Han dengan seribu macam sumpah serapah. Ia sudah berkerja di sini selama lima tahun tapi gajinya tidak naik. Ia tidak pernah dapat bonus, walupun barangnya mereka jual laku keras. Benar-benar perhitungan.

Hanin ingin mencari pekerjaan lain. Namun sayang sampai saat ini surat lamarannya belum diterima bahkan ada yang beberapa sudah ditolak. Padahal Hanin itu lulusan akuntansi. Ia merasa telah membuang uang orang tuanya dengan percuma untuk berkuliah jika akhirnya ia hanya menjadi kasir di sebuah mini market. Dan gajinya sangat kecil bahkan makannya saja terancam. 

Nasibnya sial sekali.

Hanin merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sesekali ia menguap hingga matanya berair. Uh, dia sangat mengantuk. Hanin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ah, pantas saja. Sudah pukul 00.00. Hanin tersenyum kecil. Waktunya pulang. 

Hanin buru-buru mengambil uang dalam berangkas dan menghitungnya dengan hati-hati, jangan sampai salah. Nanti ia kena semprot oleh Bibi Han dan dituduh menggelapkan uang.    Hanin mencabikk jengkel ketika mengingat betapa cerewetnya wanita tua itu.

Selesai.

Dengan senyum yang menggembang Hanin melangkahkan kakinya keluar mini market. Angin malam langsung menerpa wajahnya. Astaga, dingin. Dia lupa membawa jaket. 

Hanin menutup pintu mini market. Sambil membayangkan satu cup besar ramen dan segelas teh herbal hangat menyentuh tenggorokan. Hanin menjilat bibirnya sendiri membayangkan hal tersebut. Sampai ia meneguk salivanya sendiri.

Hanin merogoh kunci pada tasnya. Dapat. Namun belum kunci tersebut mencapai kenop pintu mini market tiba-tiba saja Hanin mendengar seeorang berucap, " Sudah tutup?"

Hanin terkesiap. Berbalik badan. Mengerutkan alis matanya. Kemudian mengangguk, " Nde, ahjuma,"

Bibi tersebut tampak gelisah. Melirik anaknya yang menangis dalam gendongannya. Hanin pun ikut menoleh ke arah bocah yang kira-kira berusia satu tahun setengah atau dua tahun. Hanin tidak tahu pasti.

"Sayangnya, tokonya sudah tutup. Besok saja ya. Eomma buatkan bubur saja ya?"

Namun bocah tersebut malah semakin menangis histeris. Memukul wajah ibunya. Janin jadi tidak tega.

"Ahjumma ingin membeli apa?"

"Susu, apakah kau bisa membuka toko ini sebentar saja? Aku hanya ingin membeli susu,"

Hanin terdiam sejenak. Melirik jam tangannya. Ini sudah malam ia takut, tidak ada bus lagi. Jarak rumahnya cukup jauh. Kembali menoleh pada bocah yang masih terus menangis. Hanin menghela nafasnya, membuka kembali pintu mini market tersebut.

"Ayo, ahjumma,"

Bibi tersebut langsung masuk, Hanin mengekorinya dari belakang. Menatap bocah dengan pipi gembil memerah yang masih rewel di gendongan sang ibu. Bocah itu terus saja memukuli ibunya.

"Astaga, tenanglah, sayang. Ini susumu," ucap Bibi tersebut menujukkan susu kotak yang berukuran sedang pada anaknya.

Brak!

Baby Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang