Sebentar lagi segalanya akan berakhir, pemuda itu bergumam. Napasnya hampir habis. Tubuhnya terkulai ke dinding batu. Di belakangnya air dari bendungan beriak tenang dalam buaian angina.
Pemuda itu mendongak ke angkasa saat seekor ciung melintas.
Ciung. Nama kapsul darurat yang menjadi asal namanya. Nama penuh tragedi. Bayi tak bernama yang terombang-ambing di orbital Bulan, tidak pantas disandingkan dengan penguasa angkasa.
"Kijang." Ciung menyalakan witalks. "Laporkan situasi."
[Presiden bersama kami!] Ciung lega. [Bagaimana Barma?]
"Seperti burung dalam sangkar." Ciung tertawa lemah. "Kecerdasan buatan sekelas Jeling memang berlebihan untuk mengamankan istananya."
Sebuah istana yang dijaga ketat adalah pedang bermata dua. Penjara bagi penyusup dari luar, tapi juga penjara bagi penghuninya. Di tengah jebakan-jebakan yang sudah disabotase dan tidak bisa dinon aktifkan, Barma terkurung perangkapnya sendiri.
"Dan aku sudah siapkan artileri jika presiden gadungan itu menginjakkan kaki ke halaman," jelasnya. "Bagaimana pertemuannya?"
[Ciung, napasmu tidak beraturan! Kalau sampai ibumu....] Ciung tidak lagi mendengarkan.
Pemuda itu sibuk menggapai angkasa dengan tangannya yang penuh darah.
Warna itu telah memandikan planet ini ratusan tahun. Darah yang sama seperti darah Ma dan Pa yang tumpah di altar cambuk.
Para Putra Indra berkata, mereka berbeda dari penduduk Bumi. Namun inilah kenyataannya. Darah seorang Indra ternyata juga merah. Sebuah dusta besar tak berdasar jika para PUtra Indra, para orang-orang Mars, tidak mengakui asal muasal mereka sendiri dari Bumi. Mereka berasal dari tanah yang sama. Hanya karena lolos dari peperangan nuklir besar, mereka lantas merasa diri mereka berbeda. Hanya karena merasa tidak bertanggung jawab sama sekali pada kerusakan Bumi, mereka seenaknya bertindak otoriter.
Tapi Ciung paham, itulah tabiat Manusia. Itu sulit diubah.
Ciung mematikan witalks dan mendongak.
"Lihat apa yang aku temukan."
Sesosok pemuda berdiri di tepi dinding bendungan Brebes.
"Kau yakin tidak terbalik mengatakannya?" Ciung menekan detonator diam-diam di balik saku mantelnya. Matanya menatap nanar sepasukan Garda Badai di atas kepalanya. "Jenderal Hariang?"
***
Rumah di pinggir ibukota itu dipenuhi wartawan dan penduduk. Ratusan clops mikro mengamati jalannya pertemua dua pemimpin planet di satu meja.
Di tengah mereka, Naganingrum dari Komite BimaSakti menjadi penengah. Kijang tidak pernah selega ini melihat Komite interstellar akhirnya ambil peran.
Tapi Kijang juga tidak punya muka untuk bertegur sapa dengan ibu kandung Ciung.
Batara yang mewakili Bumi menjabat Pramana yang duduk di kursi roda. Kabar berkata, kecelakaan pesawat antar planet merenggut kedua kaki sang presiden Mars. Semua tidak perlu tahu konspirasi busuk yang mengurung sang presiden dalam belenggu kryogenik dan menggantinya dengan presiden palsu selama puluhan tahun.
"Sudah terlalu lama kita diam." Batara memulai.
Pramana mengangguk. "Saatnya zaman berubah."
Kedua pria itu terdiam. Batara menarik napas.
"Kami, seluruh penduduk Bumi, menyatakan merdeka dan melepaskan diri dari segala bantuan dan kolonisasi kaum Mars."
Semua orang menahan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sands of Time [Short Stories Anthology]
Short StoryAn anthology, for contests and challenges, a dedication to dear friends, the memories of first drafts, or simply to put an eas to my mind. Enjoy your ride~ - Kumpulan cerita, baik untuk challenge, sebuah persembahan tulus kepada imajinasi dan teman...