tentang Arvian2

27 1 1
                                        

Sedan hitam itu kini telah terhenti di depan sebuah rumah mewah bercat putih itu. Tampak sepi. Hanya ada seorang satpam yang tengah membaca koran di pos nya.

Revan keluar dari pintu mobil dan bergegas membukakan pintu untuk Arvian. Tapi anak itu malah menatapnya tidak suka.

"gue bukan pacar lo yang pintunya harus dibukain"

"yaelah Yan, gak dosa kali gue kayak gitu. Sensi amat lo" balas Revan.

Revan memapah Arvian keluar dari mobil. Tapi tiba tiba langkah mereka terhenti saat ini seorang wanita yang mendatangi Revan dan Arvian. Wanita itu masih muda. Tampak dari wajah dan gaya pakaiannya.

Ya, itu Resya, kakak Arvian. Gadis itu tampak panik melihat adiknya yang berjalan dengan dipapah plus wajah dengan rona pucat. Resya juga sadar kalau ini belum waktunya pulang.

Resya segera mengambil sebelah tangan Arvian untuk membantu memapahnya.

Namun Arvian menepis tangan itu. Sorot matanya menajam. Melihat kearah sang kakak yang lebih pendek darinya.

"lo apa apaan sih? Gue udah dipapah sama Revan. Gue gak butuh bantuan lo", ucapnya dingin.

"dek, gue cuma mau bantuin lo doang. Lagian kenapa nih lo pulang duluan? Pasti sakit kan? ", tanya Resya.

Namun sang adik tak menggubris pertanyaan itu.

"van, mending kita langsung ke kamar gue aja deh. Capek lama lama berdiri disini. ", ucapnya pada Revan.

Revan yang mengerti dengan situasi itupun hanya menuruti ucapan Arvian. Mereka berlalu meninggalkan  Resya dengan mata yang berkaca-kaca.

"kapan sih lo mau maafin gue dek? "

***
Arvian kecil kembali menutup telinga saat kedua orang tuanya bertengkar lagi. Ini sudah kesekial kalinya barang barang di rumah mewah itu hancur karena dijadikan pelampiasan kemarahan pasutri itu.

Arvian dengan sang kakak, Resya hanya menyaksikan dari anak tangga. Resya yang saat itu sudah duduk di kelas 3 Smp benar benar faham akhir dari pertengkaran kedua orang tuanya selama ini. Ya,  sebentar lagi mereka akan berpisah dan Resya harus sudah menentukan pilihannya. Dia akan ikut dengan papa atau mamanya. 

Sedangkan Arvian yang masih kecil, anak itu bahkan tak mengerti mengapa orang tuanya terus menerus bertengkar. Yang ia tau hanyalah, dulu keluarganya benar benar hidup bahagia. Meskipun harus hidup dengan kondisi jantung yang tak baik tapi anak itu tetap bahagia dengan keluarga harmonisnya. Lalu apa yang terjadi sekarang?
"dek,  nanti kalau kamu ditanya mau ikut siapa kamu jawabnya ikut papa ya", ucap Resya setengah berbisik.

Arvian hanya melirik kakaknya dengan dahi berkerut.

"maksud kakak aku harus ninggalin mama? Gak kak, Vian gak mau. Vian mau sama mama sama papa. Sama kakak juga", jawabnya polos.

Resya menghela napas sejenak. Adik kecilnya ini bahkan tak mengerti ucapannya barusan.

Menurut Resya akan lebih baik jika mereka ikut dengan papa nya jika sudah bercerai nanti. Bukan tanpa sebab. Resya sadar,  meskipun Alia,  ibu dari kakak beradik ini memiliki sifat lemah lembut dan lebih sangat menyayangi anak anak, tapi Alia pasti akan menikah lagi dan memiliki keluarga baru. Sedangkan Resya sangat tidak ingin hal itu terjadi.

Resya dapat beropini demikian sebab ibunya ini masih sangat cantik, memiliki watak lembut dan tak jarang ibunya pulang ke rumah dengan diantar oleh laki laki. Menurut Resya,  awal dari pertengkaran kedua orangtuanya adalah karena sang mama yang dicurigai berselingkuh.

Keesokan harinya apa yang dipikirkan Resya benar benar terjadi. Wanita setengah baya itu tengah berjalan dengan beberapa buah koper dan barang lainnya dengan mata berkaca kaca.

Sementara Arvian yang melihat itu hanya bisa terdiam. Ia tau mamanya akan segera meninggalkan rumah itu. Tapi yang ia ingat adalah, saat ditanya ingin ikut siapa Arvian harus menjawab ingin ikut papa. Itulah yang selalu dikatakan Resya.

Mereka berpisah. Setelah kepergian sang ibu yang membuatnya terus menerus menangis kini mereka hanya tinggal bertiga. Tetapi Alia tidak tinggal diam. Sebelum pergi ia sempat mengatakan pada Bram, bahwa ia akan segera menjemput anak anak.

"Vian bakal kangen banget sama mama", lirih Arvian kecil.

***

Resya berjalan pelan kearah kamar adiknya. Kegiatan tak bermanfaat ini ia lakukan tiap kali adiknya sakit. Ya, Resya selalu menguatkan diri untuk mendatangi kamar adiknya dan berniat untuk menyuapinya makan. Memang tak bermanfaat, karena Arvian tak akan pernah mau menerima makanan apalagi suapan dari perempuan yang merupakan kakak kandungnya. Satu satunya keluarga yang selalu ada untuknya. Tapi Resya tak pernah memusingkan diri dengan semua hal itu. Yang jelas ia akan terus menyayangi sang adik. Dengan pelan Resya duduk di samping ranjang Arvian. Menatap wajah putih pucat tersebut. Arvian benar benar tenang dalam tidurnya. Resya meletakkan nampan berisi makan untuk Arvian di atas nakas samping ranjang anak itu.

Kemudian Resya meletakkan punggung tangannya di kening sang adik. Sontak hawa panas menyeruak dari sana. Arvian demam! Ini bukan hal yang aneh lagi, karena setiap kali kambuh maka suhu tubuhnya akan naik tidak normal. Tapi Resya tak pernah benar benar terbiasa dengan semua ini. Ia tak kuat melihat penderitaan sang adik.

Tak lama kemudian mata sayu itu perlahan terbuka. Yang pertama kali ia lihat adalah kakaknya. Resya yang tengah memandanginya dengan penuh kekhawatiran.

"lo ngapain disini? ", tanyanya pelan dengan suara serak khas bangun tidur.

"dek, kamu makan dulu ya. Biar bisa minum obat"

Arvian memalingkan wajahnya. Ia enggan melihat Resya yang saat ini nyaris menangis.

"kapan sih dek.. Kapan kamu mau terima kakak? Apa salah kakak segitu besarnya sampai kamu benar benar benci sama kakak? Setidaknya

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 18, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Untuk ArvianWhere stories live. Discover now