5. Keinginan untuk Bertemu

20.1K 1.4K 38
                                    

Mobil Divan berhenti di sebuah universitas yang berlogo sama dengan kertas yang ada di tangannya saat ini. Pria itu menarik napasnya panjang, terdiam lama hanya untuk bertanya pada dirinya sendiri sebenarnya apa yang sedang dilakukannya di tempat itu.

"Menggelikan. Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini, Divan? Apa yang kamu harapkan hingga datang jauh-jauh ke tempat ini?" Gumam pria itu pada dirinya sendiri, menunduk dan menghela napasnya kasar menatap bergantian kertas di tangannya dan logo besar universitas yang ada tertera pada bangunan di depannya.

Divan tak lama melempar kepalanya untuk bersandar di sandaran kursi mobil, mengedakan pandangannya ke luar mobil di mana banyak mahasiswa yang berkeliaran di sekitarnya.

Isi kepala pria itu berkeliaran entah memikirkan apa, hingga waktu berlalu hingga untuk berapa lama dan perhatian serta fokusnya tiba-tiba tersita pada satu titik yang membuat pikirannya kembali ke dunia nyata.

Pria itu mendudukan tubuhnya seketika, memastikan apa yang dilihatnya memanglah benar bukan hanya imajinasinya semata. Yah, bagaimana pun Divan ke sana memang untuk menemui gadis itu, jadi bisa saja karena saking inginnya Divan bertemu dan melihat, jadi salah mengenai gadis lain sebagai gadis yang ingin ia temui, kan?

Tapi tidak, Divan yakin itu dia. Divan yakin itu... gadis yang dia temui dan antar hari itu. Gadis yang belum Divan ketahui namanya.

Tanpa Divan sadar, Divan memperhatikan lebih detail mengenai gadis yang berada beberapa meter dari mobilnya, gadis yang tengah bercengrama dan terlihat asik berbincang dengan teman-temannya. Senyum, tawa kecil, anggukan dan segala apa yang Divan lihat dari gadis itu begitu membuatnya fokus hingga dirinya tidak sadar bahwa tidak seharusnya dia memperhatikan seseorang sampai seperti itu.

Hingga—

Dering ponsel di saku jas Divan membuyarkan semuanya.

Pria itu langsung merogoh dan mengambil ponsel itu, mendapati nama sang sekertaris yang ternyata menghubunginya.

"Ya, Ras? Ada apa?"

"Pak Divan? Bapak di mana sekarang? Bapak tidak lupa kalau akan ada meeting dengan tim produksi film terbaru di kantor, kan?"

Divan memejamkan matanya. Meringis kecil tanpa suara agar Laras tidak menyadari reaksinya itu. "Ah, ya. Tentu. Tapi kalau kamu boleh ingatkan, jam berapa kita meeting?"

"Kan. Bapak pasti benar-benar lupa! Apa pun dan di mana pun itu Bapak sebaiknya cepat kembali ke kantor sekarang, karena Bapak meeting 30 menit lagi."

Yah, pada akhirnya Laras memang akan tahu sih kalau Divan memang benar-benar lupa, toh pria itu tidak benar-benar mahir berbohong. Pun, kalau Laras terdengar sedikit kurang ajar sekarang, tidak, sebenarnya Laras tidak benar-benar seperti itu. Hanya saja... mereka memang sudah lumayan terlalu dekat saja, iya, antara Bos dan Sekertarisnya itu.

"Iya, iya. Baiklah. Saya kembali ke kantor sekarang. Oke? 20 menit, saya akan tiba dalam 20 menit."

Janji Divan, langsung bersiap kembali mengemudikan mobilnya dengan memasang kembali seatbelt-nya, tapi baru menutup sambungan teleponnya dengan Laras, dan menaikan pandangannya ke arah gadis yang tadi ia perhatian, gerakkan Divan tiba-tiba melambat, tepat ketika Divan melihat sosok yang tadi diperhatikannya kini tengah berbicara dengan seorang pemuda.

Masalahnya, menurut Divan itu bukan hanya pemuda biasa untuk gadis itu, atau begitupun sebaliknya. Pemuda itu menatap gadis yang Divan temui beberapa hari kemarin dengan pandangan lembut, juga senyum yang terlihat sekali bahwa hanya akan ditujukan untuk gadis di hadapannya. Senyum yang spesial. Belum lagi teman-teman gadis itu yang terlihat sedikit menjauh saat keduanya berbicara, tersenyum dengan tatapan menggoda ketika salah satu dari mereka seperti tengah mengatakan sesuatu pada muda-mudi yang terlihat seperti sepasang kekasih itu.

"Lalu kenapa memangnya, Divan? Bukankah wajar untuk mereka di usia sekarang ini untuk menjalin kasih dan sebagainya? Memangnya kenapa? Dan apa sebenarnya yang kamu harapkan?" Gumam pria itu pada dirinya sendiri.

Benar. Apa yang sebenarnya Divan harapkan? Sadar Divan! Apa yang sebenarnya kamu harapkan bahkan sampai membawamu ke universitas gadis yang bahkan tidak kamu ketahui namanya itu!

***

"Ras." Panggil Divan, tepat ketika Laras sedang membereskan berkas-berkas atasannya itu dari meja meeting.

Iya, mereka baru saja menyelesaikan meeting-nya, dengan tim produksi film baru yang akan mereka garap. Saat ini ruang meeting itu sudah kembali sepi, hanya ada Divan dan Laras—sekertarisnya di sana.

"Iya, Pak?"

"Kalau kamu tiba-tiba terus mikirin satu orang, padahal baru pertama ketemu bahkan kamu belum tahu namanya. Itu artinya kenapa?"

"Hah?" Laras yang semula menanggapi masih dengan santai dan sambil melakukan pekerjaannya tiba-tiba berhenti, menatap atasannya itu bingung.

Selama bekerja, Laras tidak pernah mendapatkan pertanyaan atau dimintai pendapat mengenai masalah pribadi, pasti semuanya mengenai pekerjaan, begitu pula Laras berpikir tadi, itu kenapa Laras masih santai dan mendengarkan.

Tapi ini? Kenapa? Ada apa? Kenapa atasannya tiba-tiba bicara seperti ini?

"Tidak, maksud saya—dengar. Secara logika rasanya tidak masuk akal memikirkan orang yang baru pertama kamu temui terus-menerus? Apalagi ada keinginan untuk menemuinya lagi. Tanpa alasan yang jelas dan keperluan yang pasti. Itu aneh, kan? Benar-benar aneh, bukan?"

Laras diam, mengamati gelagat atasannya itu dengan tatapan menilai, kedua mata Laras bahkan menyipit menyadari bahwa kini keanehan itu ditunjukan oleh atasannya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba Bapak bertanya soal itu?"

"Eh?"

"Bapak merasakannya pada seseorang? Bapak bertemu dengan seseorang terus ingin bertemu dengannya lagi? Siapa? Seorang wanita? Artis? Cantik? Cocok untuk menjadi Ibu dari anak-anak?"

Dahi Divan berkerut mendengar rentetan pertanyaan dari sekertarisnya yang tiba-tiba lebih banyak dari pertanyaan yang Divan ajukan tadi. Divan menyerah, agaknya memang salah menanyakan hal ini pada Laras, meski jika bukan pada Laras Divan tidak tahu harus menanyakannya pada siapa lagi. Maya? Tidak, sepertinya reaksinya akan sama saja dengan yang Laras tunjukan.

"Lho, Bapak mau ke mana? Kok pertanyaan saya nggak dijawab, Pak?" Suara Laras lagi, melihat Divan yang bangkit dari kursinya dan beranjak hendak pergi.

"Tidak, tidak jadi. Lupakan saja pertanyaan saya itu." Timpal Divan, tetap melangkah pergi tentu saja dengan Laras yang mengejarnya dan berusaha berjalan sedekat mungkin dengan atasannya itu agar pembicaraan mereka tetap berlangsung sesuai keinginan Laras.

"Eh, kenapa begitu? Saya perlu tahu dulu jawaban Bapak sebelum menjawab pertanyaan Bapak. Karena jawaban Bapak benar-benar penting untuk kemana jawaban yang Bapak butuhkan itu."

Divan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya separuh agar bisa melihat sekertarisnya yang berjalan beberapa senti di belakangnya itu. Meski Divan tidak langsung menanggapinya, tapi Laras tahu bahwa pria di depannya itu terpancing dengan ucapannya barusan.

Menarik napas, Divan melempar pandangannya ke arah lain selain Laras, entah mengapa mengulur waktu hanya karena hendak menjawab pertanyaan sekertarisnya itu.

"Y-ya tentu saja perempuan. Kalau laki-laki rasanya akan lebih aneh, bukan?"

"Hhm... jadi ini soal Bapak?"

"Hah?"

"Ya, karena yang seperti itu bisa saja terjadi pada perempuan pada laki-laki juga. Bukan hanya sebaliknya. Jadi kesimpulannya yang Bapak maksud ini mengenai Bapak sendiri?"

"Laras!" Divan tidak bermaksud membentak, tapi karena sekertarisnya ini yang malah sengaja menggoda dan memojokkannya ini Divan jadi kelepasan.

"Ck, sudahlah, Kamu nggak perlu jawab. Saya udah nggak butuh lagi jawabannya." Divan kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya yang tertunda karena menanggapi Laras tadi.

Laras tersenyum melihat atasannya yang marah atau lebih tepatnya "ngambek" itu.

"Itu artinya Bapak jatuh cinta!" Seru Laras, menghentikan langkah Divan yang sudah lumayan jauh darinya.

Last love [Pernikahan kedua]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang