Anak-anak Tanpa Dosa bag. 1

13 0 0
                                    

"Turunkan! Turunkan!" Suara mahasiswa sedang berteriak untuk keadilan bangsanya. Berada sekitar 500 meter dari mereka terdapat suatu warung kecil. Di dalamnya terdapat sebuah keluarga beranggotakan empat orang. Ibu, Ayah, seorang anak perempuan berumur 13 tahun dan anak laki-laki yang masih berusia 3 tahun. Mereka bersembunyi, ketakutan, menutup semua akses masuk dan keluar dengan papan. Siang itu mereka berlindung dan berdoa kepada dewa mereka agar diberi keselamatan melewati hari-hari penuh kegelapan itu.

Mei 1998.

Entah, apakah takdir begitu kejam atau manusia memang terlalu serakah. Siang itu, meletus suara tembakan, teriakan keadilan kini berubah berubah menjadi kemarahan. Begitu bising sampai keluarga kecil itu berkumpul dan memeluk diri mereka dalam ruang kecil berukuran 3x3 meter. Mereka terus menyebutkan doa-doa penuh rasa takut, badan sang Ayah memberikan pelukan kepada seluruh keluarganya.

Pintu mereka, papan yang terpasang menutupinya, dipukul dengan keras. Bunyinya semakin membuat gelisah seluruh orang di dalam ruangan itu. Dari arah luar terdengar suara teriakan amarah. "Woi, keluar lo, Cina bangsat!"

Semakin erat pelukan mereka, semakin kencang juga teriakan tersebut dan papan penutup pintu mereka semakin melemah dengan lemparan batu, dobrakan oleh masa. Terdengar bunyi kaca pecah beberapa kali, tapi suara dobrakan tak kunjung berhenti. Dalam ketakutan, Ayah mereka menyuruh anak-anak dan istrinya untuk pergi bersembunyi di balik lemari atau dibawah kasur. Sang Ibu membawa anak-anak mereka untuk bersembunyi dalam kamar, ia memerintahkan agar apapun yang terjadi, mereka tidak boleh pergi keluar dan mengunci pintu kamar itu dari luar.

Teriakan yang tadinya berasal dari luar kini mulai masuk ke dalam ruangan, semakin dekat teriakan itu menandakan mereka sudah berhasil mendobrak pintu depan. Sekilas anak-anak itu mendengar teriakan minta ampun dari Ayah mereka sebelum hilang. Setelah itu mendengar teriakan Ibu mereka, berteriak, kesakitan lalu meminta untuk berhenti. Entah apa yang terjadi diluar kamar itu, mereka belum mengetahuinya. Kedua anak itu menangis kencang, mereka berteriak dari dalam kamar.

"Ada lagi di kamar, bunuh semua!" Teriak seorang pria dari luar kamar.

Pintu kamar yang terkunci tidak kuat menahan amarah dari masa. Seketika itu juga pintu kayu itu hancur. Anak-anak itu melihat Ibu mereka telanjang bersimbah darah di lantai, tidak jauh dari pintu kamar mereka. Sang Ibu tidak bergerak, matanya kosong. Ada seorang laki-laki berada dibelakang Ibu mereka, entah apa yang dilakukannya, pikir anak-anak itu. Mereka hanya dapat menangis. Lalu salah seorang dari pria disana menghampiri mereka.

"Dasar anak Cina!" Pria itu menampar anak perempuan berusia 13 tahun tersebut sampai terjatuh. Kemudian pria itu merobek dengan kasar seluruh pakaian anak itu. Pria itu membuka celananya dan memperkosa anak kecil dihadapan mereka, tidak hanya satu orang, tapi mereka bergantian melakukannya. Mereka tidak peduli dengan teriakan kesakitan dari anak itu. Anak-anak itu hanya bisa menangis, sang kakak tergeletak lemas, tidak dapat melawan tenaga dari pria-pria yang menahan tubuhnya. Sang adik dipukul ramai-ramai oleh pria lain yang tidak memperkosa kakaknya. Sampai akhirnya sang kakak benar-benar tidak bergerak, dia mati dalam keadaan telanjang, tapi tidak menurunkan semangat perkosaan dari para pria itu. Mereka tetap memperkosa mayat anak berumur 13 tahun itu, dan terus memukul adiknya sampai tidak sadarkan diri.

Setelah mereka puas, pria-pria bejat itu tidak berhenti, mereka pindah ke rumah lain. Bahkan beberapa dari perempuan diseret ke jalanan, lalu diperkosa secara bergantian. Setelah selasi mereka meninggalkannya begitu saja, dipertontonkan kepada seluruh mahluk yang memiliki mata. Korban demi korban berjatuhan, anehnya hampir seluruh kejadian pemerkosaan dilakukan oleh pria berumur puluhan tahun. Mereka maju paling depan dengan menggunakan penutup wajah dan pakaian bebas. Mereka paling depan ketika melakukan pendobrakan. Mereka juga yang paling pertama membuka celana mereka, dan memperkosa perempuan-perempuan keturunan itu.

Semua itu berlanjut sampai beberapa hari, anak berusia 3 tahun yang tidak sadarkan diri itu bangun dan pergi menghampiri mayat Ibu-nya. Dia memanggil Ibu-nya, tapi tidak mendapat jawaban apapun. Dia melihat kakaknya, penuh darah keluar dari kemaluannya. Dia hanya dapat menangis pada saat itu. Dia melihat kekejaman dunia tepat didepan matanya. Selama beberapa hari dia terus berada di dekat mayat keluarganya. Anak itu takut untuk pergi keluar atau bertemu dengan orang lain. Terkadang saat suara teriakan mulai terdengar dia bersembunyi dibalik lemari lagi, dia tidak tahu apakah ada tempat aman di dunia itu.

Beberapa hari berlalu tanpa ada makanan dan minuman, entah berapa lama lagi anak itu akan bertahan hidup, bibirnya kering dan perutnya sudah tidak terisi makanan semenjak kejadian penjarahan rumahnya. Pandangannya kabur, dia bahkan sudah tidak kuat untuk pergi bersembunyi atau melindungi dirinya. Dia sangat mengantuk, tubuhnya lemas mengisyaratkan agar segera beristirahat dengan tenang. Perlahan dia menutup matanya, nafasnya menjadi lebih pelan, tangisannya kini sudah berhenti sepenuhnya. Seluruh pandangannya menjadi gelap gulita, suara-suara teriakan kemerdekaan pun perlahan lenyap, seakan semua menjadi lebih tenang. Setidaknya keadaan itu bertahan beberapa lama.

Perlahan suara lain mulai terdengar, suara seorang perempuan, perempuan itu seperti sedang menangis. Kata-kata perempuan itu mulai terdengar oleh anak yang hampir mati.

"Tolong, jangan mati. Ayo sadar, aku mohon. Tuhan, tolong anak ini." Perlahan mata anak itu mulai terbuka.

Pandangannya kabur dan dia melihat cahaya putih besar. Mulai terdengar suara lain oleh anak itu, suara asing yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Lalu perempuan itu melihat mata anak kecil itu terbuka dan menangis, dia menggunakan masker tapi saat itu juga dia membukanya dan berteriak, "Masih hidup! Dia masih hidup!"

Perempuan itu kemudian memeluk tubuh anak kecil itu sambil menangis. Ada beberapa orang dengan pakaian yang sama di ruangan serba putih itu, tapi tidak dapat terlihat jelas oleh sang anak. Anak itu tidak berbicara, mengeluarkan suaranya saja tidak bisa. Air matanya sudah habis untuk menangisi keluarganya. Pikirannya kosong karena tidak mengerti apapun yang terjadi saat itu. Dia hanya dapat melihat keluarganya disaat mereka terakhir kali bertemu. Anak itu mengingat setiap inci detil dari kejadian yang dialaminya. Wajah-wajah keluarganya saat tatapan mereka sudah kosong. Darah-darah yang tersebar diseluruh ruangan dan bau amis yang menyesakan dadanya.

Semua kenangan buruk itu terus berada dalam pikirannya, mungkin saat ia bisa berbicara, dia akan teriak karena mengalami kengerian yang amat sangat. Sampai beberapa bulan anak itu masih terdiam. Beberapa suster yang sedang berjaga lewat didepan kamar anak itu dan berhenti sejenak.

"Dia masih belum bicara?" Tanya seorang suster pada suster lainnya. Pandangan suster itu terarah pada anak yang belum bisa bicara itu.

"Boro-boro, dikasih makan aja susah. Tatapannya kosong juga."

"Iya, kasihan sih sebenarnya."

"Tapi dia kan Cina, udahlah biarin aja kalau emang mau mati juga." Lalu para suster itu tertawa kecil. Dari belakang mereka muncul seorang dokter perempuan, menegur mereka untuk kembali bekerja. Dokter itu hanya menutup pintu kamar anak itu lalu berlalu begitu saja. Seperti mereka tidak melihat anak itu sebagai manusia, hampir setiap hari perlakuan mereka tidak berubah. Kata yang paling tepat untuk menggambarkan para suster dan dokter disana adalah sudah sangat 'bodo amat' dengan keadaan anak itu. Tapi mereka tidak pernah menunjukkan sifat itu ketika bertemu dengan anak itu. Kalau begitu mungkin mereka pantas disebut 'pengecut' dalam kisah ini. Karena hanya pengecutlah orang yang tidak berani menghidupkan orang lain dari kematian dalam hatinya, siapapun mereka.

The Big IF (Sebuah Angan)Where stories live. Discover now