Satu jam berlalu semenjak tangis kecil itu meraung mengisi ruang. Anak lelaki berkali-kali menyeka air mata yang tak kunjung berhenti meski ia ingin. Wanita paruh baya di sebelahnya tersenyum maklum, membelai punggung putranya penuh kasih.
"[Name]-chan akan menemani bibi di Hokkaido. Tidak lama dia pasti pulang ke rumah kita, Seijuuro," ujar Shiori Akashi pada putranya, Seijuuro.
Di sela isaknya Seijuuro mendongak, mencari kejujuran dalam tatapan mata ibunya. "Benarkah? Kita akan segera bersama lagi?"
Shiori mengangguk antusias. "Mochiron, Sei. Kasihan, kan, kalau bibi tinggal sendirian? [Name]-chan sangat pintar dan pandai mengingat, dia akan membantu bibi."
"Benar, Sei... Kau percaya pada [Name], kan?" tanya bibi Seijuuro.
Tak lama isak Sei mulai mereda. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Dua telapak mungil lainnya membalut kepalan tangan itu. Sei mendongak, menemukan iris [h/c] yang berbinar indah.
"Sei nii... [Name] kasihan pada bibi jadi [Name] akan menemani bibi dulu... Nanti kita main bersama lagi ya, Sei nii..." Senyum itu merekah lebar, membuat Seijuuro mulai bergerak dari tempatnya.
G R A B ! Di dekapnya erat-erat sang adik, air mata yang terhenti kembali meruah. Bukan rengekan yang mengiringi, namun senyuman ceria.
"Kita akan berenang bersama selama yang kamu mau, [Name]! Aku janji akan mempersembahkan kemenanganku dalam basket setelah kita bertemu lagi, ya! Tunggu aku, [Name]!"
[Name] mengangguk dengan sedikit berjinjit karena perbedaan tingginya dengan Aeijuuro. "[Name] sayang Sei nii!"
Akashi [Name], putri satu-satunya dalam silsilah keluarga Akashi saat ini. Anak perempuan yang diadopsi oleh keluarga Akashi semenjak dua tahun lalu dari sebuah panti asuhan. Tumbuh kembangnya seringan bersama sang kakak, Akashi Seijuuro yang pada dasarnya seumuran.
Kini keduanya terpisah oleh jarak, tapi tak menghalangi untuk sekadar bertukar kabar melalui telefon.
"Okaa-sama, bolehkah Seijuuro masuk?" tanya anak laki-laki berusia lima tahun dengan suara melengkingnya.
Tak ada jawaban dari sang ibu. Pintu kamarnya terus terketuk tanpa ada respon.
Rasa penasaran Seijuuro muncul. Perlahan ia buka pintu kamar orang tuanya dan masuk sambil meneriakkan 'Okaa-sama'.
Tak lama ia melihat tangan ibunya yang terjulur dari sebelh tempat tidur. "Okaa-sama sedang mencari apa di bawah tempat tidur? Biar Sei yang mengambilnya untuk Okaa-sama." Di dekatinya tubuh sang ibu.
Gurat kecewa muncul di wajah Sei, pasalnya sang ibu tak menjawab tawaran Sei. "Okaa-sama, kenapa tidak menjawab? Apakah Sei anak yang nakal dan melakukan kesalahan hingga Okaa-sama marah pada Sei?"
Lagi-lagi tak ada jawaban, Sei mendekat pada ibunya. Tubuh wanita itu terkulai di atas karpet sebelah ranjang. Matanya terpejam dengan tangan terjulur.
"Okaa-sama tidur? Kenapa tidur di karpet?" Seijuuro berusaha keras mengangkat ibunya dari lantai untuk dipindahkan ke kasur. Tapi tubuhnya terlalu kecil, kekuatannya pun tak sebesar itu untuk melakukannya seorang diri.
Merasa tak sanggup, Seijuuro kecil berlari ke luar ruangan, mencari pelayan pria untuk membantunya memindahakan tubuh sang ibu.
"Hairo-san, bisa bantu Sei sebentar?"
Pelayan yang dipanggilnya duduk berlutut di depan tuan muda-nya. "Ada yang bisa saya lakukan, Tuan Muda?"
Sei menunjuk ke pintu kamar ibunya. "Sepertinya Okaa-sama sangat kelelahan hingga tertidur di karpet. Padahal pukul satu siang nanti kami harus ke kantor Otou-sama. Katanya mau membahas strategi promosi dalam launching produk teknologi berbasis komputer."
Alis Hairo menukik seketika. "Ny—Nyonya Shiori tertidur di karpet? Be—benarkah, Tuan Muda?"
"Unn!" Seijuuro mengangguk. "Pantas saja Okaa-sama tidak menjawab panggilan Sei. Ayo bantu aku, Hairo-san!"
Hairo gelagapan di tempatnya, peluhnya memenuhi dahi seketika. "Ba—Baik, Tuan Muda!"
Keduanya langsung berlari ke kamar Shiori. Wajah pucatnya bagai hantaman palu di punggung Hairo. Segera Hairo memposisikan Shiori di atas kasur dan memegang sebelah bawah pergelangan tangan kiri sang nyonya.
Detak itu tak ada.
Detak sebagai simbol kehidupan.
Sudah tidak ada.
Meski begitu Hairo segera menelpon dokter keluarga Akashi menggunakan jaringan telepon di kamar majikannya. Ia pun menelpon Masaomi yang tengah sibuk dalam penyetujuan sejumlah berkas.
Telepon dari Hairo jelas mengganggu aktivitas Masaomi. Tapi berita yang dibawakannya, meruntuhkan dunia Masaomi.
•
Hari itu Akashi Shiori telah tiada. Meninggalkan Seijuuro kecil yang hanya bisa menatap bingung gundukan tanah di depannya, beserta nama mendiang ibu yang begitu ia cintai.
"Seijuuro... Ibumu meninggal karena kalah dari penyakit. Penyakit menaklukkan tubuhnya dan membuat ibumu semakin melemah dari hari ke hari." Masaomi bicara di sebelah anaknya, tepat di depan makam mendiang sang istri.
Suara baritonnya mengalir tanpa intonasi. Tak ada keresahan dalam bicaranya, tak nampak kesedihan dalam cakapnya.
Seijuuro tetap diam, memandang nama ibunya.
"Jika kalah kita akan kehilangan semuanya. Ibumu kalah dari penyakit, dia kehilangan putranya, suaminya, teman-temannya, harta bendanya, dan sebagainya. Terlalu besar untuk biaya kekalahan. Kerugian yang begitu besar dan tak bisa ditafsirkan hanya dengan deret nominal," ujar Masaomi masih sama dinginnya.
Seijuuro tetap diam, memandang nama ibunya.
"Aku menekanmu dan membuatmu terus bekerja keras. Apa kau mengerti, Seijuuro?" lanjut Masaomi.
Seijuuro tetap diam, memandang nama ibunya.
"Kau harus menang atas kekuatanmu sendiri, dengan nama yang kau banggakan. Menang dengan hasil terbaik di antara yang terbaik. Menang, menang, dan menang, hanya itu yang perlu kau lakukan agar tak ada yang hilang dari genggammu, Seijuuro."
Seijuuro mematung mendengar perintah sang ayah. Kedua tangannya terkepal.
"Baik, Otou-sama."
—X—
[190928]
KAMU SEDANG MEMBACA
We Meet Again | Akashi Seijuuro
Fanfictionstory by @alyhani FANFICTION AKASHI SEIJUURO X READER Kuroko no Basuke (黒子の ばすけ) belongs to Tadatoshi Fujimaki sensei. 🎬 Hidup yang sempurna, kemenangan demi kemenangan, merupakan suatu keharusan dalam hidupnya. Hal yang menumbuhkan sisi ambisius t...