0.2 Ketua OSIS

139 29 3
                                    

"Aku bersyukur Otou-san baik-baik saja. Maaf aku baru bisa kembali sekarang." Seorang gadis mengisi pembicaraan. Tiga orang lainnya sibuk dengan makanan yang tersaji di hadapan masing-masing.

Masaomi berdeham pelan, menyeka noda makanan di ujung bibir menggunakan serbet tangannya. "Ya, itu karena aku baru memintamu kembali sekarang."

[Name] kembali tersenyum. "Ya, pastikan Otou-san membuangku lagi setelahnya. Dengan begitu mungkin lebih baik."

T R A K ! Secara serempak garpu dan pisau tiap-tiap orang membentur piring. Senyum gadis itu masih tampak, menampilkan eyesmile yang kerap ia tunjukkan kala tersenyum.

"[Na--]" kata-kata Akashi terhenti seketika.

"Ah iya iya. Tahu, kok, tahu." [Name] memposisikan dirinya menghadap sang ayah angkat, lantas ia membungkuk 90 derajat menghadapnya. "Maafkan ketidak sopananku, Otou-san. Aku hanya mengatakan apa yang terlintas dalam benakku."

D R K K ! S R T ! Seijuuro bangkit dari duduknya, membalikkan badan [Name] agar berhadapan langsung dengannya. Sebelah tangannya menyentuh pundak sang adik, membuat gadis itu meneleng tak paham.

"Sei nii, ada ap—" Akashi [Name] tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Lututnya lemas seketika, matanya menatap kosong dengan emosi tak pasti. Seluruh ototnya menegang. Amat sulit barang berkedip. Sangat sakit kala menelan saliva.

"Kau bicara kepada kepala keluarga Akashi. Tunjukkan hormatmu pada Otou-sama." Bagai belati yang tajam, Seijuuro menelanjangi [Name] dengan pandangnya. Tak ada belas kasih dalam tatapnya. "Jangan pernah bertingkah tak sopan pada Otou-sama."

Sesaat tubuh [Name] menegang, tak lama ia mulai membalas tatapan kakaknya, seakan lepas dari pengaruh sihir 'kemutlakan' Akashi Seijuuro. Nampak geliatnya yang ingin mengelak, namun tepat sebelum itu, Seijuuro mengambil langkah.

"Perintahku itu mutlak. Dan jangan pernah mencoba menatapku tepat di mata, perempuan sialan."

Perkataan Akashi membuat suasana menjadi lebih berat dari sebelumnya. Masaomi mendengkus di tempat melihat kedua anaknya yang tak bisa akur.

Mewakilkan keponakannya, Shiro berdiri dan membungkuk penuh menghadap Masaomi. Tangannya terkepal dan bergetar di sisi tubuh rampingnya.

"Sebagai orang yang mendidiknya selama hampir 12 tahun, aku sungguh-sungguh minta maaf atas kelancangan [Name]. Mohon bisa Anda maklumi sifat memberontak tadi, Masaomi-san. Dia masih remaja, masih banyak hal yang belum ia ketahui. Maka dari itu saya akan membawa [Name] kembali dalam pengawasan dan pendidikan dari saya."

Suara Shiro yang bergetar tak dapat dipungkiri. Masaomi memiliki kuasa tertinggi hampi di seluruh bidang di negeri ini. Dan mendidik salah seorang pewaris Akashi Group adalah tanggung jawab yang besar. Namun perlakuan [Name] membuktikan gagalnya Shiro dalam mengajar.

"Tidak," tolak Masaomi. "Dia akan tetap pindah ke mansion utama. Jiwa mudanya tengah memberontak, terkadang Sei pun seperti ini. Sudah tanggung jawabku sebagai ayahnya untuk mendidiknya. Otsukare, Shiro-san."

Pernyataan Masaomi jelas membuka peluang. Peluang tentang perang dunia ketiga yang secara eksklusif terjadi di mansion Akashi.

"Sekarang kau paham? Orang lain kesulitan bahkan terpaksa menanggung malu atas perbuatan tak bertanggung jawabmu." Seijuuro bicara tanpa intonasi. "Jika kau bicara tentang tanggung jawab, maka kau salah seorang yang mengingkarinya."


Daun pintu menutup perlahan. Mulutnya menganga tak kunjung tertutup, melihat segala kemewahan yang tertuang dalam ruang berukuran delapan kali delapan meter. Salah satu kamar di mansion utama Keluarga Akashi.

Jendela besarnya menghadap langsung ke taman depan. Dapat dilihat kolam ikan beserta teras di mana pintu utama berada.

"Kamar sebesar ini, kamarku?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Shiro mengikuti langkah gadis itu, lantas meletakkan koper dan segala barang bawaannya. "Jauh berbeda dengan di Hokkaido, kan? Makanya berterima kasihlah pada Masaomi-san yang masih mau menerima segala kekurangajaranmu!"

[Name] meringis di tempat, gurat sesal juga tampak sesekali dengan senyumnya. "Aku sungguh minta maaf, ba-san."

P L U K ! Shiro mengacak pelan rambut keponakannya. Senyumnya ikut tercipta. "Ch, dasar anak ini. Sifat blak-blakkanmu ada baiknya dikurangi, ya. Kau membawa nama Akashi, seluruh kehormatan tertuang di dalamnya. Jangan permalukan orang yang—"

"Aku tidak mengerti," ujar [Name] tiba-tiba. "Kenapa Otou-san memintaku kembali setelah membiarkanku hidup bersama ba-san hampir 12 tahun. Beliau juga hanya mengunjungiku beberapa kali dalam 12 tahun. Seijuuro juga tak suka dengan hadirku, kan? Lantas kenapa aku tetap ke sini?"

Shiro menangkup wajah [Name], memandang lamat dengan iris green forestnya. "Masaomi-san sama sekali tidak berniat membuangmu. Pekerjaannya terus bertumpuk hingga kurang bisa membagi waktu denganmu yang begitu jauh jaraknya. Seijuuro juga punya masalahnya sendiri. Jika kau ingin dinding itu hilang, maka kau sendiri yang harus merubuhkannya."

"Aku bahkan tak tau apa yang membuatnya membenciku."

"Itu tugasmu, tugasmu untuk intropeksi. Apa kesalahan yang telah kau buat, apa saja yang terkena dampak dari perbuatanmu itu. Itu memang tak mudah, tapi itulah aturan untuk hidup bersama orang lain."

Sekali lagi Shiro mengacak rambut keponakannya penuh kasih. "Kau pasti bisa!"

[Name] tersenyum, menghamburkan peluknya ke wanita di hadapannya. Orang yang berperan sebagai ibunya 10 tahun terakhir.


Masaomi memutuskan menyekolahkan putrinya di sekolah yang sama dengan putranya. Pertentangan dari Akashi Seijuuro hanya selintas melintas, sama sekali tidak memengaruhi keputusan Masaomi.

"Dia adikmu, Sei. Dulu kau begitu menyayanginya, kenapa sekarang kau sangat membencinya?" tanya Masaomi saat perjalanan menuju kantor bersama Seijuuro di sampingnya.

Seijuuro hanya menatap lurus ke depan. "Fakta dia hanya menangis saat pemakaman Okaa-sama, fakta dia peringkat tengah di sekolahnya. Apa yang bisa membuatku mengakuinya?"

Masaomi melempar padang. "Hanya itu? Kalau begitu itu tugasmu untuk memperbaikinya."

"Tidak," tolak Seijuuro terang-terangan. "Jangan libatkan aku dengan dia. Dia gadis yang merepotkan."

Smirk khasnya muncul, menatap pantulan putranya di jendela. "Kau tidak mampu menaklukkannya?"

D E G ! Jantung Seijuuro berdegup kencang dan cepat. Tangannya terkepal kuat di atas pangkuan. "Jika Otou-sama menghendaki begitu, aku akan membuatnya tunduk."

Senyumnya makin melebar mendapat pernyataan si sulung. "Seperti yang aku harapkan, Seijuuro."

Tepat 150 meter sebelum gerbang Rakuzan Koukou, Seijuuro menuruni mobil. Sebelum berlalu, Masaomi menyempatkan membuka kaca dan bicara dengan putranya.

"Kau bertanggung jawab atas [Name] di sekolah. Jangan terlalu keras padanya, karna aku tahu dia juga membencimu." Dengan itu Masaomi kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor.

Seijuuro menghela napas berat, menatap kedua kakinya. Entah emosi apa yang melewatinya, matanya bergetar, berkaca-kaca lagi menahan gemetar. Sesaat tenggorokannya tercekat, tak mampu barang bicara sepatah kata. "Okaa-sama, aitakatta." Hanya itu kata-kata yang lolos.

"Sei nii." Tiba-tiba satu suara menyadarkannya. "Isshouni gakkou ni ikimasu."

Seijuuro melebarkan mata, mengenyahkan air mata serta mengatur kembali pernapasannya. "Hentikan itu. Selama di sekolah..." Sei menoleh penuh kea rah [Name]. "panggil aku Seitokai. Dan pastikan bahkwa kau tak mempermalukanku."

X—

[191009]

We Meet Again | Akashi SeijuuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang