NAYLA sedang menaikkan kaki ke atas kursi dan mengikat tali sepatu converse-nya, saat Dita melangkah memasuki kamar. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu hanya melirik, tanpa bergegas menurunkan kakinya yang terlihat tidak sopan di hadapan orang tua.
"Kenapa, Ma?"
"Nay, kamu, kan, udah dua lima sekarang?"
"Hm," sahut Nayla singkat.
"Kamu udah punya pacar belum?"
Nayla menurunkan kakinya dan menghadap sepenuhnya ke arah Dita. "Pacaran buat apa, sih, Ma? Nggak bikin Nayla sukses juga."
Dita tampak kesal mendengar jawaban anaknya. "Ya udah, kalau calon suami gimana? Udah punya?"
Nayla mengerutkan dahi. Apa kata mamanya tadi? Calon suami? Membayangkan pernikahan saja tidak pernah!
Nayla mendesah kasar. "Nayla nggak pernah mikir buat nikah semuda ini, Ma. Masih ada banyak hal yang pengin Nayla raih, dan pernikahan masih terlalu jauh buat dibicarain."
"Lho, kok gitu? Apa kamu nggak pernah mikirin perasaan Mama sama Papa? Kamu nggak mikirin Mama sama Papa yang udah mulai tua dan pengin lihat anaknya nikah sama lelaki terbaik terus punya anak? Kamu nggak pernah mikir perasaan Mama yang udah pengin gendong cucu dari lama, hm?"
Nayla syok mendapat serangan soal dari Dita sepagi ini. Dia mengerti, jika kedua orang tuanya ingin dia menikah secepatnya. Apalagi, Nayla anak tunggal di keluarga Tjandra. Mereka pasti ingin segera menggendong cucu darinya.
Masalahnya, cari calon suami itu nggak mudah. Gampang diomongin, tapi ngejalaninnya susah. Nayla tidak bisa asal menunjuk laki-laki dan mendatangkan masalah. Wanita itu lebih pemilih dari kelihatannya, ia bahkan tidak pernah punya pacar, karena dia tidak suka terikat dan dikekang oleh manusia yang hanya berstatus sebagai 'pacar'-nya.
"Ma ... Nayla pasti nikah, tapi enggak sekarang."
"Apa?! Lalu kapan?! Kamu mau nungguin Mama sama Papa udah meninggal dulu, baru kamu mau nikah, ha?!"
"Iya ... enggak gitu juga kali, Ma!"
Dita mendengkus keras. "Pokoknya, Mama nggak mau tahu! Di umur dua puluh enam, kamu harus udah kasih Mama cucu!"
"Cuma cucu, kan? Menantunya enggak?"
Dita mendelik ke arah putri semata wayangnya. "Kamu mau hamil di luar nikah, ha!"
Nayla terkekeh-kekeh kecil. "Iya enggaklah, emangnya Nayla cewek apaan?" Wanita itu melangkah menjauhi Dita, mengambil tas punggung kecil yang selalu ia bawa, dan melambai pada mamanya. "Hari ini, Nayla sarapan di resto aja! Selamat pagi, Mama! Dan babay, muach!"
Secepat kilat wanita itu pergi meninggalkan mamanya. Argumen di pagi hari dengan mamanya tidak akan menemukan titik terang, karena keduanya sama-sama keras kepala. Kecuali, ada Bagas di sana yang menjadi penengah di antara mereka. Namun, papanya sekarang sedang dinas ke luar kota.
Nayla mendesah kasar.
Membayangkan pernikahan, punya anak, dan hidup mandiri bersama keluarga kecilnya sukses membuat perutnya mual.
Gimana mau nikah, kalau pacaran aja enggak pernah?
Nayla memejamkan mata. Ia melirik jam di tangan kirinya. Pukul delapan lebih lima belas menit, seharusnya Damn sudah sampai di sini, tapi di mana laki-laki itu? Tumben sekali dia datang terlambat saat menjemput Nayla.
Damian atau Damn adalah sahabat Nayla sejak SMA. Laki-laki itu pula yang menjadi bodyguard-nya di sekolah dulu. Dari Damn, Nayla bisa melihat bagaimana busuk dan baiknya seorang laki-laki. Damn mengenalkan banyak hal pada Nayla, keliaran, kebusukan, serta semua kebaikan. Dan Nayla mengenalkan Damn pada mimpinya, membangun restoran bintang lima yang memiliki makanan dengan cita rasa khas daerah di sekitaran Jakarta.
Damn bekerja pada Nayla, tapi laki-laki itu tak pernah menunjukkan rasa protes sama sekali padanya. Bahkan, sampai sekarang, keduanya tetap bersahabat di lingkungan luar juga lingkungan kerja. Persahabatan mereka bisa dibilang sangat erat.
"Ke mana, sih, itu anak?"
Damn muncul lima belas menit kemudian. Dengan helm dan motor merah yang tampak kotor di mata Nayla. Padahal, Damn sangat suka kebersihan seperti dirinya.
"Tumben telat?"
Damn membuka helmnya dan menunjukkan wajahnya yang lecet sana-sini, belum lagi ada darah segar yang masih mengalir di pelipisnya.
"Astaga! Lo kenapa?"
"Kecelakaan waktu mau ke sini," balas Damn cuek. Dia menyeka darahnya menggunakan lengan jaket hitamnya dan Nayla bisa melihat jika lengan jaket itu sudah basah dengan darah kental milik sahabatnya.
"Sini, gue yang bawa motor. Gue bawa lo ke rumah sakit dulu, astaga! Elo harusnya langsung ke rumah sakit, bukannya nyamperin gue ke rumah!"
Damn hanya tertawa singkat. Dia membiarkan Nayla mengambil alih motor gedenya.
Cewek berusia dua puluh lima yang masih terlihat seperti anak remaja. Dengan sepatu converse berwarna putih, tas punggung kecil berwarna hitam, juga kaus pas badan berwarna putih dipadukan dengan celana jin berwarna hitam selutut.
Siapa yang sadar, jika wanita yang selama ini menghuni hatinya adalah wanita dewasa,bukannya remaja tanggung yang sedang beranjak dewasa?
_____
CERITA INI SUDAH LAMA PINDAH KE DREAME DAN EKSLUSIF DI SANA.
YANG MAU BACA LENGKAP SILAKAN KE APLIKASI DREAME DAN BUKA BAB SECARA BERBAYAR.
KALAU MAU GRATIS BISA NONTON IKLAN/NUNGGU KOIN GRATISAN.
TERIMA KASIH ATAS PERHATIANNYA. ❤️😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Seorang Duda
RomanceKalau saja nikah semudah kawin, pasti Nayla tidak akan pusing untuk cari-cari pendamping. Paksaan dari mamanya membuat Nayla harus segera menikah secepatnya, tapi dengan siapa?! Pacar saja nggak punya! Pergi kencan saja tidak cukup untuk membuatnya...