9. Telepon

425 31 26
                                    

"Ngaku aja udah! Gue bisa jaga rahasia kok!" Desak Ratih sambil mendorong-dorong pundakku dengan jari telunjuknya di sela-sela jam istirahat. Kami berdiri persis di depan mading sekolah.

"Gue sama Rea itu setim di Cepat Tepat IPA. Apa salahnya kalo gue telpon dia?" Ujarku sambil pura-pura fokus membaca isi mading.

"Udara, gue ini teman semeja sekaligus baskom curahan hati nya Rea. Lo nggak tau kan kalo udah berapa anak IPA yang nanyain nomor telepon rumahnya ke gue?" Kata Ratih.

Apa ini? Kemana saja Aku selama ini? Ternyata banyak yang sudah memperhatikan Andrea. Aku mulai gelisah dan ada getaran insekuritas yang dapat kurasakan sedang memuncak di ubun-ubunku.

"Terus kaitannya sama gue?" Tanyaku masih sibuk melirik-lirik beberapa puisi karya murid yang tak ku kenali dalam mading.

"Masih nggak paham ya? Ya intinya lo juga sedang mencari cara gimana bisa lebih dekat sama Rea, persis sama kayak anak-anak cowok lain." Ucapnya. Kedua mataku mulai bergerak tak karuan. Aku sama sekali tidak fokus lagi dengan isi madingnya.

"Halah, fitnah, itu fitnah!" Timpalku berbohong. Jelas itu fakta. Gelio si kucing juga tahu kalau itu fakta. Jangankan Gelio, radio dan bahkan lukisan galaksi bima sakti di langit-langit kamarku juga tahu kalau itu fakta. Tunggu, apa ini yang disebut kak Uni dengan istilah itu? Denial?

"Fitnah raket badminton lo bolong! Gak mungkin si pencipta puisi 'Pertemuan' gak punya hati sama temen gue!" Ujar Ratih tak ku gubris. Mengingat puisi itu membuat bulu kudukku berdiri dan tubuhku gemetar geli.

"Lo udah nulis puisi buat dia. Tanda itu aja udah jelas, Udara! Lagian...nggak apa-apa juga kalo lo telpon kali, Da! Rea kemarin juga minta nomor telpon rumah lo ke gue!" Lanjut Ratih seraya memain-mainkan ujung rambutnya.

Apa lagi ini? Fakta baru yang agak mencengangkan.

"Ah, masa..." Kataku namun masih tak memandang Ratih. "Terus lo kasi nomornya?" Tanyaku sedikit penasaran.

"Ya iyalah gue kasi, masa gue jual ke orang lain!"

"Trus...trus..."

"Terus... Andrea sempat nanya ke gue juga kalo gue sama dia kapan-kapan ke rumah lo belajar kelompok. Kan lo jago Biologi tuh dan lo tau betapa mundurnya gue di mapel itu. Itu kalo lo mau dan lo ijinin ya!" Kata Ratih yang kali ini mulai menggigiti ujung rambutnya.

Liurku kutelan. Ini pasti akal-akalan si murid bernama lengkap Ratih Purwasih Hening Cipta Kurniasih ini. Entah apa misinya, tapi Aku cukup yakin kalau ini bagian dari jebakannya. Aku masih tak merespon.

"Pas jam pulang sekolah dua hari lalu, dia sempat cerita soal mau ngejodohin kucing lo ama kucingnya!" Katanya lagi.

Apa? Ratih tahu soal 'penjodohan' kucingku dengan Andrea? Andrea cerita apa saja ke teman semejanya ini? Aku mulai memandangi Ratih yang sepertinya masih memiliki banyak cerita dalam mulut lancipnya.

"Dan... pagi tadi..." Ucap Ratih pelan dan cenderung berbisik.

"Kenapa tadi pagi?" Rasa penasaranku mulai meningkat tajam. Ku tatap Ratih dengan seksama serasa menaikkan dagu.

"Rea nanyain ultah lo kapan!" Ucapnya dengan suara rendah.

Bumi sedikit berguncang. Kakiku merasakan ada tremor. Kutelan liurku lagi. Ada setetes keringat mengalir di pelipisku. Andrea mencari tahu kapan Aku ulang tahun? Dia menanyakan tanggal kelahiranku? Wow!

"Y-yang bener?" Tanyaku langsung memelototi Ratih dengan binaran mata. Aku tak mampu menahan senyum bahagia.

Ratih mengangguk dengan muka ceria. "Dia juga sampein ke gue kalo kapan-kapan dia bisa nonton latihan bulutangkis lo!"

Udara & AndreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang