k i n a

23.2K 1.4K 97
                                    

"Lo mau jadi pacar gue Kin?"

Aku yang sedang berjalan di koridor sekolah pun menghentikan langkah. Ku tatap wajah Gentar, gurat enggan ditolak terlihat jelas. Dia lagi nembak? Tapi wajahnya kayak mau nyari ribut gitu.

"Nggak mau, sorry ya." Sikapnya yang demikian kubalas dengan lebih parah, aku minta maaf tapi menunjukan raut muka ogah-ogahan. Aku bosan belakangan ini ditembaknya berkali-kali dengan kalimat yang sama.

"Kenapa sih lo selalu nolak gue, Kin? Kurangnya gue apaan?" Gentar terlihat frustasi, wajahnya terlihat seperti menantang aku untuk menjabarkan kekurangannya.

"Yaelah Gen, masa nanya gue sih? Mandiri dong, jangan apa-apa minta disuapin." Secara tidak langsung aku menyuruhnya untuk mencari tau apa kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Yakali aku harus menjabarkan kekurangannya, nanti diriku yang fana ini dikira sombong karena berani menjabarkan kekurangan orang lain.

"Kin," Gentar meraih tanganku, tapi dengan cepat aku tepis. Aku tidak mau guru melihat adegan picisan seperti apa yang hendak Gentar dramakan. Aku juga takut, siapa tau tiba-tiba Gentar nyosor begitu saja.

"Oke kalau lo maksa. Jangan kira gue nggak tau kalau lo demen caper belakangan ini, menurut gue sih oke-oke aja kalau lo caper dengan menghasilkan prestasi. tapi selama ini apa? lo bolak-balik masuk ke ruang BK, dari perkara bolos sampai ngiler di kelas. Lo bisa-bisanya nembak gue dalam keadaan diri lo sendiri kacau balau begitu? Lo ngeremehin standar cowok idaman gue, Gen?"

Aku menghela nafas sambil memijat pelipis, "Jomblo aja nilai lo makin ke sini makin jeblok Gen, gimana nanti kalau lo punya pacar? Bisa-bisa bokap nyokap lo nanti nuntut gue, dikira gue yang bikin nilai elo tiarap."

Aku sebenarnya bukan anak yang gemar menyakiti orang, tapi untuk kali ini mungkin adalah pengecualian. Gentar sepertinya butuh diarahkan dengan keras mengingat dia cukup kesusahan dalam berkaca. Kebetulan cara bicaraku terkadang bisa seperti ini, agak nyelekit.

Aku tau Gentar beberapa waktu terakhir ini selalu mencari perhatian agar orang tuanya sejenak meninggalkan pekerjaan dan memperhatikannya. Terus berulah jika orang tuanya lagi dan lagi mulai terlalu fokus pada pekerjaan mereka. Sebagai orang kantoran yang selalu dituntut untuk mencapai target ini dan itu, mereka terlalu fokus sampai lupa kalau di dalam rumah masih ada seorang remaja yang mengingkan sebuah perhatian.

"Gue nggak pinter, gimana biar gue berprestasi?" Tanya Gentar enteng. Wajahnya terlihat biasa saja saat bertanya demikian, tapi binar matanya tidak bisa menipu. Gentar terlihat kebingungan.

Gentar dulu saat awal-awal masuk sekolah tidak separah sekarang. Anak itu dulu agaknya mau berpikir dan tidak banyak berulah. Makin ke sini memang Gentar makin terlihat parah, jelas dia butuh bantuan.

"Sepupu gue bisa ngajarin elo, meski nggak gratis. Tapi Gen, bukan itu point gue. Gue nggak papa sama orang bodoh, asal orang tersebut baik, tanggung jawab dan mau kerja keras. Bukan tukang pemalas, ngerti tanggung jawabnya sebagai pelajar, dan kerja keras dalam merubah diri ke arah yang lebih baik." Errr setia juga termasuk syarat, aku tidak mau diselingkuhin.

"Lo lagi promosiin Davin sepupu lo yang kemana-mana pakai kacamata baca itu?" Gentar menatapku, wajahnya tampak syok.

Davin merupakan salah satu sepupuku. Kutu buku dengan penampilan enak dilihat. Good looking. Davin irit dalam berbicara, enggan membicarakan suatu hal yang menurutnya sama sekali tidak penting. Dan Davin cerdas pastinya, maka dari itu dia kerap jadi lelaki panggilan. Tutor atau guru les dadakan.

"Ya... sekalian saja," kataku tak acuh. "Jangan lagi lo nembak gue dengan keadaan diri lo yang masih gini-gini aja. Berubah Gen, buat diri lo sendiri. Jadiin orang-orang di sekitar lo sebagai motivasi untuk bangkit dan berubah ke arah yang lebih baik. tunjukin kalau lo nggak semenyedihkan itu," aku menepuk bahu Gentar sebelum kakiku kembali melangkah.




K I N A (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang