Raphael Alexander povAku mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku pada lantai, sudah setengah jam aku menunggu Stevany yang tak kunjung keluar dari kamarnya. Aku menyesal memberi tahu dia bahwa Stevan akan datang berkunjung ke rumahku malam ini. Dua hari yang lalu Stevan baru saja pulang ke Jakarta untuk menghabiskan liburan musim dinginnya, dan sangat antusias untuk bertemu dengan Stevany. Selama ia di Harvard, kami selalu bertukar email membicarakn tentang kehidupan kami masing-masing, dan saat aku bercerita tentang Stevany yang sangat tertarik dengan semua yang ada di buku harian miliknya, Stevan sudah bertekad untuk bertemu dengan Stevany.
Saaat aku masih disibukkan dengan pikiranku, tiba-tiba saja Stevany sudah berdiri di hadapanku mengenakan gaun selutut berwarna hitam. "Bagaimana penampilanku?" ia berputar seolah sedang berada di atas catwalk.
"Kenapa kau mengenakan gaun?" Stevany tak menjawabku, ia hanya membalikkan badan dan kembali masuk ke kamarnya dengan membanting pintu. Aku rasa semua perempuan akan sangat menyebalkan jika mempunyai perangai seperti dirinya.
Setelah aksi membanting pintu tadi, Stevany kembali keluar mengenakan hot pants berbahan jeans dan juga sweater berwarna merah, rambutnya ia biarkan tergerai begitu saja, yang menurutku membuat penampilannya sangat sempurna. "Apa kau sudah puas memandangiku dengan air liur mu yang menetes?" Stevany mencibirku dan berlalu. Aku hanya bias mendengus kesal mendengar ucapannya. Semakin lama aku mengenal dirinya semakin menjadi juga sifatnya yang membuatku jengkel. Aku memaki dalam hati, jika saja bukan karena Stevan yang memintaku untuk mendekatinya, aku tak akan mau berlama-lama bersama gadis ini.
"Apa Stevan sudah ada dirumah mu?" tanyanya saat aku sudah berada dibelakang kemudi.
"Aku tidak tahu." Ucapku datar, meletakkan tanganku di perseneling bersiap mundur.
Selama perjalanan Stevany tak banyak bicara, namun ssekali ia melontarkan pertanyaan yang tidak terlalu penting.
Karena padatnya lalu lintas Ibu Kota, sudah satu jam kami terjebak macet di jalan. Kakiku sudah mulai terasa pegal, dan juga rasa kesalku yang mulai merambat naik melihat ruwetnya jalanan di depan. Seolah tau dengan apa yang aku rasa, Stevany menyentuh bahuku dan menenangan. Hal itu sedikit membantu, jarang sekali emosiku bisa mereda saat bermacet-macetan seperti ini, biasanya aku akan memaki sendiri atau menekan klakson untuk melampiaskannya, walaupun tak akan bisa mengurangi kemacetan.
Aku bernafaas lega setelah bias terbebas dari kemacetan, saat itu juga aku langsung memacu mobilku dengan cepat. Terlalu cepat. Beruntungnya aku hari ini tidak ada polisi yang berpatroli di daerah ini, jika tidak saat ini aku pasti sedang dikejar mobil polisi. Ketika aku memasuki halaman rumah, sudah bisa terlihat ada mobil kebanggaan milik Stevan yang sudah terpakir indah di sana. Aku menempatkan mobil kesayanganku tepat di belakang mobil Stevan. Aku turun dari mobil dan langsung menguncinya, berlari kecil menuju pintu rumahku. Saat aku berada di undakan tangga pertama, aku mendengar ada ketukan keras dari belakang, saat aku berbalik, aku melihat Stevany dengan tampang kesalnya yang masih berada di dalam mobil. Ya, aku melupakan Stevany yang sedari tadi ikut bersamaku. Aku kembali membuka kunci mobil dan membiarkan Stevany keluar lalu menguncinya lagi. Stevany menghampiriku dengan wajah kesalnya, siap memaki.
"Apa kau ingin membunuhku?" teriaknya tepat di wajahku.
"Aku tidak sengaja. Maafkan aku." Aku mengucapkannya sedatar mungkin, menahan keinginanku untuk tertawa. "Lagipula, kau kan bisa membuka kuncinya dari dalam, dasar bodoh." Aku mengetukkan dua jariku pada keningnya. "Ayolah, Stevan sudah menunggu di dalam." Aku mendahuluinya masuk ke ruang tamu, dan benar saja, sudah ada Stean di sana dengan gaya khasnya. Tidur di sofa. Aku mendekati Stevan yang masih tertidur dengan Stevany di belakangku.