Hampir 7 tahun menetap di Moskow membuatnya terasa asing kembali ke Tanah Air. Meski ragu akan keputusan Arumi yang memintanya kembali, Hans tidak akan menunjukkan rasa takutnya. Negara ini, kota ini, banyak sekali kenangan pahit yang sampai detik ini belum bisa dienyahkan dari ingatannya. Hatinya selalu tersayat perih menyalahkan dirinya yang begitu bodoh membuat semuanya menjadi rumit.
Hans menghela napas sesak yang bercokol dalam dadanya. Menoleh pada wanita cantik yang tertidur bersandar di sebelah kirinya sambil memeluk gadis kecil yang tak kalah cantik darinya. Kedua wanita itu tertidur pulas setelah melakukan perjalanan lintas negara. Kini mereka dalam kendaraan roda empat menuju mansion megah yang sudah lama tak dikunjungi.
Tangan kokohnya terangkat merapikan juntaian rambut yang menutupi wajah Arumi. Hans tersenyum lembut memandanginya. Rasa syukur selalu menyelimutinya hingga menjadi umat yang taat sebagai bentuk pengabdiannya pada Sang Pencipta. Penebusan dosa yang dipersembahkan untuk wanita tercintanya terkabul meski duri dan pecahan kaca dilewatinya tanpa alas kaki.
Rasa cintanya untuk Arumi Venus semakin subur dan berkembang. Terlebih, Arumi juga memberikan balasan cinta yang teramat tulus pada lelaki pengecut seperti dirinya.
"Aku sangat mencintaimu," bisiknya mengecup mesra kening Arumi.
Seketika senyum tampannya memudar tergantikan ekspresi murung. Kebahagiaan ini akan semakin lengkap jika ada pria tua yang begitu tangguh melindungi istrinya, Herman Bumiandra. Seorang ayah yang tak pernah lelah memberikan kasih sayangnya meski memiliki keterbatasan mental dan ekonomi. Selalu mempersembahkan segala kebaikan untuk putri tercintanya. Hans sangat menyesalkan karena mertuanya itu belum menyaksikan kehadiran cucu cantiknya.
Hans tersentak dari lamunannya saat telapak tangan lembut menyentuh rahang tegasnya.
"Kenapa? Apa sudah sampai?" tanya Arumi serak karena baru saja terjaga dari tidurnya.
"Lalu lintas siang ini sangat padat, mungkin perjalanan kita akan membutuhkan tambahan waktu. Kau tidurlah. Setelah tiba aku akan membangunkanmu dan Felice," jawabnya kemudian mengecup lembut bibir ranum Arumi.
Hans mengulum senyum, selalu terlihat semburat merah jambu di kedua pipi putih Arumi jika ia mendaratkan ciuman. Walau hanya sebuah kecupan ringan, ibu dari satu anak itu masih saja malu-malu dan membuat Hans mengerang tertahan untuk tidak menyerang tubuhnya.
***
Suasana sunyi dinaungi langit mendung cerah karena sedari pagi udara terasa sejuk meski tangisan langit tidak turun. Hari kedua mereka langsung mengunjungi pemakaman Herman yang terawat rapi. Sebenarnya kemarin Hans sudah mendahului ke sini tanpa sepengetahuan Arumi. Pria itu tentu saja mengabaikan rasa lelahnya demi mengunjungi makam seseorang yang paling berperan dalam kebahagiaannya.
Sejak dulu, Hans sudah menyayangi Herman Bumiandra, bahkan ia merasa kadar limpahan kasih sayang pria tua itu lebih besar dari ayah kandungnya.
Tangis Arumi seketika pecah memeluk batu nisan yang terukir nama lelaki hebat sepanjang hidupnya. Semua keluh kesahnya ia ceritakan dalam baris kalimat yang meluncur natural dari bibirnya.
"Aku merindukanmu, Ayah. Lihat, cucumu sangat cantik, seperti dugaan Ayah dulu." Arumi merangkul bahu Felice, bocah yang baru memasuki tingkat dasar itu ikut bersedih dan menyentuh batu nisan sang kakek.
"Bunda selalu menceritakan kehebatan kakek. Aku bangga mempunyai kakek sepertimu. Felice sayang kakek," ucapnya tersenyum manis.
Denyut jantung Hans terasa menyakitkan melihat air mata dua wanita kesayangan. Kepalanya menengadah menatap langit yang semakin gelap. Uraian rasa sesak ia keluarkan perlahan dalam rongga dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ever After 'JuVe'
Short StoryHanya berisi cerita manis penuh gairah setelah melewati badai kelam hubungan couple planet di story Atonement. "Tak peduli usia yang kita tapaki semakin menua hingga membuatmu mengeriput cantik. Cintaku tetap berkobar panas meski bara apinya tak s...