(29)

3.3K 344 72
                                    

"Kapan aku bilang kalau aku akan ngelakuin itu?" Juna maju beberapa langkah memegang erat kedua bahu gue, kalimatnya terdengar sama tapi nada bicara jauh lebih lembut, Juna bahkan mengusap kepala gue pelan sekarang.

"Maksud kamu apa?" Gue menurunkan tangan Juna dan mundur beberapa langkah menatap Juna nanar, bukan ini yang kita sepakati di awal.

"Kamu tahu maksud aku apa."

"Nggak, aku nggak tahu, kamu yang bilang kalau kamu cuma mau bantuin aku, kamu yang bilang kalau kamu cuma mau Mama bisa tenang, kamu yang bilang kalau kamu nggak punya perasaan apapun sama aku tapi kenapa sekarang kamu ngomong kaya gini?" Gue nggak paham dan nggak bisa ngerti.

Alasan gue menikah dengan Juna sangat jelas, itu karena Mama mau melihat gue menikah dan yakin seandainya meninggalakan gue sendirian, alasan gue bersedia menikah dengan Juna adalah ini jadi perpisahan jelas bukan hal aneh, gue nggak akan mengelak tapi sekarang apa?

"Aku memang ngomong itu semua tapi aku nggak pernah bilang kalau aku akan melepaskan kamu, nggak pernah sekalipun terbesit dalam benak aku untuk ninggalin kamu sendirian." Gue tertawa miris mendengarkan jawaban Juna barusan.

"Terus Dewi gimana? Aku udah cukup ngerasa bersalah karena setuju untuk menikah dan sekarang kamu mau aku nanggung rasa bersalah itu lebih lama? Jangan gila." Gue bahkan nggak bisa membuka mulut dihadapan Dewi karena penuh dengan rasa bersalah.

"Aku juga ngerasain hal yang sama bahkan lebih, aku harus mengecewakan perempuan yang aku cintai tapi apapun pilihan aku sekarang, Dewi terlanjur kecewa, rasa bersalah aku juga sebesar itu." Sambung Juna nggak mau menjelaskan, perasaan gue mulai tersentak mendengarkan Juna bicara.

"Makanya karena kita berdua bersalah kenapa nggak kita urus semuanya segera? Kita perbaiki keadaannya, kita pisah dan kamu cukup membahagiakan Dewi." Bukankah beban Juna akan berkurang kalau kita mempercepat prosesnya?

"Kenapa gampang banget untuk kamu ngomong pisah? Apa kamu nggak pernah mikirin perasaan aku? Kenapa bisa kamu setega ini Kirana?" Tanya Juna berkaca-kaca.

"Apa kamu pikir menikahi kamu hanya sekedar akad di depan penghulu dan dihadapan Mama? Apa kamu pikir karena Mama udah nggak ada, tanggung jawab aku akan hilang cuma dengan mengajukan perceraian kita berdua?"

"Aku menggenggam tangan Mama erat saat berjanji akan menjaga kamu, untuk seumur hidup aku jadi gimana bisa aku melepaskan kamu gitu aja? Gimana bisa Kirana?"

"Aku tahu kamu terbebani dengan pernikahan kita, aku tahu kamu dihantui rasa bersalah dengan Dewi, aku juga tahu gimana menderitanya kamu untuk bisa melepaskan Mas Zian, terpuruknya kamu kehilangan Mama, aku tahu semuanya."

"Karena aku tahu, aku paham makanya aku membiarkan semua sikap kamu, aku terima semua perlakuan kamu tapi egois juga harus ada batasnya Kirana, apa pernah kamu mikirin posisi aku? Apa pernah kamu memikirkan perasaan aku? Kalau ada, kamu nggak akan bersikap sejauh ini."

"Apapun alasannya, aku udah mengecewakan Dewi jadi tolong jangan membuat aku hidup dalam bersalah terhadap almarhumah Mama cuma karena melepaskan tanggung jawab aku atas diri kamu, tolong." Dan Juna pergi gitu aja, Juna meninggalkan rumah dan menutup pintu cukup kasar.

Sepeninggalan Juna, kaki gue yang awal berdiri tegak mendadak terasa lemas tak berdaya, gue terduduk di lantai sembari mulai memikirkan semua ucapan Juna barusan, apa gue memang seegois itu? Apa gue cuma mementingkan diri aku sendiri?

Gue terus membahas masalah perpisaha karena gue pikir, alasan Juna terbebani kaya sekarang adalah karena menikahi gue jadi masalahnya akan selesai cuma dengan jalan perpisahan, gue nggak mau Juna berada di posisi sulit lebih lama, ini yang gue pikirkan.

Tapi apa yang Juna omongin barusan juga nggak salah, kalau mengingat semua hal yang udah Juna korbankan hanya untuk menikahi gue, nggak adil rasanya kalau gue bersikap acuh dengan Juna sekarang, gimanapun dia suami gue, dia pasti merasa bertanggungjawab tapi yang gue pikirkan cuma perpisahan bukannya ikut memikirkan tanggungjawab gue sebagai istri itu apa.

Dimana gue, Juna masih seorang adik, walaupun sudah menikah tapi gue masih melihat Juna sebagai laki-laki yang jauh lebih muda dan nggak cocok sama gue sampai gue lupa, kedewasaan seseorang nggak di ukur dari umurnya tapi dari sikapnya.

Sikap Juna yang bisa memaklumi semua keegoisan gue harusnya bisa menjadi tolak ukur bagaimana dewasanya sikap Juna sekarang tapi balik lagi, ternyata gue yang terlalu egois sampai-sampai cuma bisa memikirkan perpisahan sebagai solusi, gue cuma ingin lepas dari rasa bersalah terhadap Dewi tapi nggak memikirkan rasa bersalah Juna dihadapan Mama.

Gue mungkin terluka tapi apa Juna nggak terluka? Apa Juna baik-baik aja? Ini pertanyaan.

.

Jam udah menunjukan pukul sepuluh malam saat mobil Juna memasuki perkarangan rumah, awalnya gue pikir Juna akan pulang ke rumah orang tuanya untuk menghindari gue setelah kejadian tapi tapi ternyata gue salah, lagi-lagi gue di tampar oleh pemikiran gue sendiri, Juna nggak sejahat itu.

"Kamu belum tidur?" Gue menggeleng cepat untuk pertanyaan Juna, ini adalah kalimat yang mulai biasa gued engarkan setiap kali gue membuka pintu rumah, tanpa sadar gue mulai terbiasa menyambut kedatangan Juna.

"Aku nungguin kamu pulang." Gue tersenyum canggung sembari begeser dari ambang pintu, Juna sendiri ikut melayangkan tatapan kebingungan memperhatikan gerak gerik gue sekarang.

"Hmmm aku udah pulangkan? Yaudah kamu bisa istirahat, lain kali nggak perlu nunggu aku." Juna terlihat ikut memaksakan senyuman dan seakan sadar dengan suasana canggung kita berdua, wajar aja sih mengingat bagaimana kita berdua berdebat tadi.

Merasa nggak ada yang perlu dibahas, Juna berjalan lebih dulu menaiki tangga meninggalkan gue, melihat punggung Juna yang semakin menjauh, gue rasa, Juna masih marah tapi berusaha ditahan demi gue.

"Kalau kamu nggak mau aku nunggu, kabari aku kalau misalnya mau pulang telat, aku khawatir." Gumam gue nggak yakin tapi berhasil membuat Juna menghentikan langkah dan berbalik menatap gue lagi.

"Kamu kenapa? Aku punya salah lain?" Tanya Juna yang lagi-lagi gue balas dengan gelengan, aku yang salah, bukan Juna.

"Aku minta maaf kalau sikap aku selama ini sangat egois, aku yang terlalu mementingkan perasaan aku sendiri dan mengabaikan perasaan kamu." Gue maju dan berjalan mendekat ke sisi Juna berdiri sekarang.

"Kalau kamu bersikap kaya gini karena ucapan aku tadi, aku yang minta maaf, aku yang terlalu kasar sama kamu, aku cuma nggak mau kamu terus ngomong masalah pisah, aku_"

"Aku nggak akan ngomong kaya gitu lagi, kamu udah berusaha melakukan semua yang terbaik untuk memenuhi tanggungjawab kamu sebagai suami."

"Aku juga akan belajar."

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang