30. Give Love

2K 209 10
                                    

Wajah Hanbin kusut bukan main, beberapa kali dapat senggolan pelan di lengan dari Lalisa yang memintanya untuk sedikit menarik senyum. Hanbin jadi berdecak malas di ikuti helaan nafas panjang berulang kali.

"Hei, ponakan..." Hanbin tidak sama sekali memandang si pemanggil alasan kenapa dirinya kesal daritadi, menyibukkan diri dengan memotong kecil-kecil wortel yang sudah berbentuk dadu kecil dengan ujung sendok. "Ku kira kau orang yang rasional soal masa depan mu sendiri? Ternyata salah ya."

Kalimat sinis itu Hanbin telan telak, mood baiknya hancur diganti dengan perasaan gondok luar biasa. Suasana canggung meja makan mencekik dirinya untuk tidak lari dan demi Tuhan, Hanbin benci orang itu duduk disana.

"Memangnya kenapa?"

Hanbin bertanya dengan alis tertekuk, nada suaranya tetap tenang namun menekan, meski terdengar sangat tidak sopan tapi Ia tau betul karakter perempuan tua itu "Jennie Kim bukan gadis gila harta, lagipula." sambungnya berusaha membela.

Perempuan tua itu Kim Eun-Kyung —adik dari ayahnya, tersenyum mencemo'oh saat dengar pembelaan Hanbin. Kadang, alasan itulah yang buat dirinya apatis pada keluarga besar Kim, Ibu Lalisa ini adalah salah satu contohnya.

"Kau harus belajar menjadi seperti Lalisa," Hanbin melirik gadis itu yang kini menunduk, tidak menyuap nasi di piringnya pertanda kalau dia tidak nafsu "Mencari pasangan yang sederajat dengan keluarga kita."

Hanbin tau kemana arah pembicaraan ini, dadanya panas akan sesuatu, bibirnya sudah siap melontarkan kata-kata kotor jika saja dia tidak ingat kalau disana ada ayah juga ibunya. Secara tidak langsung, Eun-Kyung menghina Jennie 'kan?

"Memangnya apa yang kau harapkan dari Jennie Kim? Di buatkan kopi setiap pagi?"

Oke, Hanbin menyesali keputusannya mengatakan ingin serius dengan Jennie jika akhirnya malah gadis itu yang di kata-katai begini.

"Ibu..." Lalisa memelas, berharap Ibunya segera menghentikan omong kosong ini.

"Kadang, apa yang terlihat tidak sesuai kenyataan, Bibi."

Nada bicara Hanbin tetap menekan, sebuah senyum simpul terlukis, peduli setan dengan delikan ayah dan ibunya, dia benar-benar panas sekarang.

"Kau berkata begitu seakan kau tau segalanya tentang latar belakang Jennie Kim?"

Hanbin kembali bungkam, pandang ayahnya yang diam tak terusik menikmati makanan, ibu yang tersenyum entah apa alasannya, dan Lalisa yang menghela nafas panjang terhitung ke-53 kalinya saat ini. Pandang satu persatu orang selain Eun-Kyung untuk dapat bantuan.

"Bermodalkan cinta, hidup tak akan cukup. Kembali pada realita, kau di lahirkan di garis keturunan keluarga Kim. Dan kakak ku hanya punya satu anak tunggal, yaitu kamu yang menjadi harapan setiap orang," Eun-Kyung menjeda kalimatnya saat dapat tatapan tajam dari Hanbin, entah segan untuk melanjutkan atau malah makin tertantang "Dan aku hanya tidak ingin, di keturunan Kim ada satu anak yang cacat."

"Kuno," lirih Lalisa menumpu kepala di lengan, enggan beranjak pergi dari hadapan setiap orang yang punya pendapatnya masing-masing duduk di bangku meja ini.

Hanbin muak, sampai pada di titik marahnya berada. Dia berdiri, pamit untuk masuk lebih dulu ke kamar meninggalkan semuanya dengan tatapan benci. Mengalah bukan berarti kalah, kan?

•❄•

Kondisi gelap mendominasi, suhu AC yang di nyalakan dengan temperatur tinggi tidak mengusik si pemilik kamar,  earphone yang menyumpal telinga jadi pemanis pelarian dirinya malam ini.

Hanbin duduk dijendela kamar dengan gorden yang Ia biarkan terbuka, melukiskan indah langit malam Korea Selatan yang di hiasi tiga bintang dalam manik hitam miliknya yang menginginkan sebuah keinginan besar. Sudah lama sejak dia merasakan perasaan ini, perasaan yang entah bagaimana ceritanya tidak bisa di deskripsikan.

If You | Jenbin [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang