Fake Friend

2.6K 170 11
                                    

Dengan menutup wajahnya, Rindu berlari pulang setelah meraih tas. Sejak itu ia sungkan keluar rumah. Trauma mendera. Berita tentang ia dilabrak istri orang rupanya viral hingga ke FB sebab banyak yang merekam saat kejadian dan membagikan ke FB, membuat Rindu menonaktifkan FB hingga tiga bulan lamanya. Setelah berhasil bangkit dengan tertatih-tatih, Rindu aktif kembali di FB. Ia memposting status berisi klarifikasi atas berita yang pernah dialaminya. Banyak yang memberi suntikan semangat tapi tak sedikit pula yang mencaci. Namun, Rindu tak peduli lagi dengan mulut haters. Dagunya terangkat tinggi seiring langkahnya tegap meniti hari, menyulam kembali mimpi yang terkoyak. Ia mulai mencari pekerjaan lagi. Sembari menunggu panggilan kerja dari puluhan email yang ia kirim ke pelbagai perusahaan, Rindu juga mencari pekerjaan yang butuh editor freelance baik itu dikerjakan di rumah atau di kantor untuk menambal sakunya yang telah lama berlubang. Namun melangkah dengan nama yang telah ternoda, itu tak mudah. Penerbit-penerbit indie menolak tawarannya untuk bergabung.

Rindu direkrut Blue melalui tangan Tenia. Bertemu di sebuah grup literasi di FB sebagai member yang sama-sama aktif mengirim karya, kerap saling tebar like dan komentar, dilanjut saling berbincang tentang dunia literasi melalui jalur pribadi, membuat keduanya yang sama-sama bernapas di langit Jakarta cepat akrab. Tunas persahabatan di antara keduanya tumbuh setelah kopi darat pertama yang diadakan grup literasi tempat mereka bernaung. Rindu yang sedang mencari pekerjaan dibantu Tenia yang mengajukan namanya ke Bu Marla. Melihat reputasi Rindu selama menjadi editor freelance tak pernah mengecewakan, melalui email Bu Marla menyuruh Rindu datang ke kantor Blue untuk mengikuti serangkaian test.

“Kau tahu apa saja persyaratan menjadi editor?” Pertanyaan pertama yang diajukan Bu Marla saat sesi interview.

“Bisa menulis, hobi membaca, harus teliti, memiliki kesabaran yang ekstra, menguasai penggunaan ejaan dan tata bahasa yang baik dan benar, menguasai bahasa asing, itu beberapa di antaranya, Bu.”

Bu Marla manggut-manggut. “Sudah memiliki berapa buku?”

“Baru lima buku berisi prosa kontemporer dan tiga antologi cerpen.”

“Kalau novel?”

“Belum, Bu. Menulis panjang merangkai kata demi kata menjadi sebuah cerita utuh dalam bentuk novel adalah kesulitan yang kualami."

“Tapi bisa mengedit naskah novel?”

“Selama ini aku memang selalu kebagian mengedit naskah untuk novel, Bu.”

“Sudah berapa novel yang kau edit?”

“Selusin novel solo dan juga puluhan antologi.”

“Editor tetap atau freelance?”

Freelance.”

“Di rumah atau kantor?”

“Rumah, Bu.”

“Belum pernah di kantor?”

Rindu menggeleng tersenyum. “Belum, Bu.”

Bu Marla berdehem sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Apa saja tugas seorang editor?”

“Di antaranya memperbaiki bobot dan isi tulisan, tapi mesti berkomunikasi dengan penulisnya. Menyunting naskah tapi tidak mengubah tata tulisan dari penulis, mengoreksi ejaan dan tata bahasa, sebelum memerintahkan ke penulis untuk merevisi naskahnya. Selain itu editor juga mesti mengisi plot hole yang kerap terjadi pada banyak naskah. Editor juga harus jeli melihat selera pasar, jadi naskah yang isinya sedang nge-trend mesti didahulukan diedit.”

“Selain itu seorang editor juga mesti pandai memahami gaya penulisan sang penulis dalam menyampaikan pesan pada naskahnya,” sambung Bu Marla. “Jadi jangan memaksa menyamakan dengan gaya sang editor.”

Love You Hater Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang