lembut dan dingin, tapi bukan es krim

3 0 0
                                    

Prolog

___

Jatuh cinta. Ah, kata yang begitu manis sampai membuat siapa pun rasanya rela mati demi nama cinta. Begitu bukan? Tidak-tidak, Angin belum mau mati demi Bara. Setidaknya sebelum mendapatkan cinta lelaki itu.

Kaki kecilnya terus melangkah, berjalan di belakang tubuh tinggi menjulang yang enggan mengalah, hanya untuk sekadar memelankan langkah kakinya. Angin lelah mengejar, lelah berlari, tetapi bukannya orang yang dia kejar berhenti menunggu, malah ikutan berlari. Sampai kapan, akhirnya dia akan menuju garis finish? Rasanya mustahil.

"Bara, tunggu!" pekiknya ketika tertinggal lebih jauh, tali sepatu Angin lepas di saat yang tidak tepat. Lelaki itu bukannya berhenti, bahkan menoleh pun tidak.

Lagi-lagi Angin mengalah, mempercepat tangannya menalikan sepatu abu kesayangan. Segera berlari menembus puluhan orang yang bergerombol, tumpah ruah di jalanan berjajakan berbagai macam dagangan ini. Matanya mencari-cari sosok yang dia dikenal, berputar-putar mengelilingi pasar. Kali saja Bara sedang membeli sesuatu di salah satu toko.

Nihil. Sejauh dan seliar apa pun matanya memelototi orang-orang yang berlalu lalang, tidak ada lelaki yang dicarinya di sana. Kaki Angin lemas, dia terduduk di tempat kosong yang berimpitan dengan pedagang ikan pinang dan daging ayam. Bau? Angin tidak peduli, dia terlalu capek memikirkan sekitarnya. Lelah mencari Bara yang juga tidak menemukan titik temu.

Apakah pernah terlintas dalam pikiran Bara, bagaimana kalau dia hilang? Tidak lagi ada, mengganggu hidup lelaki itu. Akankah Bara senang atau bersedih? Angin ingin tahu, tetapi dia tidak akan mampu melakukan itu. Jauh-jauh dari Bara itu mustahil, meski bisa semesta seolah mempertemukannya untuk selalu bersama. Selalu bersama dengan cinta yang berluka.

"Kakak cantik lagi apa? Mau lolipop?" Pertanyaan itu membuat Angin mendongak, melihat siapa yang bertanya. Ternyata seorang anak kecil dengan kaos Ultraman biru tersenyum ceria ke arahnya, sambil tak lupa menyodorkan sebuah lolipop yang sudah digigitnya.

Angin tidak jijik melihat itu, juga deretan ompong anak lelaki tersebut. Senyum tulus anak kecil itu kembali mengembalikan senyumnya. "Terima kasih, Malaikat Kecil!" sahutnya tersenyum lebar, disertai tawa kecil di akhirnya.

Bocah itu tersenyum lebar, mengangguk-ngangguk sebelum pergi entah ke mana. Manusia baik, selalu ada, Angin percaya itu. Senyumnya tiba-tiba luntur begitu bunyi getar dari sakunya itu mengalihkan perhatian gadis itu.

Gue udah di rumah.

Satu kalimat. Hanya satu kalimat itu mampu membuat lolipop manis, berwarna pelangi itu seakan pahit nan kelabu.

Mungkin sekarang Angin tahu jawabannya. Tidak apa hidup Bara tanpa dirinya, karena bagi lelaki itu Angin tidak lebih dari seorang pengganggu.

Gadis itu bangkit tidak lama dari sana, berjalan pulang. Bisa jadi Bara menunggu kedatangannya di rumah. Ah, baru saja dia pesimis, tersadar dari segala kebodohannya. Sekarang dengan bodohnya lagi dia menebar benih-benih harapan.

—Anginyari & Tabara

___

Alo, Semua!

Setelah hampir sekian abad enggak lagi nulis di akun ini. Aku kembali dengan cerita romance yang sedikit hurt-hurt gitu, hehe. Ditunggu lanjutannya yaa! See u, Blue 💙

Sembilu Yang MembekuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang