Hara tertawa. Mau tak mau, dia tetap mengemasi meja.
"Mau ngopi dulu, Prof?" Hara menawarkan.
"No. Noo ... silakan, Anak Muda. Saya lebih suka teh hangat buatan nyonya."
Hara mencebik di tengah tawa Prof Edu.
"Makanyaa ... nikah. Setidaknya kamu akan punya alasan untuk segera pulang."
"Tenang, Prof. As soon as possible." Hara menautkan telunjuk dan ibu jarinya sambil tersenyum lebar.
"Hmm. Lagi-lagi saya merana. Tidak ada di antara dua anak lelakiku yang kamu pilih." Prof Edu pura-pura sedih.
"Prof, mereka yang nggak mau sama saya. Buktinya, istri mereka cantik-cantik. Cucu Prof juga keren-keren." Hara mengedipkan mata.
Tentu saja mereka tidak mau dengan Hara. Anak terkecil Prof Edu usianya tiga belas tahun lebih tua dari Hara. Mereka melihat Hara dari masih sangat bocah.
Tak hanya itu. Hara sudah melabuhkan hati pada Abim. Teman kecilnya yang sekaligus anak teman ibunya. Hubungan mereka sepertinya akan sangat lancar sampai pernikahan, karena bulan depan mereka juga sudah memutuskan akan bertunangan.
"Jadi pulang, Prof?"
Hara selesai mengemasi barang. Dia hanya menenteng satu tas berisi berkas-berkas dan tas ransel kecil berisi laptop.
Prof Edu mengangguk dan mengikuti Hara keluar dari ruangan. Mereka menuju tempat parkir, di mana hanya tersisa dua mobil. Satu city car produksi Jepang punya Hara, dan satu lagi SUV keluaran pabrik yang sama milik Prof Edu.
"Jangan lupa ... gaul!" Telunjuk Prof Edu menuding.
"Beres." Hara mengacungkan jempol sebelum masuk ke mobil.
Mobil menggereng pelan saat Hara menghidupkan mesin. Dia membunyikan klakson sekali sebagai tanda akan berjalan lebih dulu.
Seratus meter, dia baru mencapai gerbang.
"Pulang, Bu Hara?" sapa seorang satpam yang berjaga di pos depan. Hara sebenarnya tidak suka panggilan itu, tapi sekeras apa dia minta ganti panggilan, tetap saja semua menyapanya begitu.
Gadis itu membalas melambai lewat jendela yang terbuka. Dia lalu menutup lagi saat membelok ke jalan raya. Padat, tapi masih bisa berjalan dengan pelan. Alunan musik dari audio-nya mengalun rancak.
"Wow!" Hara berseru kaget. Benar saja. Satu kilometer dari kantor SEIN, kemacetan mulai terasa.
Lagu Chiisana Mahou dari Stereopony yang tadi sempat menghiburnya, kini tak lagi menarik.
"Izh. Selalu!" Hara memukul setirnya.Stuck. Tiga menit, Hara bisa menjejak gas. Berhenti lagi. Lima menit, berhenti total.
"Tik tok tik tok tik tok!" Kepala Hara telungkup di kedua tangan yang berada di atas setir. Mulutnya menirukan suara jam berdetak.
"Astaga. Macet sih macet, tapi nggak biasanya separah ini, deh." Hara masih merutuk sendiri.
Matanya membulat saat melihat baliho sebuah kafe, sepuluh meter di depan. Setelah memasang sein ke kiri, dia mulai mengarahkan kemudi. Menyetir di kemacetan seperti ini bakal menguras tenaga.
Dia hampir bersorak kegirangan saat juru parkir melambaikan tongkatnya memberi tahu tempat kosong. Hara masuk dengan mulus. Setelah mengganti sepatunya dengan yang flat, Hara turun.
Kafe itu ramai. Sangat ramai. Hara yakin, mereka juga sama dengannya, malas terjebak macet. Kepalanya berputar mencari tempat kosong yang terlihat mustahil.
"Selamat sore, Kak. Betul dengan Keenan Sahara?" sapa seorang waitres.
Hara kaget.
"Eh, betul."
"Tadi ada pesanan tempat, tapi dibatalkan. Tempat yang dipesan katanya akan dipakai Kakak," jelas gadis yang sepertinya seumur Hara itu.
"Siapa nama yang membatalkan?"
"Tak menyebut nama, Kak. Bagaimana ... mau diambil?"
Hara menatap lagi ke sekeliling. Tak akan mungkin mendapat tempat yang nyaman saat ini.
"Ok." Hara mengangguk cepat.
"Satu meja untuk dua orang di rooftop. Mari, Kak."
Hara mengikuti gadis itu, naik lewat tangga besar di sudut kiri kafe, setelah sebelumnya melapor ke bagian penerimaan.
Satu meja dengan lilin aroma yang sudah menyala menunggunya. Seorang waitres lain menyambut dengan segelas cokelat panas dan banana cake bertabur keju. Hara tersenyum.
Hanya satu orang yang terpikir olehnya. Profesor Eduardo Gunawan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost in Terra
Science FictionKeenan Sahara (Hara) adalah satu dari sekian orang yang percaya kalau manusia tak sendirian di luasnya alam semesta ini. Ilmuwan muda yang menyelesaikan S3 dan pernah bekerja di Kyoto, Jepang itu gigih melakukan penelitian tentang komunikasi semesta...