01. Jalan Hidup Itu Rahasia Tuhan

0 0 0
                                    

Bagai pasir dibawa ombak, aku tertarik begitu saja. Tidak bisa melawan, apalagi menolak.

___

Aku tahu ini adalah awal hari di mana tahun baru bagi segala umat telah berganti. Semua orang menampakkan senyuman lebar, namun kurasa tidak untukku.  Aku rasa semuanya sama saja. Bergantinya hari, minggu, bulan bahkan tahun pun tak akan mengubah apapun. Aku akan tetap seperti ini, tetap dikucilkan dan berdiri sendirian di tengah keramaian kota.

Seharusnya aku sadar untuk apa aku berada di sini, di keramaian yang selalu membuatku merasa iri sekaligus sedih. Sungguh, seperti apakah rasanya punya teman itu. Apakah menyenangkan?

Aku hanya bisa tersenyum miris, lalu menatapi langit malam yang dihiasi kembang api. Bagi orang menatap kembang api adalah suatu kebahagian, tapi tidak untukku. Kembang api dan hidupku berkaitan. Semuanya berawal dari kembang api.

Dulu, dulu sangat, saat aku masih berada di dalam rahim Ibu, Kakek pernah bercerita jika aku yang saat itu masih berupa janin sempat ingin diaborsi oleh Ibu karena aku adalah hasil dari yang tak pernah diinginkan semua pihak keluarga -- minus Kakek yang selalu mempertahankan aku di dalam rahim Ibu dengan segenap jiwanya. Sekali lagi aku tersadar, berapa kali pun aku ingin hidup aman, masa laluku kembali datang dan mulai menghantui kehidupanku.

Bertepatan bergantinya tahun, Ayah memilih untuk bunuh diri karena tak sanggup membiayai aku dan Ibu. Lalu di susul kematian Ibu di tahun berikutnya, dan itu bertepatan juga saat kembang api dinyalakan. Lalu selang beberapa tahun berikutnya, Kakek menyusul Ibu dan Ayah. Kakek didapatkan meninggal tragis dengan tubuh penuh tembakan. Dan hal itu juga bertepatan dengan tahun baru serta pekikan nyaring kembang api.

Aku truma, aku yang saat itu masih kecil hanya bisa menangis. Aku menyalahkan Tuhan. Aku merasa Tuhan tak adill. Tuhan mengambil apa yang aku miliki. Dan semua kesedihanku tak berhenti di situ saja. Di tahun ke tujuh aku hidup, Nenek dan Tante meninggal karena kecelakaan. Aku makin mengadu pada Tuhan, meneriaki kata tak adil setiap detiknya dengan tangis yang tak pernah surut.

Hidupku kacau. Ya, saat itu aku tumbuh sendiri. Tak ada yang menjagaku atau pun menemaniku. Aku belajar mandiri walau aku sering mengeluh. Lalu aku diajarkan oleh seseorang untuk bersyukur. Bersyukur karena aku masih bisa melihat, bernapas, berjalan, memegang, merasa apa itu berbagai rasa, dan mempunyai tempat berteduh. Dan sampai saat ini teori itu masih kuingat. Ajaran itu bak mutiara di hidupku. Aku akan menyimpannya dengan baik.

Walau tak pernah merasa itu arti kebersamaan, atau seperti apa hangatnya pelukan seorang Ibu, aku tak pernah membenci mereka. Aku menyayangi mereka walau mereka mengabaikanku. Aku tetap sayang mereka walaupun mereka tak pernah menoleh ke arahku barangkali beberapa detik saja.

Ledakan kembang api mulai terdengar lagi. Dulu aku selalu saja menutup telinga jika ada yang menyatakan kembang api, dan itu berlangsung sampai aku berumur tujuh belas tahun. Trauma di masa laluku mengusik ketenangan hidupku sampai saat ini. Aku tak bisa bebas. Aku tak bisa merasakan apa itu hidup. Yang kutau, hidupku hanya tentang lingkaran kelam dan dingin. Tapi setidaknya sekarang aku tak perlu lagi seperti itu. Aku sudah bisa menikmati ledakan kembang api walaupun dengan hati gundah sedih.

Ketahuilah, aku tak pandai bergaul, aku selalu merasa minder. Bahkan aku sempat merasa down saat mereka semua (para murid saat sekolah) tau jika aku adalah anak haram. Mereka mengejekku, menghinaku, dan membenciku. Sampai akhirnya aku berada dititik terendah kehidupan, aku sering menangisi jalan hidupku yang tak pernah seperti anak-anak lainnya. Hidupku hina dan kotor, sedangkan mereka indah dan selalu disenangi. Aku berbeda karena orang tuaku. Aku ingin menyalahkan mereka, ingin meminta Ibu untuk tak melahirkan aku saja, tapi aku tak bisa. Kembali lagi, ini semua jalan Tuhan. Aku hanya bisa pasrah, aku lelah berjuang jika pada akhirnya selalu sama. Aku tak akan pernah bisa berada di sisi mereka. Dan itulah pemikiranku saat kecil dan mungkin sama sampai detik ini.

Teriakan terdengar lagi, lalu disusul ledakan kembang api. Di sekitarku mereka semua tertawa bahgia. Mungkinkah jika aku salah satu dari mereka, aku bisa tertawa bebas seperti itu? Lalu saling merangkul kala salah satu dari mereka mencondongkan kamera ke atas, lalu memotret kebersamaan mereka hingga pada akhirnya menjadi kenangan abadi saat muda.

Dan entah berapa lama aku terdiam dengan posisi dan pemikiran seperti ini, hingga akhirnya semua orang mulai bubar. Meninggalkan aku yang masih berdiri sambil menatap langit.

Mama, Papa, aku kangen. Kakek, aku ingin ikut, bisakah? Apakah aku di sana bisa diterima Mama? Di sini... semuanya masih sama, aku tetap sendirian. Kakek... izinkan aku buat ikut ke sana, secepatnya.

Aku makin menengadah ke atas, menatap langit malam yang masih bertaburan bintang-bintang. Rasanya aku mulai rapuh lagi, aku tak sanggup lagi. Dan pada akhirnya aku terduduk lemas di atas rerumputan. Menutup wajah menggunakan kedua tangan, menyamarkan suara isakku sendiri.

Tuhan, jemput aku. Aku lelah...

Aku kira aku sudah kuat, bisa melupakan semua kenangan yang tidak enak saat kecil itu. Namun rupanya aku keliru, lagi dan lagi aku terjatuh. Menyesali kehadiranku sendiri yang membuat Ayah, Ibu serta sanak saudara yang lainnya menderita serta menanggung malu.

Tuhan, untuk apa aku dihadirkan jika hanya membuat mereka semua membenciku. Aku yang tak tau apa-apa ini harus menanggung semua beban hidup. Tak ada penompang atau teman berbagi rasa.

Aku sendirian.

Aku tak bisa berfikir rasional, aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri. Andai... andai aku tak dilahirkan, akankah Ibu dan Ayah masih hidup? Akankah Kakek masih bisa menceritakan segala dogengnya kepada cucu yang lainnya?  Akankah Nenek tak merasa sakit hati? Akankah...

Terlalu banyak akankah dalam hidupku, tapi semuanya tak bisa dirubah. Aku dan kehidupanku sudah jadi takdir.

"Hei, are you okay?"

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendengar pertanyaan itu. Tanpa sadar aku makin terisak. Aku tak tau apa yang terjadi, rasanya terlalu aneh. Aku juga tak tau apakah yang kudengar tadi hanya ilusi atau semacamnya. Aku makin merunduk, bagaimana yang tadi itu cuman pertanyaan sepintas. Ternyata orang tak akan pernah perduli padaku. Mau tau atau pun tidak akan masa kelamku, pada nyatanya aku tetap sendiri. Menanggung sedih hati sampai aku bisa menguasi diri untuk tegar sebelum rapuh menyerang kembali.

"Kakek, Ara tak kuat lagi. Ara... Ara ingin ikut Kakek! Ara takut. Kakek, Ara menyerah, Ara pasrah. Ara sudah tak kuat lagi. Ara ingin bersama Kakek, Ara ingin jadi gadis kecil lagi. Ara ingin bersama Kakek. Ara... ingin bersama Kakek."

Tangisanku makin mengeras, tak perduli jika orang menatapku gila.

"Hei, kau butuh pertolongan? Astaga, ada apa denganmu?"

Aku terdiam, isakanku masih tak berhenti. Beberapa kali aku cegukan. Lalu dengan pelan mengangkat wajah.

Aku terpaku. Jarum detik terasa terhenti. Jantungku bertalu cepat.

"Kau menangis, kenapa? Apa ada yang mengganggumu?"

Mulutku tertutup rapat. Aku seolah terbius oleh pria di depanku. Aku mengerjap pelan, merasa berada di situasi canggung.

Aku mendongak saat pria di depanku berdiri. Dan hal yang tak pernah kurasakan terjadi. Pria itu mengulurkan tangan kanannya ke hadapanku.

Aku mematung.

"Sepertinya kau adalah orang yang sama. Orang yang selalu terduduk seperi ini di saat acara ledakan kembang api selesai."

Semuanya makin aneh. Aku menatap pria itu dengan wajah basah, hidung memerah, serta kedua mataku yang terasa sembab.

"Ikut aku, kau sepertinya butuh hiburan."














Tbc....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In a dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang