Hari ini, aku pulang dengan sepeda motor bututku yang sudah membawaku ke banyak tempat, tapi kau tidak menyambutku dengan senyum dan kerut di wajahmu.
Aku berhenti agak jauh dari rumahmu dan melepas helm yang membuat kepalaku terasa sangat berat tidak seperti biasanya. Dijalan kecil itu tampak mobil ambulance yang parkir dengan bendera putih, dan banyak orang yang wajahnya dimendungi duka.
Aku tak ingin singgah dan masuk, dengan egoku, aku ingin kau yang menghampiriku kesini dengan langkah kakimu yang pelan seperti biasanya.
Aku memandang kosong ke arah kerumuman orang yang memenuhi pekarangan rumahmu. Sampai, seseorang menepuk pundakku dan mengeratkan tangannya ke pundakku dengan mata yang mencoba memberiku kekuatan.
Aku terjatuh dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya. Ingin protes pada pemegang kehidupan yang tidak memberiku waktu sedikit saja untuk menggenggam tanganmu yang hangat, untuk melihat matamu yang terbuka, dan senyum yang selalu kau perlihatkan walau tubuhmu sedang sakit.
Seketika penglihatanku gelap, kepalaku terasa sangat berat dan semua menghilang.
Saat aku bangun, aku sudah berada di dalam sebuah ruangan yang menjadi saksi bisu dimana kau yang sudah tua berjuang begitu keras melawan penyakitmu. Terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan suara-suara lainnya.
Aku keluar, dan mendapatkan sesosok raga yang terbujur kaku ditutupi kain putih panjang, disampingnya berjajar beberapa orang yang membaca surah Yaasin.
Aku kembali terduduk dan menangis memandangi sosok yang tertutup kain itu, dan lagi-lagi kakak merangkulku dengan sangat erat. Dia membisikkan banyak kata dan menyuruhku istighfar, tapi yang kulakukan hanya meraung dan terus meraung mengeluarkan segala penyesalanku.
Lama dia memelukku, dan terus membisikkan kata-kata yang hanya terdengar seperti dengungan di telingaku, tangan yang satu mengusap pundakku dan tangan yang satunya lagi mengeratkan kepalaku ke dalam pelukannya.
Saat tangisku mulai mereda, dia melepaskan pelukannya dan memegang wajahku untuk melihat wajahnya.
"Kakek susah sembuh, dia sudah tenang bersama nenek dan adik-adik disana, biarkan dia bahagia dengan kepergiannya, dia sudah lelah bernafas di bumi dengan rasa sakit yang kemarin menghampirinya tanpa henti, jika kau benar-benar sayang padanya, berikan dia doamu." Katanya.
Lalu kakak memelukku lagi dengan erat, aku mendengar ada tangis dalam kata-katanya tadi, dan kini aku yakin dia juga menangis dalam pelukan kami. Kami hanya diam seperti ini sampai beberapa menit terlewat.
Inda menghampiriku, tangannya yang keriput menyentuh tanganku yang menggenggam erat baju kaus kakak, dia juga ikut memelukku, sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kakak. Kami bertiga larut dalam tangis duka.
Kakak keluar untuk mengambil wudhu dan ikut mensholatkan jasad Kakek, setelah sholat dia kembali menghampiriku dan menggendongku ke mobil, di depan mobil kami, terlihat mobil putih dengan alarm yang sudah tidak asing di telingaku sedang membawa jasad kakek. Aku terus meringkuk dalam pelukan kakak.
Sesampainya di pemakaman, kakak melepaskan pelukannya dan menitipkanku pada orang yang duduk di sampingnya tadi. Sementara dia ikut memanggul jenazah kakek.
Dia membantu sampai proses pemakaman berakhir.
Malam hari, kakak membawaku pulang agar dapat beristirahat karena sakit kepalaku yang terus datang. Aku menghabiskan 12 jam untuk tidur, dan saat bangun rasa sakit kepalaku kian menjadi-jadi.
Kurasa tidak lama lagi aku akan kembali merasakan pelukan kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remahan Hati
RandomKata-kata ini lewat begitu saja di kepalaku, tanpa permisi namun meninggalkan jejak Kadang dia sangat manis dan kadang sangat sadis. Jangan berharap partnya terdiri dari banyak kata, karena berharap kepada manusia, apalagi manusia seperti aku adalah...