Part 3

786 112 15
                                    

Jangan lupa klik tombol bintang ☆ sebelum membaca  💖💙

Happy Reading ~


🍃🍃🍃

Matahari saja tak pernah lelah menerangi dunia, mengapa pula aku harus lelah hanya karena banyak yang menanyaiku ini itu tentang aku dan Arman. Puluhan tanya yang terlontar bagai jarum yang satu persatu menancap di ulu hatiku. Jelas saja banyak yang tidak paham dengan hubungan kami. Karena ada beberapa orang dari keluarga Arman yang pernah mendengar cerita cinta kami terdahulu. Dan tentu saja Ali menjadi penengah di tengah keluarganya yang begitu amat penasaran. Pernah aku cerita kalau Arman dan Kania hanya sekedar menikah tanpa resepsi?. Iya. Jadi Kania tidak terlalu di kenal. Maka aku menjawab seadanya, "Tidak berjodoh."

  "Maafin mereka ya, Prill. Kayaknya rasa penasaran mereka sudah membuat kamu tidak nyaman." Ali yang tadi menyelamatkanku dari keluarga besarnya. Jadi aku mengiringi langkah Ali yang menuju ke halaman belakang rumah. Beberapa anak-anak keluarga mereka bermain. Ali menghelaku duduk di sebuah kursi kayu bercat putih yang hanya ada satu-satunya di sini. Tak hanya Ali yang mengalihkan perhatian para keluarga, tapi juga Kania dan si kecil Maila yang seketika menjadi pusat perhatian.

  "Iya, Mas. Aku maklum kok. Aku juga kalau jadi anggota keluarganya Mas Arman pasti bakalan bertanya-tanya."

"Rasanya nggak etis aja karena kamu baru nyampe langsung di recoki. Apalagi Mama. Beliau benar-benar Ibu-ibu kepo. Dulu aku juga pernah cerita kalau kamu pacarnya Arman. Gak tau juga kalau ceritanya kayak gini."

  "Jodoh siapa yang tahu. Bahkan orang yang menikah saja bisa berpisah. Alhamdulillah kalau masih sekedar pacaran, kalau sudah jadi suami istri, itu pasti pelik banget. Eh..kok jadi curhat." Aku kikuk sesaat. Ali yang menyadari itu hanya tertawa kecil.

  "Bener kok. Nggak ada yang salah sama ucapan kamu. Semua udah ada yang ngatur. Yahh..namanya hati, siapa yang tau."

  "Ngomong-ngomong soal pernikahan, bearti besok langsung akad ya?" Aku mengubah topik pembicaraan. Tidak enak juga membahas tentang diriku, Arman dan Kania. Bagaimanapun juga mereka sudah menikah. Kania sudah jadi bagian dari keluarga ini, jadi aku tidak mau Kania nantinya mendengar hal yang tidak enak juga.

  "Iya. Besok pagi jam 9 akad. Acaranya di belakang rumah orangtua Sintia aja. Soalnya Sintia mau di taman aja katanya. Hari minggunya baru resepsi di situ juga."

  "Mbak Sintia cantik banget pasti ya, Mas?."

  "Udah pernah lihat belum?,"

"Belum."

"Mau di lihatin?. Bentar ya." Ali merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel berwarna hitam. Lantas terlihat membuka-buka galeri. Ia menyodorkan ponselnya padaku. Aku terperangah. Benar-benar gambaran seorang Dewi. Berkulit putih, rambut panjang ikal yang di gerai cantik. Foto mereka waktu prawedding di tepi pantai. Baju dress putih berbelahan seksi tanpa lengan, benar-benar membalut tubuh seorang wanita cantik. Ali sendiri memakai kemeja putih berlengan panjang celana pendek. Berlatar matahari terbit.

  "Cantik banget.."

  Obrolan kami berlanjut membahas konsep pernikahan impiannya Sintia. Ali juga bercerita bagaimana ia bisa jatuh cinta bahkan hingga hari bahagia mereka tiba. Aku tersenyum dan banyak ber'wow' ria karena merasa takjub. Kisah cinta yang manis.

                                 ***

  Dalam lajunya detak aku bertanya, permaianan apa yang ada di sekitarku. Dalam detak aku menyapa, hai mengapa kisah cinta harus pilu?
  Detak berikutnya nafas seolah terhimpit. Oksigen sulit di hirup.

Dia yang terduduk lesu di kursi sana hanya mampu ku tatap nanar. Bahkan suara yang semula senyap kini mulai terdengar ricuh. Suara pecahan kaca yang terbanting, suara tangis hingga suara jeritan. Ribuan kata penenang mulai berseliweran, ribuan kata serapahan mulai mengudara.

  Apa yang lebih menyakitkan di hari yang seharusnya menjadi indah kini berubah suram dalam seketika.

  Kania mengampiriku. Air mata terlihat di pipinya. "Prill, titip Maila dulu, ya." Aku mengangguk. Mengambil alih Maila yang cantik di balut gaun bayi yang lucu, berbandana bunga pink.

"Aku harus nemenin Mama ngurus tante Dewi. Kasian banget beliau sampai pingsan gitu, Prilly."

  "Iya, Ka."

  Kania berlalu dari hadapanku. Aku juga beranjak setelah menyeka air mataku menggunakan sebelah tangan, karena ada Maila di tangan kiriku.

  Mengelilingi taman, membawa kakiku melangkah menghiburkan diri. Dekorasi apik bertema hijau dan bunga lily. Meja kursi bersampul tersusun cantik. Beberapa tamu undangan yang datang berbisik-bisik. Ada yang malah terang-terangan ikut menyumpahi sang mempelai wanita yang sekarang keberadaannyapun tidak diketahui.

Ah... Hidup siapa yang bisa menebak? Sang pembolak-balik hati benar-benar punya skenario yang membuat siapapun kadang termangu. Memikirkan kejadian seperti saat ini. Bahkan aku yang orang luar saja rasanya tak mampu ketika menyaksikan wajah Ali yang pias ketika di beritahu bahwa Sintia kabur.





Bersambung.

Dalam Detak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang