Part 2

908 116 13
                                    

Jangan lupa klik tombol bintang ☆ sebelum membaca  💖💙

Happy Reading ~

*
*
*

Seseorang berhak menentukan rasa yang ia miliki di mana akan berlabuh. Tapi seseorang tidak bisa memaksakan untuk mengklaim bahwa yang di cinta harus pula menjadi milik kita. Dulu aku berpikir bahwa cinta tanpa bersatu adalah hal konyol. Mana ada orang bahagia sedangkan yang di cinta tak jadi milik kita. Namun ketika hal itu ku alami sendiri, aku tidak bisa untuk tidak bahagia.

Mustahil aku harus menyumpah serapah di saat orang yang kucinta berbahagia dengan kakakku sendiri. Sebesar apapun cintaku tetap akan kalah, tak akan ku berjuang, biar kusimpan sampai di gerus waktu. Sesakit apapun perasaanku, aku tak boleh egois. Ada tawa Kania dan Maila yang membuatku harus berhenti mencipta sakit-sakit di hati.

Seminggu mungkin masih terlalu sesak tiap hari di suguhkan pemandangan hilir mudik keluarga kecil Kania. Kania yang repot kesana kemari membereskan peralatan tulis menulisnya, menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian dan tas kerja Arman. Karena Kania tidak menggajih pembantu rumah tangga, jadi pekerjaan hampir dia yang handle. Walaupun Kania tidak terlalu pandai di dapur. Kania cukup menggaji seorang baby sitter yang datang di jam tujuh pagi dan pulang ketika Kania sudah kembali dari mengajar. Menurutku itu cukup menunjukkan bahwa Kania dan Arman benar-benar orang yang berumah tangga.

Seminggu tak cukup, seterusnya aku pasti mampu melewati hari berikutnya. Arman bukan lagi kekasihku, tapi dia suami kakakku. Haram bagiku mengharap apalagi sampai berandai yang bukan-bukan.

"Prill, aku duluan ya. Ada yang mau di urus." Kania mengapit tas mengajarnya sambil mencomot sepotong roti. Lantas mencium tangan Arman yang baru tiba di meja makan.

"Prill bantuin Arman masangin dasi ya, Aku beneran buru-buru. Mas, sama Prilly ya. Dah sayang....!"

Belum sempat aku bersuara, Kania sudah berlalu seperti orang di kejar setan. Aku melirik Arman yang menyampirkan dasi yang belum di kenakan di bahu kirinya.

"Mas--"

"Gapapa Prill. Nanti buka tutorial di youtube. Udah biasa kok."

Ucapan Arman benar-benar membuatku termangu. Aku tersenyum getir. Lintasan kala Arman harus menelponku pagi-pagi karena tak pernah bisa memasang dasi. Kalau sudah begitu aku harus jadi orang yang siap siaga. Terdengar remeh, tapi Arman memang menggantungkan urusan dasi dan makan padaku. Karena aku memaksa.

"Kamu gak perlu belajar pasang dasi Mas, selama aku masih bernafas di muka bumi ini, aku akan jadi orang yang memasang dasimu. Oh iya, membuat sarapan, makan siang hingga makan malam. Akan selalu jadi alarm Mas Arman yang suka males makan. Biar aku yang berguna sebagai istri nanti, jadi hal sekecil pasang dasipun kamu harus tergantung sama aku."

Ucapanku dulu benar-benar membuatku makin meringis. Tak mengerti kenapa aku harus mengambil peran cukup, dalam hidup Arman. Seharusnya aku tidak perlu membuat Arman ketergantungan di layani. Kania yang kukenal bukanlah orang yang rajin memasak, juga pengetahuannya di dapur tak lebih dari tumis menumis dan menggoreng.

Berbeda denganku yang sudah terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Waktu Kania sibuk kuliah, aku malah sibuk mengurusi Bapak yang sakit-sakitan. Aku harus putus sekolah karena tersandung biaya pendidikan, karena tabungan bapak hanya cukup membiaya Kania yang sudah terlanjur melanjutkan kuliah. Saat itu aku mengalah, salah satu dari kami harus bisa jadi orang. Lagipula ku pikir untuk masalah kesuksesan tidak harus di ukur dari pendidikan. Mungkin rezekiku ada di mana-mana asalkan aku mau berusaha.

Pagi yang kami lalui penuh dengan kediaman di meja makan. Sarapan berlalu terasa hambar lagi-lagi.
  Ah... Hati... Jangan plin-plan.

🍁

🍁

🍁

Pagi di hari jumat Kania sibuk mempersiapkan perbekalan. Rencananya kami mau menghadiri pernikahan sepupunya Arman. Aku juga pernah di kenalkan oleh Arman pada sepupunya itu. Orangnya ramah, menurutku type lelaki yang menghargai sekali akan kaum wanita. Dari caranya bertutur hingga perilakunya di mataku terlihat manis. Arman bahkan pada perkenalan itu menyenggolku dan memberi peringatan supaya aku tidak pindah hati pada sepupunya itu. Karena ucapan Arman, aku dan sepupunya sampai tertawa geli. Tapi jodoh siapa yang tahu kan?. Ternyata bukan aku yang tergoda, malah Arman yang kukenal tidak akan menghianatiku, berubah haluan setelah pertemuan-pertemuan ketika Kania kembali dari menyelesaikan kuliahnya.

"Maila biar sama aku di belakang, Ka."

"Oke." Kania menyerahkan Maila yang menguap kecil terlihat mengantuk. Aku membawa Maila langsung masuk mobil. Kania mengangkut tas, sedangkan Arman melipat kereta dorong Maila.

"O...cantiknya ponakan tante... Maimai sayang... Duh...kok gemesin sih." Maila selalu menggemaskan, bahkan ketika mau tidur saja ia masih menggeliat lucu. Wajahnya lebih mirip sang Ayah, mata, alis dan bibir. Sedangkan Kania cuma kebagian kulit putih dan hidung bangirnya saja. Pasti mereka merasa luar biasa karena memiliki malaikat kecil ini. Perpaduan dua orang berkarisma dengan pecicilan. Kania memang sering kekanakan, di bandingkan dengan aku, banyak yang mengira kalau Kania adikku. Karena sifat cerewet dan manjanya.

"Prill, kalo kamu penat, Maila sama aku aja." Kania yang baru masuk ke mobil di jok depan menoleh ke arahku. Arman masuk kemudian setelah memasukan semua barang-barang yang di perlukan.

Mobil keluar dari pekarangan, meninggalkan rumah mungil milik Kania dan suami.

Aku memandang Maila yang mulai tertidur, meringkuk manis dalam pangkuanku. "Biar aku aja, Ka. Nggak apa-apa kok."

"Okay."

Setengah jam mobil terasa sunyi. Aku juga tidak tau harus memulai percakapan yang bagaimana. Kania juga terlihat asik mendengarkan musik dari radio. Penyiar radio kesayangan Kania tengah berkoar-koar membacakan puisi kiriman pendengarnya, serta memutar lagu dan membaca beberapa cerita cinta yang membuat Kania senyum-senyum. Ah.. kakakku memang seperti itu.

"Mas, gimana masalah kemaren? Udah selesai?." Kania membuka percakapan setelah acara radio kesayangannya berakhir.

"Alhamdulillah. Kalau yang namanya rezeki nggak akan ke mana. Kemaren ada perusahaan kecil dari Belgia yang menawarkan kain yang di perlukan perusahaan. Orangnya konsisten tidak mudah goyah. Kalau udah ke satu perusahaan, dia nggak akan nawarin ke perusahaan lain lagi walaupun harga yang diberikan agak tinggi dari perusahaan kami." Arman menjawab sambil tetap fokus menyetir. Sedangkan Kania mengangguk-angguk tanda mengerti.

Yang kutahu dulu Arman kerja di perusahaan konveksi terbesar di kota ini bersama empat perusahaan besar lainnya. Namun yang sekarang, mencuri dengar dari percakapan mereka, sepertinya Arman pindah ke cabang perusahaan konveksi yang mengelola Mode. Entahlah, aku juga tidak terlalu paham urusan itu. Dari dulu aku hanya jadi pendengar yang baik, memberi saran ketika Arman bercerita.

Perjalanan panjang kami berakhir ketika mobil Arman memasuki perumahan asri yang agak jauh dari keramaian.
 
Tante Riska yang kukenali pertama kali ketika keluar dari mobil. Mereka menyambut kedatangan kami. Apalagi tante Riska tampak tak sabaran mengambil Maila dari pelukanku, hingga si mungil menggeliat bangun. Ricuh keluarga besar Arman menyambut kami. Kalau Asha, menurut cerita Kania sedang di luar kota. Mungkin pas acara resepsi dia akan hadir.

"Ini nak Prilly, ya? Mantannya Arman, kan?." Wanita paruh baya berjilbab lebar yang terlihat masih cantik di usianya, langsung membuat keadaan hening. Aku langsung kikuk. Bahkan Kania terlihat menahan nafas di sebelahku.
 
"Ma.."
 
Suara teguran seseorang memecah keheningan. "Aduh... Maafin tante ya sayang. Maaf.. tante nggak bermaksud.." Terlihat sekali rasa bersalahnya. Aku hanya mengangguk lantas tersenyum.
 
"Nggak apa-apa tante. Saya Prilly, tan." Ku ulurkan tanganku menyalami beliau yang di sambut ramah. Kucium tangannya hormat.

"Panggil saja tante Dewi. Mamanya Ali." Aku mengangguk.
 
"Ya udah. Kita masuk dulu sekarang, pasti tamu kita kecapekan!" Itu suara tadi yang menegur tante Dewi.

Lelaki bertubuh tinggi tegap yang kutahu ialah calon mempelai pria sepupunya Arman. Dia juga yang pernah di kenalkan Arman padaku dulu. Namanya Ali.

Ali Sahreza.

Tbc.

Dalam Detak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang