Sekali lagi, sebuah paket berisi pakaian dalam dialamatkan pada ruang BEM Universitas Diponegoro. Namun, satu yang berbeda. Kali ini, semua anggota BEM menganggap keberadaan paket itu.
Semuanya terlibat dalam rapat panjang. Hanya satu pembahasannya. Apa UNDIP akan serta pada unjuk rasa kali ini?
Dengan maraknya berita perihal panas dan rusuhnya keadaan Jakarta? Jika ini yang dilihat, mundurlah mereka. Tidak. Kerusuhan adalah yang paling mereka hindari, memang. Namun ....
Jerit hati rakyat yang semakin memekakkan telinga mendorong mereka semua maju. Rakyat butuh mereka. Jutaan mahasiswa yang sudah di Jakarta juga butuh mereka. Mereka maju.
Anggota BEM berhamburan keluar dengan tugas masing-masing. Logistik, transportasi, dan yang lainnya bergerak dalam tuju yang sama, demi Indonesia.
━━━━━━
"Bima, jangan ikut demo," ucap seorang gadis sembari menarik almamater yang dikenakan pria seumurnya itu.
"Kamu kan tau aku ketua fakultas. Semua kewajiban ada di bahuku. Kalau kamu tidak mau, tidak apa. Tinggal saja. Bundamu juga pasti lebih tenang kalau kamu tetap di Semarang."
Gadis itu semakin mencengkramkan tangannya. "Peganganmu itu buku puisi!" sentaknya tiba-tiba. "Beda dengan aku yang pegang KUHP. Kamu beda. Kamu gak tau apa-ap—"
Racauan gadis itu berhenti ketika mendapati kedua netra pria itu menatapnya dalam amarah. "Kamu ngomong apa?" Baru sekali melihat prianya diliputi amarah, gadis itu memilih langsung memeluknya.
"Aku takut ada apa-apa di Jakarta, Bima." Dia terisak, membuat lawan bicaranya membuang napas pasrah.
Keduanya diam dalam gelisah.
Semua tahu, Resha adalah gadis penuh pertimbangan, penuh pemikiran. Mahasiswa Fakultas Hukum semester akhir yang terhitung gemilang. Namun, tidak banyak yang tahu kalau gadis itu tidak lebih dari anak yang penakut dan mudah panik.
Di sisi lain, kekasihnya adalah penggerak yang amat dipercaya. Bahkan, dia adalah tangan kanan pres BEM. Tentu itu membuatnya banyak terlibat dalam kegiatan yang memaksanya bergelut melawan arus. Termasuk saat ini.
"Jawa Tengah sudah janji tidak akan anarkis. Semarang damai, Resha." Sekali lagi, Bima meyakinkan kekasihnya. Meyakinkan orang lain, dia bisa. Kekasihnya sendiri? Suatu tantangan.
"Aku ikut, Bima. Kita pergi sama-sama.
━━━━━━
Kereta penuh sesak. Selaku ketua fakultas, satu kursi dikosongkan untuk Bima. Sedang Resha tidak mendapat kursi.
Tidak mau ambil resiko kekasihnya mendapat kesulitan, Bima menarik Resha dalam pangkuannya. Biar nanti ada resiko paha kram, Bima tidak ambil pusing. Kepalanya sudah cukup sakit, tidak perlu ditambah.
"Bima, kamu demam. Kita nanti di stasiun dulu saja, ya? Sampai kamu sembuh," bujuk Resha untuk kesekian kalinya.
Bima menggerang tidak nyaman. Dekapannya semakin mengerat, sedang kepalanya ia jatuhkan pada bahu Resha. "Sudahlah, Res. Biarkan aku tidur, besok sembuh. Percaya."
Hening kembali membungkam mereka, sedang nyanyian mahasiswa semakin riuh terdengar. Tidak perlu pengeras suara. Angin malam membawa pilu dan amarah mereka sepanjang jalan.
Matahari menembus jendela kereta, membangunkan mereka yang tertidur dan kian membakar mereka yang terjaga. "Siap-siap! Stasiunnya sudah di depan!"
Bima menepuk pipi gadisnya, tersenyum sebelum menggesek-gesekkan dagunya yang belum dicukur pada wajah gadis itu. "Bangun, Tuan Putri. Jangan cuman separuh bangunnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
BIMA-RESHA: 1998
Historical FictionKami mahasiswa punya mata untuk melihat! Kami mahasiswa punya otak untuk berpikir! Kami mahasiswa punya hati untuk menilai! Kami mahasiswa punya semangat untuk bergerak! Mahasiswa untuk rakyat! Mahasiswa untuk Indonesia! - Mahasiswa, 1998 Bima, ketu...