3 | Swear

287 34 0
                                    

Sore itu selepas kelas terakhirnya hujan turun lagi–cukup deras hingga melumpuhkan aktivitas kota. Sialnya Wonwoo sudah setengah jalan dalam perjalanan pulang ketika hujan turun dan ia berakhir di bawah kanopi toko buku yang sedang tutup karena menurut rumor pemiliknya akan menjual tanah miliknya itu kepada pemilik restoran yang baru-baru ini melejit berkat inovasi-inovasi yang mereka hadirkan. Detik berikutnya Wonwoo menyadari bahwa ia tidak memperdulikan sebuah rumor atau apapun tentang sepak terjang dalam dunia bisnis–walaupun menyangkut tentang salah satu tempat favoritnya di kota Wonwoo tampaknya tidak masalah jika ia harus mencari toko buku lainnya.

Detik berikutnya bukannya mereda hujan tampaknya semakin deras saja hingga Wonwoo tidak lagi bisa melihat orang-orang yang menerobos hujan dengan menutupi kepala mereka dengan tas, jaket ataupun tangan mereka sendiri. Yang terlihat hanya payung-payung beragam warna itupun hanya dapat di lihat dari jarak satu meter ke depan dan jumlahnya terbatas. Orang-orang tampaknya sudah menemukan tempat berteduh yang lebih nyaman dari sekedar naungan kanopi tua atau mungkin mereka dengan beruntungnya sudah sampai di rumahnya lalu membersihkan diri mereka dengan air hangat dan kemudian bergelung di bawah selimut. Memikirkan hal itu Wonwoo ingin cepat-cepat pulang dan menyelesaikan tugasnya sebelum akhirnya naik ke atas tempat tidur dan bergelut dalam mimpi yang entah kapan akan terjadinya.

Akhir-akhir ini ia selalu memimpikan kampung halamannya dan segala kehangatan yang di tawarkan di dalam rumahnya yang tidak pernah berubah semenjak ia meninggalkan kedua orang tuanya untuk mengenyam pendidikan di Seoul. Segala sesuatu itu selalu berhasil membuat Wonwoo ingin pulang dan kembali menikmati masakan ibunya sekaligus segera lulus dari Universitas dengan nilai memuaskan. Pulang ke rumah selalu menjadi hal terakhir yang ada di daftar Wonwoo dan ia hanya perlu mengabaikan keinginannya untuk pulang atau hanya sekedar berbohong bahwa ia punya banyak hal yang harus di urusi di sini lewat telepon. Padahal kenyataannya Wonwoo sedang memikirkan tentang kuliahnya yang tidak berjalan baik sambil memakan ramen instan dan bergumam sendiri tentang betapa beratnya tugas yang di berikan.

Wonwoo ingin pulang–setidaknya setelah ia lulus dan mendapatkan pekerjaan yang bisa ibunya pamerkan kepada tetangga-tetangga mereka. Setelah itu ia akan memikirkan keinginan setiap orang tua pada anaknya yang sudah mapan–membawa seorang kekasih ke rumah, melihat reaksi mereka sebelum mendesaknya untuk melamar gadis itu lalu menikah dan membangun keluarga sendiri. Tapi segalanya tidak semudah itu. Bagaimanapun lulus kuliah bukanlah hal yang mudah terlebih jika kau mengambil jurusan seperti yang Wonwoo ambil dan  mendapatkan seorang gadis yang bisa langsung mendapat lampu hijau dari kedua orang tuamu juga tidak lebih mudah dari mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang besar. Tidak ada yang tahu apa yang akan Wonwoo hadapi setelah ini.

Bahkan jika boleh jujur Wonwoo tampaknya tidak lagi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan ia dapatkan ketika ia meninggalkan Changwon dengan menaiki kereta beberapa tahun lalu. Tujuannya yang bahkan ia tulis di permukaan kaca yang penuh dengan uap seakan melebur begitu kaca itu telah bersih seperti sedia kala. Keinginan-keinginan itu boleh saja masih ada pada dirinya untuk mengingatkan tujuan utamanya berada di sini tapi hal itu adalah hal klasik yang di lakukan siapa saja yang merantau untuk mendapatkan dudukan yang lebih tinggi. Pasti ada sesuatu yang Wonwoo inginkan di samping keinginan membanggakan kedua orang tuanya tapi Wonwoo enggan memikirkannya selama ia masih memiliki tujuan yang jelas. Hanya saja akhir-akhir ini tidak begitu.

Entah bagaimana caranya Kim Mingyu yang Wonwoo temui di cafe memenuhi kepalanya. Kim Mingyu dan keinginan bodohnya untuk bunuh diri berhasil membuat malam-malam Wonwoo tidak sesunyi biasanya. Jika ia ingat-ingat lagi sudah lewat satu Minggu sejak pertemuan terakhir mereka dan mungkin saja (bukannya Wonwoo berharap) Mingyu sudah menemukan cara yang mulia untuk bunuh diri. Entah ia beristirahat dengan tenang setelah menyelamatkan dunia atau menyelamatkan anak kucing yang hampir tertabrak oleh mobil. Wonwoo mungkin saja akan penasaran setengah mati dengan hal yang membuat Mingyu membukakan tekad untuk bunuh diri ketika menemukan nama pria itu di atas batu nisan dengan tanggal kematian yang tidak jauh dari tanggal ketika Wonwoo mengunjungi pemakaman umum dengan iseng atau tujuan lain.

Tapi kembali lagi pada prinsipnya yang pertama–Wonwoo mencoba untuk tidak peduli.

Hidupnya mungkin akan jauh lebih mulia daripada menghentikan seseorang yang bunuh diri karena berpikiran bahwa Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya. Maksudnya semua orang memiliki dosa dan mungkin saja orang yang paling berdosa di dunia sekalipun masih menikmati hidupnya saat ini dan menambahkan kembali dosa-dosanya yang sudah menumpuk seperti pakaian kotor yang di tinggalkan selama tiga bulan penuh. Apa yang membuat pria itu berpikir bahwa Tuhan tidak akan memaafkannya atau Tuhan akan memberikan kehidupan yang lebih baik setelah ia mati nanti–kehidupannya yang selanjutnya. Wonwoo lagi-lagi meyakinkan bahwa setiap orang memiliki pilihan mereka sendiri dan ia tidak berhak untuk menentangnya terlebih Mingyu hanya orang asing baginya.

Ya.

Hanya orang asing.

Tidak lebih.

Bau asap rokok dari seseorang berhasil membuat kaki Wonwoo kembali berpijak pada tanah dan menyadari bahwa hujan tidak lagi sederas sebelumnya. Wonwoo memikirkan tasnya yang berisi tugas-tugas yang semuanya tercetak di atas kertas yang pada dasarnya tidak bersahabat dengan air belum lagi laptopnya yang lebih tidak bersahabat dengan air–apakah ia harus menunggu hingga tetes terakhir hujan hanya akan sampai di atas kepalanya atau menerobos rintik-rintik masih tersisa demi kenyamanan dan kehangatan di dalam apartemen dan juga segelas coklat panas atau ramen instan yang asapnya masih mengepul barangkali. Ketika di hadapkan dengan dua pilihan itu mata rubah Wonwoo menangkap sosok pria yang tengah merokok di sampingnya.

Seharusnya akal sehat Wonwoo bekerja dengan memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat di timbulkan akibat merokok–paru-paru yang semakin rapuh, masalah pernapasan dan masih banyak lagi termasuk dampak buruk bagi mereka yang hanya menghirup asap rokok tapi tidak pernah merasakan batang tembakau itu menyentuh bibir mereka sama sekali. Wonwoo termasuk dalam golongan perokok pasif. Di sisi lain Wonwoo kembali mendapati pria yang sudah ia perkirakan tidak akan pernah ia temui lagi karena keinginannya untuk bunuh diri. Pria itu–Kim Mingyu–berdiri di samping Wonwoo sambil menghisap rokok tanpa menyadari bahwa ia di perhatikan.

“Mingyu,” Wonwoo berucap untuk memanggil pria itu sekaligus memastikan bahwa ia tidak salah mengenali orang. “Kau Mingyu bukan?”

Pria itu menoleh dan tampak tidak begitu terkejut dengan kehadiran Wonwoo sebaliknya ia hanya menarik sudut bibirnya hingga sebuah seringai tercipta. “Rasanya cukup lama kita tidak bertemu. Apakah kau berpikiran begitu juga?”

Wonwoo ingin mengangguk tapi ia tidak mau–menggeleng pun tampaknya tidak akan memberikan dampak apapun jadi aku mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana kabarmu hari ini?”

Mingyu membuang rokoknya ke tanah kemudian menginjaknya hingga asapnya padam. “Tidak sebaik saat pertama kali kita bertemu tapi aku merasa cukup baik saat ini hingga akhirnya aku tanpa menemukanmu saat aku sedang kebingungan mencari seseorang.”

Wonwoo mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu dengan kalimat itu?”

“Wonwoo bolehkah aku menumpang di tempat tinggalmu hingga aku menemukan pekerjaan dan memiliki rumahku sendiri?” Mingyu bertanya. “Aku berjanji aku tidak akan merepotkanmu.”
.
.
.
.
.
To be continued..

Let's Not Be Stranger | MeanieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang