Satu persatu orang pergi dengan wajah cerah setelah saling bertukar senyuman di sebuah rumah bercat kuning muda. Seorang lelaki yang tidak terlalu tinggi namun terlihat gagah dan berpotongan rambut cepak memancarkan sinar matanya yang bahagia sekaligus lega. Terlihat jelas bahwa ia adalah pemeran utamanya hari ini.
Pemeran utama yang lain baru terlihat saat lalu lalang orang mulai berkurang, tubuh mungilnya adalah faktor dari tadi ia belum kelihatan, tenggelam dalam pelukan dan cium pipi kiri kanan.
Senyuman perempuan itu sama bahagianya dengan lelaki yang tadi, atasan mirip kebaya berbahan brokat yang ia kenakan berwarna hampir senada dengan baju batik si lelaki.
Sebelum mobil-mobil-termasuk mobil si lelaki-perlahan melaju meninggalkan rumahnya, perempuan itu berdiri di depan pagar, melambaikan tangan, masih dengan senyuman di wajah.
Mobil itu pergi dari pandangannya lalu ia menyadari kehadiran seseorang yang sejak tadi tidak beranjak dari jok motor, terparkir di seberang rumahnya. Senyuman perempuan itu memudar perlahan.
Semenit kemudian, ia berbalik, berkata lirih pada ibunya, "Ma, ada temen Ayu dateng. Ayu samperin dulu ya."
*
"Jadi... kenal di mana?" Satrio memutar-mutar sebatang rokok di antara jarinya, mengajukan pertanyaan tanpa menatap Ayumi.
Mereka berdua duduk berhadapan di warung kopi kekinian depan kompleks rumah Ayumi, Ayumi masih dengan setelan yang tadi, tidak sempat berganti baju, tatanan rambutnya pun masih serapi tadi, begitu juga make upnya meski sejak awal make upnya memang tidak terlalu kentara. Ia sengaja menarik Satrio untuk bicara di sini, tidak ada tempat lain, karena Ayumi bisa memastikan pembicaraan mereka tidak bisa diutarakan di teras maupun ruang tamu rumahnya.
Ayumi menghela napas, "Yo, sebelum itu, kenapa kamu dateng?"
Satrio mengangkat wajahnya, alisnya melengkung turun seperti seekor anjing yang tidak diajak main majikan, bahkan lebih lesu dari itu.
"Kamu ngasih tau kalo kamu mau lamaran, jadi aku dateng."
"Kamu gak bales chat aku tapi kamu dateng tiba-tiba." Ayumi tertawa miris, "Kirain udah gak peduli lagi."
Sorot mata Satrio semakin redup, seandainya perempuan di depannya ini tahu kalau ia bukannya tidak peduli. Bagaimana mungkin ia tidak peduli kalau sampai detik ini, Ayumi adalah seseorang yang paling penting untuknya.
"Kamu kasih kabar itu bukannya karena kamu pengen aku dateng?"
Plis bilang kalo kamu pengen aku dateng dan batalin acara lamarannya. Batin Satrio penuh harapan pedih.
"Namanya Ilman," Ayumi malah menjawab pertanyaan Satrio yang pertama, ia mengaduk-aduk kopi pesanannya tanpa meminumnya, matanya menerawang ke langit-langit seakan tidak ingin menatap Satrio, "kakaknya temen, waktu awal dikenalin, kata temenku he's single and ready to mingle,"
"Secepet itu?"
"Gak secepet itu juga, lima bulan cukup."
Tangan Satrio terkepal.
"He's looking for serious relationship, me too, so..." Ayumi mengangkat bahu sebagai lanjutan kalimatnya.
"Lebih tua dari kamu?" Satrio mempertanyakan intonasinya sendiri yang kedengaran seperti menginterogasi.
Ayumi mengangguk, "Lebih tua tiga tahun."
Sejenak hening meliputi mereka, Ayumi masih mengaduk-aduk kopi tanpa meminumnya dan Satrio masih memutar-mutar rokok tanpa menyalakannya apalagi menghisapnya.