Awalnya

23 3 6
                                    

Tidak ada yang perlu di perlihatkan pada awalnya.  Cerita hidup saya yang tidak terlalu menarik untuk diperlihatkan kepada yang lain. Sebagai anak terakhir dari 4 saudara yang terpaut jauh umurnya dari saya, semua akan beranggapan bahwa hidup saya sangatlah menyenangkan.

Pada awalnya. ya pada awalnya. Memang terlihat indah semua di awalnya. Diperlakukan sebagai anak bungsu yang mendapatkan indahnya kasih sayang yang lebih dari cukup. Selayaknya anak kecil yang tidak kehilangan masa kecilnya.

Seiring berjalannya waktu saya tumbuh menjadi gadis yang ceria dan pemberani. Dengan sikap supel ajaran ayah, saya tertolong untuk mendapatkan teman dengan cukup mudah. 

Sisi demokratis yang mendasar dari orang tua pun mampu membawa saya kepada kehidupan masa remaja yang cukup dengan perhatian dan lurus adanya. Ya, pada awalnya.

***

Pada usia remaja ku di bangku Sekolah Menengah Pertama tepatnya saat persiapan Ujian Nasional, ternyata Tuhan memberikan 1 momen kesedihan mendalamku dimulai. Aku kehilangan Ayahku. Disaat teman-temanku berlomba untuk mempersiapkan diri menuju Ujian Nasional menuju kelulusan, aku justru lebih pasrah dan meratapi kesedihan. 

Usia papa memang tidaklah muda, papa meninggal di usia 65an sepertinya. Memiliki riwayat jantung dan hipertensi. 

****

Hingga tiba saya akan menceritakan waktu dimana firasat berbicara cukup jelas kepada saya. Pagi itu saya terbangun seperti biasa, yaitu pukul 05.00 pagi kiranya. Mama sudah menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Saya pun menyantap sajian sarapan pagi yang telah dibuatkan. Jam telah menunjukan pukul 07.00, ini sudah menunjukan bahwa tidak boleh terlambat ke sekolah. Kakak-kakak saya pun tengah bersiap menuju kantor dan kampus mereka. 

Selayaknya anak kepada orang tuanya. Kami dibiasakan berpamitan dan mencium tangan orang tua kami atau sebatas cium pipi/kening sebelum akhirnya berangkat. Namun, ada yang berbeda pada waktu itu. Papa berusaha memeluk anak-anaknya dengan sangat erat. Begitupun dengan saya, ketika saya mengucapkan "pah, aku berangkat sekolah dulu ya." Papa menjawab "iya hati-hati kamu ya, sekolah yang bener dan harus semangat.", sambil memeluk saya dengan durasi yang lebih lama dari biasanya, dan beliau tidak mau saya cium tangannya. 

Disaat yang bersamaan, kakak saya yang ingin berangkat kuliahpun dipanggil pleh papa. "Hey kamu, jangan berangkat dulu. Saya mau peluk kamu." ucap papa dengan senyum memelas. Kakak pun tidak mendengar jelas, dan ia hanya mengatakan "udah telat pa". Wajah papa sejenak berubah menjadi sendu. Kurasakan senyum papa yang sangat bersinar saat itu. 

Berangkatlah saya bersama dengan kakak yang arah menuju kantornya sama dengan sekolah saya. Sesampai di sekolah, saya menjalankan aktivitas sekolah layaknya murid pada umumnya, hanya saja ada perasaan yang mengganggu, mungkin dinamakan firasat, tapi saat itu saya tidak paham apa itu "firasat". Dikarenakan mama terlihat kurang sehat paginya, salah satu kakak saya memutuskan untuk tinggal dirumah, ia selalu memberikan informasi perkembangan papa yang memang berencana check up hari itu. Seketika Lenny, kakak saya membertikan kabar siang itu tidak sadarkan diri dan dilarikan ke ruang ICU di rumah sakit dekat lokasi kediaman. 

Sesaat matahari mulai beranjak diatas, bel sekolah menandakan jam pulang juga berbunyi nyaring. Dada saya terasa sesak layaknya sesorang menahan tangis dan sakit. Langit yang berubah kelabu seakan memberikan pesan yang mendalam namun, pikir saya menuntut untuk tenang dan berkata dalam hati "hanya sekedar mendung di bulan November".

Ketika itu, saya sudah berencana akan hadir ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok yang akan dikumpulkan dengan begitu berarti saya tidak langsung kembali ke rumah. Saya pun menelepon mama dirumah untuk meminta izin pulang agak terlambat. Nada bicara ibu terdengar agak lemas, tapi saya hanya beranggapan kalau ibu sedang kelelahan. 

Suara pergerakan jarum jam membuat tempo detak jantung saya terdengar lebih cepat. Rasa gelisah yang cukup mendalam membawa diri saya memilih untuk pulang lebih cepat. Semua dugaan, keraguan yang menyesakan memenuhi isi kepala saya hingga butiran keringat keluar dari dahi.

****

Sesampainya langkah saya di depan gerbang rumah. Dengan tarikan napas penuh saya menenangkan diri "oke, semua baik-baik saja". 

Keadaan rumah tidak ada yang berbeda, hanya terlihat sedikit hampa. Saya melangkah dengan penuh kekhawatiran yang berhasil ditutup dengan wajah datar. "Ma.. Kak Len..??!", saya memanggil dengan keras. Saya mendatangi ruangan tidur mereka ternyata mereka sedang tertidur dikamar masing-masing. Entah karena lelah menangis atau apa. Sesaat setelah itu, saya pun merebahkan diri untuk melepas kelelahan pikiran yang penuh hingga terlelap.

***

Terasa cukup dengan waktu tidurnya, saya pun bangun dan beranjak keluar dari kamar. Saat itu, saya merasakan kembali rasa hampa dari rumah ini. Mencari mama dan kakak-kakakku berada di sekitar rumah. Lalu, saya menemukan mereka sedang berkumpul bersama dan menyalakan lilin beserta salibnya. Mereka berdoa dengan sangat syahdu sambil berpegangan tangan yang erat. Seorang kakak laki-lakiku mengajak untuk bergabung dalam doanya. "ayo sini ikut berdoa!" kata Rino, kakak laki-laki saya. Terdengar suara mama yang menahan tangis dan pipinya yang sudah basah dengan air mata. Ucapan doa yang terdengar seperti sebuah kepasrahan bersamaan dengan kereasahan terlontar dari mulut mama. Sayapun ikut berdoa walaupun sedikit bingung, sebenarnya apa yang sedang mereka rasakan.

Rasa sesak semakin menjadi, tangis mama semakin terdengar keras. Kakak saya yang seketika melemah. Suara khas dari mobil ambulance pun terdengar datang mendekat rumah saya. Semua tetangga menghampiri rumah saya. 

Ketika itu, terasa sesak yang menjadi, kepala yang sakit karena sulit untuk mengeluarkan semua air mata, saya membenturkan kepala saya secara tidak sadar sebanyak 3 kali, memukul-mukul dada yang sesak hingga akhirnya semua pandangan menjadi buram dan gelap. Saya tidak percaya, kalau ternyata waktu tidak semudah kita mengatur arah jarum jam. Saya tidak percaya kalau saya akan melewati kegelapan ini disaat saya tidak siap. 

Pelukan hangat yang hanya berdurasi beberapa detik itu adalah pelukan terakhir dari seseorang cinta pertama saya. Senyuman tulus dari wajah pucat yang kutatap tadi pagi telah menjadi sebuah memori. Tangan yang kucium itu pun adalah ucapan pamit untuk terakhir kalinya.

****

Ya, semua pesan semesta telah di kirimkan kepada saya. Bahwa hari itu 12 November 2000 Papa meninggalkan keluarganya dengan segala cita-citanya. Meninggalkan orang tersayangnya dengan semua harapan yang sudah di tanamkan kepada orang terdekatnya khususnya anak-anaknya. 

Tepat hari itu pun, saya menjadi seorang anak yatim. Usia 14 tahun, seorang siswi Sekolah Menengah Pertama yang akan menghadapi Ujian Nasional. Rasa yang berkecamuk, berusaha mengenyampingkan ego dan emosi demi melewati tahap menuju kelulusan cukup menguras tenaga dan perang batin. 
Namun saya selalu percaya "mereka yang telah tiada, bukan semata-mata hilang dan pergi tanpa berpesan. Mereka hanya pindah ketempat yang lebih pantas dan hidup dengan cinta yang tanpa habisnya."

****

To           : Papa
From     : anakmu 
Subject : aku lulus

Dear Papa,

Hai pap, aku si anak kecil yang nakal ini sangat terpukul ketika menerima hasil ujian maupun rapor yang diberikan di akhir kelas 3 SMP ini. Bukan karena nilaiku yang jelek tapi aku ngerasa sedih papa ga bisa ngebanggain aku didepan guruku. Aku iri ya pa sama anak-anak lain? iya, emang sih. Di depan mama dan kakak semua, aku sih happy-happy aja. Di depan temen juga gitu sih. Tapi ternyata aku ga rela, karena ga bisa liat muka ketawa papa sambil usap-usap kepalaku sampe rambutku berantakan. 
Tapi kata orang, papa udah bangga sama aku karena bisa liat anak bungsunya lulus. Itu ga bohong kan ya?
Ya semoga ya. 

Makasih pa, karena papa suka nonton berita tiap pagi/malam. Itu ga seru sih, aku ga suka berita kan bahkan suka berantem gara-gara aku mau nonton film kartun tapi papa malah nonton berita. Tapi ternyata malah bikin aku pinter dan berani berpikir kritis sekarang. Keren kan?!
You know me better Gold Man! 
Let me send this message and tell you how much I miss you !

Warm regards
Maple





Perjalanan - "Hanya Ingin Menyampaikan"Where stories live. Discover now