Seminggu absen,Plan tak menyesali keputusannya. Nyatanya ia merasa jauh lebih baik di rumah. Tanpa perlu menahan diri dari para alpha yang ia temui di sekolah.
"Sampai kapan kamu terus-menerus di rumah?"
Suara nenek Plan yang lembut terdengar mengganggu bagi telinga Plan. Jelas Neneknya tak menginginkan keberadaan ia disana. Sama halnya dengan ia yang juga tak menginginkan dirinya di rumah sang nenek.
Tapi tak ada pilihan. Bajingan itu telah menempelkan nodanya pada setiap sudut kamar Plan dirumahnya.
Plan termenung menatap mawar merah yang bergoyang tertiup angin.
Sama halnya saat hari itu,angin meniup tirai jendelanya kuat. Ia ketakutan,namun sang Alpha yang ia selalu anggap sebagai pahlawan mendekapnya erat,seolah ingin melindungi padahal ia datang untuk menghancurkannya.Malam yang berbadai,Plan berteriak sekencang yang ia bisa saat tubuhnya ditindih,dijamah,dipaksa untuk melenguh dalam kesakitan yang "ia" sebut nikmat. Tak ada pahlawan,saat pahlawan itu sendiri menjadi monster yang merusaknya.
Plan menutup mulutnya,menyembunyikan isak kesedihannya dari sang nenek yang masih terus-menerus memintanya keluar dari cangkangnya. Keluar dari satu-satunya tempat yang ia rasa aman. Dari satu-satunya pelindung yang ia harapkan bisa menjadi andalannya. Namun ia sadar tak ada lagi yang ia bisa andalkan,saat pahlawannya pun sudah menjadi monster dalam hidupnya.
Ia sendirian.
Sendirian.
💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔💔
Mean mendatangi ruangan Gun,sudah seminggu ia memikirkan tentang Plan. Semenjak kejadian itu,Plan tak pernah lagi mengikuti kelas. Hal itu membuat Mean cemas.
"Ada apa Mean?? Apa ada yang ingin kau tanyakan perihal tugas yang..."
"Bukan. Aku hanya memikirkan tentang Plan. Apa dia baik-baik saja??"
"Eh?? Kenapa tiba-tiba?? Biasanya kamu gak peduli kalau ada teman yang absen??"
"Itu... Aku khawatir ia tidak masuk gara-gara aku. Aku jadi merasa tidak enak."
Gun sempat terdiam beberapa detik. Mean memang anak yang baik. Tentu absennya Plan apa lagi setelah kejadian tak mengenakan antara ia dan Mean sedikit membuat Mean merasa cemas.
"Dia gak apa-apa!"
Gun menyembunyikan itu,tentu mana ada yang tega membeberkan aib keluarga sendiri pada orang lain. Plan sudah seperti adik kandungnya. Kejadian yang Plan alami tentu akan membekas seumur hidupnya. Gun ingin Plan kembali namun ia juga sadar mengembalikan keceriaan Plan bukanlah mudah. Bahkan mungkin amatlah sulit.
"Sudah,lebih baik gak usah mikirin tentang Plan lagi. Siapkan aja tugas yang kemarin aku berikan."
"Tapi..."
"Mean!"
Mean pun menutup mulutnya,mengurungkan niatnya untuk kembali melontarkan protesnya. Ia sadar Gun tak akan pernah mau mengatakan apapun perihal sepupunya.
"Oke"
Mean keluar dari ruangan Gun,ia kembali ke kelas untuk mengambil tasnya dan memutuskan untuk absen di pelajaran selanjutnya.
########################################################
Plan mengulurkan tangannya,menikmati angin yang seolah menggenggam tiap celah jemarinya. Senyum,Plan sangat menginginkan hal itu namun entah,sulit untuk sekedar menarik simpul di bibirnya. Yang ada kini malah air mata yang mengalir kembali. Menuruni lekuk pipi yang menirus. Dulu pipi Plan begitu chubby,teman-temannya seringkali memanggilnya sinchan karena pipi gembulnya mirip dengan karakter anime si anak nakal. Tapi kini,hanya ada tulang yang menonjol disana. Semua keindahan yang dulu Plan banggakan seolah hilang,terampas bersama dengan sakit yang orang itu tancapkan dalam diri Plan.
"Plan??"
Plan mengusap air matanya cepat lalu bangkit dari duduknya namun sial,tekanan darah rendah membuat kepalanya pusing saat tiba-tiba harus berdiri. Plan terjatuh kembali keatas permukaan tanah berbatu dipinggir aliran sungai.
"Plan??"
"JANGAN SENTUH!!!"
Plan berusaha bangkit lagi walau pening masih menyerang kepalanya.
Sementara itu,Mean yang memutuskan membolos dan tak sengaja menemukan Plan di tempat favoritnya. Merasa iba pada pria mungil dihadapannya yang nampak kesulitan hanya sekedar untuk berlari darinya.
"Plan?? Kamu baik-baik saja??"
Pertanyaan bodoh,tentu saja Mean tahu Plan tidak baik-baik saja. Pria mungil itu baru saja menangis dan kini sedang jatuh bangun dihadapannya,berusaha keras hanya untuk lari dari Mean.
Mean berteman dengan beberapa omega,tentu saja bahkan ia beberapa kali berkencan dengan mereka. Tapi tak pernah ia bertemu dengan omega serapuh Plan.
Plan masih tersedu sambil berkali-kali mencoba bangkit. Kepalanya pening dan pandangannya kabur karena air mata. Namun ia tetap berusaha menjauh dari Mean. Betapa menyedihkannya dirinya,Omega lemah yang tak berguna. Ia tak ingin menjadi seperti itu. Tak pernah dalam hidupnya menyesali takdirnya sebagai seorang Omega. Sungguh tak pernah. Hingga pada hari itu,ia merasa Omega adalah makhluk lemah tak berguna,tak berdaya sama sekali tak berharga sama seperti dirinya.
"Hiks... Hiks...hikss...."
Plan menyerah,ia terduduk menangis. Sementara Mean,hanya bisa memandang si Omega dengan tangan terkepal. Ia ingin sekali menolong Plan. Membantunya bangkit dan berjalan,mengantarkan omega manis itu pulang. Namun ia tahu,satu sentuhan saja bisa membuat Plan yang rapuh hancur berantakan.
"Plan..."
Mean berbisik lirih,ia baru beberapa hari mengenal Plan tapi suara tangisan Plan seolah mampu menusuk,merobek,mengoyak tiap jengkal hati dan perasaan Mean.
########################################################
Plan mengetuk pintu rumah neneknya. Sambil mengeratkan jaket yang ia kenakan. Gerimis mulai turun dan angin ikut meramaikan senja itu. Udara dingin menusuk,menembus tubuh Plan yang hanya kulit membalut tulang. Ia menggigil,kedinginan.
"Plan... Akhirnya kau pulang."
Neneknya memeluk Plan di depan pintu. Sungguh aneh bagi Plan. Neneknya yang memintanya untuk keluar tapi kini neneknya pula yang merasa seolah Plan sudah bertahun-tahun meninggalkannya.
"Masuklah... Eh,kau?? Apa kau teman sekolah Plan??"
Plan langsung melangkah masuk ke dalam rumah,ia sama sekali tak ingin menoleh ataupun bertatap muka dengan Mean.
Mean mengikuti Plan pulang ke rumahnya,entah ia sok peduli atau memang ia mencemaskan sang omega. Mean terus berjalan di belakang Plan hanya untuk memastikan sang omega bisa sampai di rumah dengan selamat.
"Ah... Selamat sore nek"
Mean memberikan wai pada nenek Plan.
"Aku hanya kebetulan lewat. Plan,tampak kurang begitu baik jadi aku ingin memastikan dia bisa sampai di rumah dengan selamat."
"Ahh... Baiknya... Kalau begitu,sini masuk dulu nak... Nenek baru saja memanggang kue kesukaan Plan. Pasti kau akan suka. Masuklah..."
Mean ingin menolak ajakan nenek Plan,ia takut Plan akan marah jika ia masuk ke rumahnya. Namun Nenek Plan yang baik hati menawarkan undangan dengan begitu ramah dan baik. Mean tak mungkin bisa mengecewakan sang nenek begitu saja.
Dan sekarang Mean duduk berhadapan dengan Plan yang masih menunduk,bersembunyi di balik helaian poninya yang tebal. Mean memperhatikan Plan,tak ada yang istimewa dari pria kurus dihadapannya ini. Namun ia begitu tertarik pada pria mungil itu. Ada sesuatu yang membuat ia selalu menatap Plan. Ada sesuatu yang selalu menariknya untuk mendekat pada Plan. Ada sesuatu,sesuatu yang membuat Mean selalu ingin tahu tentang Plan.
Apakah itu takdir??
Note:
Update gays...
KAMU SEDANG MEMBACA
Slowly
FanfictionPlan mencoba memulai segalanya lagi. Keluar dari persembunyiannya untuk kembali menghadapi hidup yang pernah membuat ia mati. Disclaimer; Ini FF A/B/O versi author. Jadi kalo ada beda-beda jauh sama A/B/O versi orang lain ya tolong jangan di judge...