Irama musik khas terdengar indah, dihasilkan dari jemari-jemari lentik yang memetik Shamisen dengan lihai. Jemari kiri menari di atas tiga senar berbahan sutera sedangkan jemari kanan menggenggam bachi (pick) untuk menghasilkan nada. Tak hanya permainan musiknya yang nikmat didengar, begitu juga dengan suara lembut si pemain muda.
Iris marun memandang tajam pada sosok di depannya tanpa berkedip. Tangan kanan memegang gelas sake yang ia sesap sesekali. Tak ia pedulikan rasa panas yang menggerogoti kerongkongannya. Fokusnya hanya satu, yakni sosok berambut pirang di hadapannya.
Uzui Tengen terlalu menikmati hiburan yang hadir di hadapannya ini. Suara-suara indah yang merasuki gendang telinganya membuat dirinya rela duduk berjam-jam hanya untuk memandangi sosok di depannya. Ia bahkan sampai menyewa satu kamar hanya untuk menyewa si gadis.
Satu lagu telah selesai dimainkan lagi. Tengen bisa melihat iris keemasan yang memandangnya tajam. Ia hanya membalas dengan ekspresi bosan.
"Mainkan lagi dan kali ini harus lebih elok. Kau sempat kehilangan tempo sesaat pada baris ke tiga. Fokuslah. Aku ini sedang menyewamu, jadi kau harus memberikan pertunjukan yang menarik agar aku puas," komentarnya malas.
Geraman kesal terdengar penuh amarah. Jemari yang memegang Shamisen kini bergetar dan hampir mematahkan alat musik petik tersebut. Telunjuk si gadis menuding kasar pada Tengen.
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini, Kakek ubanan? Seharusnya kau-hmph!"
"Diamlah. Suaramu saat berteriak benar-benar tidak elok didengar. Lagipula bisa terdengar musuh, bocah bodoh," lirih Tengen memperingati dan tangan kanannya membekap mulut Zenitsu.
Zenitsu ingin protes tapi ia tidak bisa bergerak karena tangan kiri Tengen juga memeluk pinggangnya. Hal ini membuatnya sulit untuk meronta melepaskan diri. Monster otot--dan tampan-- ini benar-benar sangat menyebalkan. Kenapa Tuhan sangat tidak adil padanya?
Akhirnya Zenitsu menyerah dan memilih untuk menurut meski wajahnya tetap memasang ekspresi kesal. Setelah melepaskan tangan dari mulutnya, Zenitsu mulai memberikan informasi yang diketahuinya mengenai salah satu istri Uzui, Hinatsuru. Mereka berbicara tanpa mengeluarkan suara, hanya dengan gerak bibir saja. Tentu saja hal ini untuk mencegah bocornya informasi dan relasi antara keduanya.
"Aku tidak mendapatkan informasi pasti, tapi kudengar kalau Hinatsuru-san pergi karena 'kehilangan pijakan' atau semacamnya. Tak banyak yang membicarakan hal itu jadi aku tidak yakin," ucap Zenitsu tanpa suara.
Jemari Tengen memegang dagunya dengan elegan. Melihat wajah serius itu membuat Zenitsu tidak bisa bernapas sesaat. Ia kesal mengapa si tua berengsek ini bisa begitu sempurna sedangkan dirinya selalu dirundung sial.
Mendengar detak jantung kagum dan kesal dari bocah di sampingnya membuat konsentrasi Tengen pecah. Iris marunnya memperhatikan wajah dengan riasan jelek Zenitsu yang cemberut. Sudah jelas wajah si bocah pirang sangat jelek berkali-kali lipat tapi hal ini membuat Tengen tertarik.
Tengen menyeringai mengejek.
"Wajah jelekmu benar-benar tidak elok dipandang. Kenapa kau begitu kesal?"
"Diam kau, Tua ubanan. Aku tidak mau bicara denganmu tentang hal ini-adududuh!"
"Mulut kurang ajar ini yang bicara tidak elok tentangku, hah? Mau kusumpal?" geram Tengen seraya mencubit pipi Zenitsu gemas.
"Sakiiit!! Hentikan! Nanti pipiku bengkak dan aku tidak bisa menjadi Oiran terbaik di sini!"
Tengen terpaku dan langsung melepas cubitannya. Apa ia tidak salah dengar? Bocah bodoh ini ingin menjadi Oiran katanya? Apa Zenitsu terlalu menghayati perannya sampai-sampai berniat begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Life of Uzui Tengen x Agatsuma Zenitsu
FanfictionKumpulan cerpen Uzen. Canon, AU, etc. Wajib baca manganya dulu sebelum baca ini, ya. art by myself Kimetsu no Yaiba by Gotouge Koyoharu